Kali ini saya ingin bercerita tentang pengalaman membaca Song of Roland (penulisnya tidak diketahui) dan pelajaran penting apa yang saya dapatkan sebagai pembelajar sastra, sejarah, dan agama. Tak kalah pentingnya–seperti terlihat pada judul postingan ini–saya juga mendapatkan pelajaran penting tentang penerjemahan karya dilematis. (FYI: judul asli puisi epik ini adalah Chanson de Roland, tapi untuk selanjutnya dalam postingan ini saya akan menyebutnya Tembang Roland, kecuali bila mengacu ke versi terjemahan John DuVal, yang demi kemudahan akan saya sebut Song of Roland.)
Sebulan terakhir ini benar-benar bulan yang sangat penuh gairah dalam hal baca-membaca. Ziarah Abad Pertengahan saya sampai ke Andalusia atau Semenanjung Iberia ketika didominasi kebudayaan Islam. Setelah membaca novel Ibn Hazm (The Neck Ring of the Dove) yang romantis dan novel Ibn Tufayl (Hayy Ibn Yaqzan) yang merupakan pendahulu Robinson Crusoe beberapa abad, saya sempat membaca risalah karya Musa bin Maimun atau Maimonides yang berjudul The Guide for the Perplexed. Yang terakhir ini adalah pemikir Yahudi yang pemikirannya saling jawab secara dinamis dengan pemikir-pemikir (Muslim) pada masanya, termasuk Ibn Rusyd dan Ibn Sina yang pemikirannya banyak membahas konsep-konsep metafisika dari Aristotles. Andalusia memang ladang subur perkembangan seni, budaya dan intelektualisme pada Abad Pertengahan–bahkan, bisa dibilang, makna negatif Abad Pertengahan sebagai Zaman Kegelapan tidak berlaku untuk menggambarkan sebagian besar masa hidup Islam di Semenanjung Iberia.
Nah, setelah dinamika yang menggairahkan dari pemikir dan penulis di Semenanjung Iberia itu, saya pun harus siap-siap berangkat ke Eropa (atau, karena pada masa ini belum ada yang namanya “benua” Eropa, kita sebut saja kawasan Asia Barat Laut, toh Eropa juga cuma salah satu semenanjungnya Asia :D). Karya sastra pertama yang saya kunjungi adalah yang masih berbau-bau Andalusia, yaitu puisi epik Tembang Roland atau Song of Roland, dan versi yang saya pilih adalah terjemahan terbaru oleh John DuVal–yang juga guru saya sendiri di UofA :D.
Apa itu Tembang Roland?
Tembang Roland adalah puisi epik berbahasa Perancis Tua dari abad ke-11 yang mengisahkan tentang peperangan antara satu legiun prajurit Perancis pimpinan Roland melawan pasukan Raja Marsille. Legiun Roland ini merupakan bagian dari tentara Charlemagne–Kaisar Romawi Suci yang menyatukan Eropa–yang bertanggung jawab membawa perbekalan dalam perjalanan mereka kembali ke Perancis setelah menaklukkan Kordoba. Setelah terpisah dari rombongan inti, legiun Roland ini dicegat oleh pasukan Raja Marsille yang jumlahnya beberapa kali lebih banyak dan berujung pada pembantaian legiun ini. Roland termasuk korban tewas dari pertempuran ini–meskipun dia tewas paling akhir dan bukan karena dibunuh, tetapi karena kelelahan. Kisah berakhir ketika Charlemagne, sang penakluk paling ganas ini, mengetahui pembantaian legiun Roland dan segera balik ke Spanyol dan ganti membantai pasukan Raja Marsille. Btw, Raja Marsille ini digambarkan sebagai raja “pagan” yang menyembah Muhammad dan Apolla dan Tervagant. Pendeknya, “pagan” di sini berarti bukan Kristen dan nyaris bisa dipastikan mengacu kepada Muslim. Tapi sabar, tahan dulu segala emosi.
