Sepenting Apa Indonesia dalam Kehidupan Orang Asing Biasa?

Pertanyaan di atas itu, saya sadar, hanya bisa dijawab dengan akurat melalui polling yang meluas dan komprehensif (istilah kerennya, polling yang massive) yang melibatkan orang-orang biasa di segala penjuru dunia. Karena itulah, saya tidak akan berpretensi memberikan jawaban yang konklusif atas pertanyaan itu. Saya hanya akan iseng-iseng menyajikan kepada Anda “eksistensi” negara, bangsa, dan budaya Indonesia di mata orang-orang biasa–dalam hal ini guru-guru bahasa Inggris–dari sejumlah negara Afrika dan Amerika Latin. Dan orang-orang ini adalah orang-orang yang kebetulan saya temui dalam sebulan terakhir ini.

Jawabannya, ternyata Indonesia itu “ada” di mata dan kehidupan mereka.

Orang pertama yang saya semui adalah Claudio (dalam kesempatan ini, saya akan berikan nama-nama asli sumber saya–tapi hanya nama depan). Claudio adalah seorang guru bahasa Inggris dari Paraguay yang sempat datang ke kota dan kampus saya untuk mengikuti lokakarya peningkatan mutu selama tiga minggu. Dia mengajar di sekolah menengah di kota Asuncion, Paraguay. Dia adalah orang pertama yang saya temui dari kelompoknya. Saya minta tolong dia membantu saya mengangkat satu krat jus apel dan air mineral.

Tak dinyana, saat saya perkenalkan bahwa saya berasal dari Indonesia, dia mengatakan bahwa dia punya kenalan orang-orang dari Indonesia. Hah? Saya langsung curiga dia adalah diaspora orang Indonesia di Paraguay. Ternyata bukan. Orang-orang Indonesia yang dia kenal adalah anak-anak usia belasan asal Aceh yang mendapat beasiswa untuk belajar di Paraguay. Setelah berbincang lebih lanjut, saya ketahui bahwa “anak-anak Aceh” itu ternyata mendapat beasiswa untuk belajar sepakbola di Paraguay dan Argentina. Claudio adalah guru bahasa Inggris dan bahasa Spanyol para pebola muda itu saat mereka berada di Paraguay sekitar tahun 2010-2011.

Claudio menceritakan hal-hal menarik yang dia alami bersama anak-anak Aceh ini, tentang kain sarung juga tentang masakan Aceh. Dalam satu kesempatan, Claudio menceritakan tentang bagaimana para pebola muda itu sempat “terlantar” selama tahun baru, ketika orang-orang yang mengurusi mereka berkumpul dengan keluarga masing-masing sementara anak-anak yang tidak merayakan Natal dan tahun baru ini ditinggal sendirian. Claudio bercerita bagaimana dia menghabiskan liburan tahun baru bersama mereka.

Oh ya, sebelum terlewat, perlu saya sebutkan bahwa salah satu murid Claudio itu adalah Syahrizal Syahbuddin, salah satu anggota skuad Garuda Muda yang juga bek Persija Jakarta saat ini.

Contoh kedua tentang eksistensi Indonesia di mata orang-orang biasa dari negara lain saya dengar dari orang-orang Afrika Barat dan Afrika Tengah, dalam hal ini Senegal, Kamerun, dan Kenya. Ketika tahu saya berasal dari Indonesia, mereka bilang bahwa nasi yang mereka makan di Afrika katanya diimpor dari Indonesia. “Beras dari negara sampean itu enak banget, Mas,” kata Mansour dari Senegal. “Itu yang saya makan di Senegal.” Saya tersenyum dan bilang, “Oh ya, asyik sekali. Ironisnya, di Indonesia kami juga makan nasi yang diimpor dari Thailand.”

Tapi, eksistensi Indonesia yang tampak paling mengejutkan justru terjadi di kota Little Rock, ibukota negara bagian Arkansas. Kali itu, kami sedang dalam tur tiga hari (Arkansas-Tennesse-Arkansas) dan saya merupakan satu dari dua pemandu dalam tur ini. Pada hari terakhir perjalanan, ketika kami berada di kota Little Rock, kami sarapan di restoran hotel seperti biasanya. Saya makan wafel dengan madu (bikin sendiri dengan adonan yang sudah disiapkan dan pemanggang yang sangat mudah diperasikan sendiri), telur orak-arik, buah-buahan melon, jeruk grapefruit, blewah, dan pisang, dan minumnya jus jeruk plus kopi. Beberapa anggota rombongan sudah makan saat saya datang, tapi sebagian besar datang setelah saya. Salah satu anggota rombongan yang terakhir datang adalah guru bahasa Inggris SMA  asal Kamerun bernama Charles. Ketika melihat dia, saya langsung tersentak (dan nyaris tersedak). Pasalnya, si Pak Guru ini memakai batik yang sangat bagus dan disetrika licin, sungguh mengingatkan saya kepada bapak saya yang seringkali pakai batik saat masih mengajar dulu.

Dengan senyum yang tak bisa saya kendalikan, saya pun bertanya, “Pak, ini asli Indonesia. Kok bisa sampean pakai batik? Dapat dari mana ini?” Dia juga tersenyum, tidak langsung menjawab pertanyaan saya. Kalau saya ingat-ingat lagi, betapa tidak sopannya saya waktu itu. Betapa tidak sopannya orang yang berseru, “Wah, sampean kok bisa-bisanya pakai baju begini? Ini bukan baju sampean pasti!” Saya sekarang kuatir jangan-jangan ketakjuban saya terdengar seperti itu di telinga Charles. Tapi Charles adalah guru yang sabar dan bijak. Dia menjawab, “Dari Kamerun. Ini banyak di Kamerun. Saya suka sekali.” Saya semakin takjub luar biasa saat mendengar jawaban dari dia bahwa batik juga diperdagangkan di pasar Kamerun. Saat itulah, saya langsung selipkan satu pernyataan yang tidak biasanya saya sampaikan ke orang, “Mungkin Njenengan tahu, Pak, kalau ada orang Kamerun yang pernah sangat populer di Indonesia. Ya, Roger Milla. Dia lumayan dicintai waktu main di Liga Indonesia.” Saya tidak biasanya menceritakan hal-hal kecil seperti ini saat baru kenal orang, tapi saat itu saya merasakan sepertinya adalah hubungan yang cukup signifikan antara eksistensi Roger Milla di Indonesia dengan dikenalnya Indonesia di negeri Kamerun sana.

(Postingan ini akan diupdate begitu ada kesempatan. Saya masih ada stok kisah eksistensi Indonesia, termasuk kisah seorang pegawai negeri asal Afrika yang terpesona seafood waktu di Indonesia dan sampai sempat beli korden di Jakarta, dan juga ada kisah sastrawan Brazil yang menulis kisah orang yang mengaku bisa berbahasa Jawa sekadar membuktikan bahwa dia menguasai sesuatu yang tidak dikuasai orang lain di Brazil.)

 

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *