Kembali lagi, tibalah saatnya ketika blogging menjadi sebuah kemewahan. Setengah mati saya ingin berbagi kisah tentang menyelesaikan dua buku bangkok melalui audiobook, tapi kesempatan berkata lain. Sekarang, mumpung ada waktu 5 menit, saya akan gelontorkan semua keinginan halal itu dalam beberapa paragraf saja (sambil ditemani cukup dua potong lagu country). Sekali lagi, saya umumkan, saya menyelesaikan “membaca” dua buku menarik, yaitu “Moby Dick” dan “Around the World in 80 Days” melalui audiobook.

Gagasan “membaca” audiobook ini muncul saat saya sadar bahwa pekerjaan saya selama musim panas bersifat sangat “fisik” dan bisa dilakukan tanpa harus pikiran terlalu terbebani. Salah satu yang banyak saya kerjakan adalah nyetir mobil ke bandara untuk menjemput mahasiswa baru atau mengantar mahasiswa yang menyelesaikan program pendidikan. Jadi, setidaknya adalah waktu setengah jam dalam perjalanan ke atau pulang dari bandara di mana saya menyetir mobil sendirian melalui jalan2 pedesaan. Setengah jam mungkin terasa singkat, tapi terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja dengan melihat sapi-sapi dan gulungan jerami sambil memperhatikan batas kecepatan berkendara. Tugas saya yang lainnya misalnya adalah menyortir dokumen-dokumen mahasiswa dan memindainya (men-scan-nya :D). Saya bisa melakukan pekerjaan sortir dan scan ini selama setengah hari di sebuah ruangan sepi. Awalnya saya mendengar musik, tapi demi mengingat bahwa diri saya ini bukan kritikus musik, saya pun berpikiran buat apa juga saya terus-terusan mendengar Dream Theater atau Avenged Sevenfold terus-terusan. Toh saya tidak berpretensi untuk mencari kesalahan-kesalahan kord-nya Sinister Gates atau John Petrucci. Maka saya putuskan untuk melakukan sesuatu yang konstruktif sambil melakukan sesuatu yang produktif lainnya.

Kenapa pilihannya jatuh ke Moby Dick? Saya memilih novel raksasa ini karena, pertama, Moby Dick adalah salah satu novel paling penting dalam sastra Amerika. Alasan kedua adalah saya mengira bahwa saya tidak akan sempat menyelesaikan novel ini kalau tidak dipaksa, dan saya pikir saya akan membutuhkan seluruh musim panas untuk menyelesaikan mendengar novel ini. Akhirnya, saya pun pergi ke www.LibriVox.org dan mengunduh file buku audio novel ini. LibriVox adalah sebuah portal yang menggalakkan peng-audio-an buku-buku yang sudah habis masa hak ciptanya. Pembacaan buku-buku ini pun dilakukan oleh relawan. Orang-orang ini membaca tanpa ada yang membayar; semua dilandasi hasrat ingin berbagi bacaan favorit dengan orang lain. Saya pertama kali mengenal LibriVox pada musim panas yang lalu, saat saya mengambil kelas Fantasi dan Fiksi-Ilmiah secara online (dan gratis) dari www.coursera.org. Saya ingat, musim panas tahun lalu itu saya mendengar Frankenstein dan Dracula. Dengan adalah fasilitas dan waktu, saya pun beranggapan tidak ada alasan lagi untuk menunda baca Moby Dick. 

Maka proses membaca Moby Dick pun saya lalui di saat-saat saya menyendiri di ruangan arsip. Terkadang, saat menyortir dokumen-dokumen mahasiswa dari ruang arsip dan melihat foto mahasiswa cantik yang harus saya scan, saya mendengar bagaimana Herman Melville mendeskripsikan Queequeg. Atau, saat berkendara ke bandara dan melewati peternakan dan melihat sapi-sapi hitam (bahasa Inggrisnya angus :D), saya mendengar Melville mendeskripsikan jenis-jenis paus dan di samudera mana kita bisa menemukannya. Jadi ya, kadang-kadang gambaran yang muncul di depan mata tidak singkron dengan apa yang Melville ingin saya bayangkan. Tapi ya, kita tidak bisa mengharapkan mengharapkan segalanya gratis dan sempurna seperti anak diktator, kan? Oh ya, satu lagi, saya punya agenda tersembunyi dengan Moby Dick dan kisah-kisah petualangan yang melibat belahan dunia barat, timur, utara, dan selatan: melihat persentuhan antara budaya barat dan timur, utamanya Kristen dan Islam, melihat bagaimana satu sama lain saling menilai.