Yang perlu diwaspadai dari membaca puisi epik ini adalah adanya kesenjangan yang cukup panjang antara masa “penulisan”, yaitu abad ke-11, dengan masa terjadinya perang yang menjadi acuan (atau inspirasi) dari puisi epik ini. Menurut biografi Charlemagne yang ditulis oleh Einhard, memang pernah terjadi pembantaian pasukan Perancis–yang dipimpin antara lain Roland–di kawasan Iberia pada tahun 778. Tapi, menurut bukti-bukti primer sejarah, pertempuran dan pembantaian pasukan Roland itu sangat jauh dari apa yang digambarkan dalam Tembang Roland. Dan sepertinya hal seperti itu sangat wajar saat kita membicarakan puisi epik yang merupakan karya lisan. Oh ya, Tembang Roland memang dituliskan pada abad ke-11, tapi kisah itu sendiri sebagai sastra lisan sudah bisa dinikmati khalayak sejak satu abad sebelumnya. Ada sebuah sumber primer dari akhir abad ke-10 yang menyebutkan bahwa ketika prajurit Perancis duduk-duduk ada seorang juru dongeng yang membacakan puisi tentang pembantaian legiun Roland.
Kalau kita daftar kejanggalan-kejanggalan dari Tembang Roland, pasti sebuah postingan blog tidak akan cukup. Kita sebut saja beberapa:
- Raja Marsille dan rakyatnya yang Muslim itu digambarkan sebagai penyembah Muhammad dan Apollo dan Tervagant. Padahal kita tahu bahwa tidak ada muslim yang menyembah Muhammad–kalau “menyembah” uang sih jumlahnya bisa diperdebatkan :D.
- Raja Charlemagne dikisahkan sebagai seorang raja yang berusia 200-an tahun dan menguasai seluruh kawasan “Eropa” padahal pada tahun 778 itu Charlemagne baru saja memulai proyeknya mengembangkan kawasan dan baru pada tahun 800 dia bisa disebut menguasai kerajaan-kerajaan di mayoritas kawasan Eropa.
- Charlemagne kembali dan berhasil mengalahkan Raja Marsille dan raja dari Babylonia yang membantu Marsille dan akhirnya menguasai Saragosa, padahal pada kenyataannya Charlemagne mundur dari kawasan Iberia dan tidak pernah benar-benar menguasai Iberia.
Dari situ, tampaklah bahwa kisah Tembang Roland ini adalah sebuah karya fiksi yang bukan bernilai sebagai sumber sejarah dalam arti sempit (yaitu sebagai dokumentasi kejadian yang pernah benar-benar terjadi). Yang bisa diambil dari Tembang Roland ini adalah nilai sebagai karya yang mengandung semangat zaman itu. Bagaimana kita tahu? Nah, kalau kita lihat lagi sejarah Abad Pertengahan, akhir abad ke-11 adalah masa fermentasi tensi antara kerajaan-kerajaan Kristen dan dinasti-dinasti Muslim di kawasan sekitar Mediterania. Dinasti Seljuk–yang belum satu abad menjadi Muslim–turun dari Asia Tengah dan mulai menguasai bekas-bekas wilayah Abassid, termasuk kawasan yang kini kita kenal sebagai Irak dan Iran. Mereka juga sampai menguasai kawasan Antakya yang semestinya milik kerajaan Romawi Timur atau Byzantium. Sementara itu, dinasti Fatimid di kawasan Afrika Utara di abad ke-11 ini juga menguasai Mesir hingga akhirnya menguasai Palestina. Dan–yang bikin muntab kerajaan-kerajaan Kristen di sekitar Mediterania adalah ketika kerajaan Fatimid melarang peziarah Kristen datang ke Jerusalem. Pendeknya, menurut Fatimid, yang bukan Islam tidak boleh ikut-ikutan ke kota yang menjadi tanah haram ketiga itu.
Dari kekuatiran dan perkembangan politik di Palestina itulah, kerajaan-kerajaan di Barat menjawab permohonan bantuan dari Kaisar Byzantium (yang kali ini bukan orang yang setangguh Justinian–yang memerintahkan pembangunan Hagia Sophia pada abad ke-6). Maka, arak-arakan prajurit dari kawasan Barat pun berangkat ke Timur dengan justifikasi “perjuangan suci memenangkan kembali Jerusalem.” Perang Salib bisa disebut sebagai perjalanan ziarah sambil membawa senjata. Meskipun banyak kendala (termasuk perang-perang kecil dengan kawasan yang penduduknya juga Kristen), akhirnya prajurit Perang Salib ini pun berhasil memukul mundur Seljuk dari kawasan Antakya (sekarang Surya) dan ketika merangsek ke Jerusalem mereka berhasil membantai prajurit (dan penduduk) Muslim dari dinasti Fatimid.
Dengan latar belakang fermentasi permusuhan antara Kristen dan Islam pada abad ke-11 itulah, Tembang Roland memiliki relevansinya. Puisi epik ini mengisahkan tentang penipuan rombongan pasukan Charlemagne (yang digambarkan sebagai orang yang saleh tapi juga komandan yang ganas) oleh Raja Marsille yang muslim (yang disebut “pagan” dalam puisi epik ini). Di sini juga kita bisa melihat kelicikan dan kebuasan prajurit raja Marsille yang membantai rombongan pasukan yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah pasukannya sendiri. Dalam pusi ini juga kita melihat premis yang tak henti diulang-ulang “Kristen benar dan pagan salah.” Dengan begitu, akurasi sejarah tidak lagi menjadi soal. Tidak jadi soal biar pun Charlemagne digambarkan sebagai raja berusia 200-an tahun dan tidaklah perlu dipertanyakan apakah Roland benar-benar keponakan Charlemagne yang gagah berani. Yang sangat perlu ditekankan oleh karya epik ini adalah bahwa Roland adalah seorang keponakan yang menjadi korban kelicikan dan kebuasan pasukan asing, atau bahwasanya “Kristen benar dan pagan salah” yang dibuktikan dengan kekalahan kaum pagan ini. Bisa dibilang, Tembang Roland adalah karya sastra yang turut membentuk identitas “Eropa” dan imajinasi prajurit Perang Salib atau orang-orang yang hidup di masa pecahnya Perang Salib pada tahun 1096 itu.
Nah, sekarang mungkin kita jadi punya pertanyaan: Lantas apa perlunya menerjemahkan (berulang-ulang) sebuah karya yang berpotensi mengaburkan pemahaman sejarah (karena banyak inakurasi historis di dalamnya) seperti Tembang Roland ini? Apa nilainya terjemahan semacam ini?
Sebelumnya, saya perlu katakan bahwa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas itulah yang membuat saya menganggap terjemahan oleh John DuVal ini unggul. Song of Roland versi DuVal ini diterbitkan oleh Hackett Publishing pada tahun 2012, dan pengerjaan terjemahannya sendiri dilakukan DuVal sejak beberapa tahun sebelumnya. DuVal bahkan sempat mengambil cuti mengajar selama setahun untuk tinggal di Cambridge, Inggris, dan berkesempatan melihat salah satu manuskrip tertua Tembang Roland. Terjemahan DuVal disertai pengantar oleh seorang ahli Tembang Roland dan pengantar oleh DuVal sendiri. Selain itu, ada juga catatan kaki yang sebentar-sebentar muncul untuk mengomentari hal-hal tertentu terkait bahasa, sejarah, maupun tentang bagian-bagian yang menurut DuVal sangat asyik dalam bahasa aslinya–ini yang jarang kita temukan, seorang penerjemah berbagi keasyikan membaca karya dalam bahasa aslinya. Dan separuh terakhir buku ini berisi naskah asli Tembang Roland dalam bahasa Perancis Tua.
Nah, dari berbagai campur tangan John Duval dalam edisi terbaru ini, terdapat komentar-komentarnya yang, misalnya, menyoroti minimnya pengetahuan bangsa Perancis mengenai Islam, yang menyebabkan banyaknya hal-hal konyol tentang kaum Muslim (atau “pagan”) dalam kisah itu. Banyak dari komentar ini yang seolah-olah ingin memastikan agar kita tetap “sadar” saat membaca puisi yang cantik ini dan “tidak terlena dan terbujuk” untuk menganggap puisi ini sebagai dokumen sejarah dalam arti sempit. Dan menurut saya seperti inilah semestinya sebuah terjemahan atas karya sastra yang menyinggung Muslim dan Islam bila hendak diterbitkan di Amerika pasca-9/11. Setelah melewati penyaringan kritis seperti ini, baru karya puisi yang sarat kesalahan historis ini bisa dijadikan sebagai sumber sejarah dalam arti luas, yaitu (seperti saya singgung di atas) sebagai dokumen yang bisa membantu kita mengintip semangat zaman pada masa menjelang pecahnya Perang Salib.