Berikut ini saya posting terjemahan puisi Walt Whitman “O Captain, My Captain!” hasil revisi ala kadarnya dari upaya saya menerjemahkan puisi ini pada tahun 2007 dan mempostingnya di yahoogroups Apresiasi Sastra. Kenapa saya revisi lagi (dan masih juga kelihatan belum pantes dipamerkan)? Revisi ini saya lakukan sekadar untuk menyelamatkan muka atas sejumlah kesalahpahaman saya atas kalimat-kalimat Walt Whitman.
Tentu saja, dalam khazanah sastra Amerika, puisi ini sangat penting karena merupakan puisi yang mengacu kepada gugurnya Abraham Lincoln secara tragis di tangan seorang penembak pada tahun 1865, setelah usainya Perang Saudara Amerika, yang pecah setelah Lincoln memutuskan untuk mengambil tindakan atas membelotnya negara-negara bagian Selatan Amerika Serikat. Negara-negara bagian Selatan itu masih ngotot tidak mau patuh pada perintah dari pemerintah federal, salah satunya, untuk menghapus perbudakan yang marak di kawasan Selatan yang agraris. Lincoln ditembak, ironisnya, setelah Perang Saudara ini usai. Puisi ini ditulis oleh Walt Whitman pada tahun yang sama dengan tewasnya Abe Lincoln. Terlihat dalam puisi itu sang kapiten tewas setelah “Kapal lewati segala dera, impian sudah di genggaman” sebagaimana disebutkan di bait pertama. Semangat yang sama ditegaskan kembali pada bait terakhir saat persona puisi ini saat dia bilang “Setelah perjalanan maut, kapal telah berjaya, impian telah terjala … kau di geladak ini/Terkapar dingin tak bernyawa.”
Buat kita, yang tumbuh besar di masa 80-an, 90-an, dan 2000-an, puisi ini penting karena dia dikutip secara masif, terstruktur, dan sistematis dalam film Dead Poets’ Society oleh almarhum aktor Robin Williams. Sang guru yang diperankan Robin meminta murid-muridnya memanggil dia “O Captain, My Captain.” Hari ini, “O Captain, My Captain” mungkin menjadi trending topic karena kematian tragis Robin Williams yang kondisinya menunjukkan tanda-tanda bunuh diri. Kabar dari keluarga dan orang-orang dekat, Robin Williams mengalami tekanan batin selama akhir masa hidupnya. Dengan banyaknya masa-masa penuh air mata keharuan bercampur kebahagiaan yang telah dia racik dalam hidup kita semua melalui film-filmnya, marilah kita mengingat Robin Williams sebagai orang yang bahagia. Tapi, INI YANG LEBIH PENTING LAGI, semoga kita semakin peduli kepada teman-teman dan orang dekat kita jika mereka tampak sedih, tertekan, atau membutuhkan bantuan tapi terlalu berat untuk menyatakannya. Semoga, dengan kepedulian kita, semakin berkurang kasus bunuh diri karena depresi.
DUHAI KAPITEN! Kau Kapitenku!
(Walt Whitman)
1
DUHAI KAPITEN! Kau Kapitenku! Perjalanan mengerikan telah usai;
Kapal lewati segala dera, impian pun sudah di genggaman;
Dermaga sudah dekat, kudengar loncengnya, orang-orang bersuka ria,
Sementara mata ikuti lunas yang kokoh, kapalku merengut gagah:
Namun, Duhai hati! hati! hati!
Duhai tetesan darah yang memerah,
Di geladak Kapitenku terkapar,
Dingin tak bernyawa.
2
DUHAI Kapiten! Kau Kapitenku! bangkit dan dengar lelonceng itu;
Bangkitlah, untukmu bendera itu berkibaran, untukmu terompet membahana;
Untukmu karang-karangan bunga berpita, untukmu penuh sesak pantai ini;
Untukmu mereka berseru, kerumunan itu riuh rendah, semuanya mencarimu;
Kemarilah Kapiten! Ayahku tercinta!
Biarkan lenganku membopong kepalamu;
Seolah mimpi, kau di geladak ini,
Terkapar dingin tak bernyawa.
3
Kapitenku tidak menjawab, bibirnya pucat dan beku;
Ayahku tidak bisa merasakan lenganku, tak ada denyut tak ada kehendak;
Sauh telah dilepas, pelayarannya telah usai;
Setelah perjalanan maut, kapal telah berjaya, impian telah terjala;
Bersukalah, semua pantai, berkelonenglah, semua lonceng!
Sedang aku, dengan langkah duka,
Di geladak Kapitenku terkapar,
Dingin tak bernyawa.