Belakangan, saya temukan bahwa mendengar buku audio bisa sangat adiktif. Saya jadi kecanduan dan seringkali rindu bekerja. Saat melakukan hal-hal lain, saya jadi rindu sendirian di ruang arsip atau menyetir sendirian ke bandara sambil mendengarkan satu dua bab Moby Dick. Biasanya, satu bab berukuran 20 hingga 30 menit. Dan karena Moby Dick adalah buku yang relatif gado-gado babnya (ada petualangan, ada deskripsi ilmiah, ada kutbah gereja, ada action), jadinya mendengarkan novel ini terasa sangat warna-warni. Sekilas sempat mengingatkan saya pada sandiwara radio tahun 80-an (“Awas kakaaaaang!!!!”). Alhasil wal-benefit, saya pun menyelesaikan Moby Dick kurang dari satu bulan. Dan saya sempat sedih waktu sudah mendekati bab 135, bab terakhir novel ini. Tapi di sisi lain rasanya sungguh memuaskan secara batin. Seolah-olah, saya gugur kewajiban “naik haji” secara pembaca sastra Amerika.

Karena masih ada waktu, saya pun mencari buku lain. Saya pikir, ada lagi buku-buku yang wajib saya, misalnya buku-buku Jane Austeen. Oke, saya pun mencoba mengunduh Pride and Prejudice dan mulai menyimaknya. Tapi, ada satu yang tidak bisa dibohongi, saya lebih suka kisah yang warna-warni tinimbang kisah drama percintaan yang berlarat-larat. Saya mendengar tiga bab dan nyaris ketiduran lima kali. Akhirnya, demi menjaga keselamatan saya selama berkendara (dan demi mengingat bahwa saya punya anak dan istri), saya pun menggagalkan niat menyelesaikan Pride and Prejudice. Saya pun banting setir, mencari kisah petualangan yang bisa dibilang penting (dan memenuhi agenda pertemuan timur dan barat seperti saya sebut di atas). Pilihan pun akhirnya jatuh ke novel Jules Verne, Around the World in 80 Days. Novel ini jauh lebih pendek dari Moby Dick, dan sepertinya jauh lebih pendek dari novel Jules Verne lainnya, misalnya 20,000 Leagues under the Sea yang saya khatamkan baca tiga setengah tahun yang lalu. Walhasil, saya selesai baca novel ini dalam waktu sekitar seminggu, itu pun saya masih sempat mendengarkan dua kali bab-bab terakhir.

Okelah, sepertinya sudah lebih dari empat lagu country yang saya dengarkan–ini sudah melebihi janji saya untuk blogging hanya selama dua lagu country. Mungkin, bukan mendengar buku audio saja yang adiktif, apa saja bisa adiktif saat dinikmati, seperti misalnya blogging seperti ini. Sementara waktu, saya tidak bisa membuat kesimpulan yang berarti dari postingan ini selain, satu, membaca buku tidak hanya bisa dilakukan secara borjuis (maksudnya duduk dan merenung sambil kopi tersedia di meja dan dapur sudah mengepul sempurna); dua, mungkin kita perlu menggalakkan upaya sukarela untuk meng-audio-kan buku-buku yang sudah habis masa hak-ciptanya agar orang lain bisa menikmatinya–bahkan mereka yang sibuk bekerja; dan tiga… Ah dua saja cukup!

 

2 thoughts on ““Mendengar” Buku Audio, Membaca Buku Gaya Kelas Pekerja”
  1. “Teknik dan montase… Hendra Mahendra!” *teteepp* Apik iki Mas. Yen soal audiobook cara Enggres ngene listening skills adalah segalanya ya.

    1. Saya pingin mulai mengaudiokan Sengsara Membawa Nikmat, Bung Budi. Lagi cari teman buat gotong royong ngrekamnya. Bagaimana menurut panjenengan? Kalau ini, kita semua pasti punya level listening skill yang dibutuhkan. 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *