Judul: Fragmen Malam: Setumpuk Soneta
Penulis: Wing Kardjo
Penerbit: Pustaka Jaya
Tahun terbit: 1997
Kalau ada sekelompok dosa yang hanya bisa dibuat oleh para pengulas/peresensi buku, maka dosa yang paling besar adalah meresensi buku kumpulan puisi. Di manakah adilnya mengulas buku berisi kumpulan sepotong-sepotong kecil tulisan yang masing-masingnya adalah hasil perenungan habis-habisan, yang penulisannya seringkali disertai pergolakan batin? Dengan kesadaran seperti itu–ini disclaimer–saya akan mengulas buku Fragmen Malam: Setumpuk Soneta karya Wing Kardjo yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1996 (bukan 1975 seperti disebutkan di tulisan Soni Farid Maulana ini). Dalam buku ini, Wing Kardjo menggelar show of force kebebasan, seperti tampak dalam baik dalam penggunaan bentuk puitik yang sudah mapan dengan seenak udel maupun pengungkapan kebencian dan kesebalan atas berbagai borok rezim-rezim Indonesia sejak kemerdekaan.
Soneta Wing Kardjo adalah soneta jumlah baris saja. Selain itu yang ada adalah modifikasi atau mungkin lebih tepatnya akuisisi dan apropriasi. Menurut tradisi sastra bahasa-bahasa Eropa Barat, soneta adalah bentuk yang cukup ketat dalam hal jumlah baris, metrum, dan rimanya. Bahkan, sebagaimana dimasukkkan dalam definisi soneta versi Chris Baldick dalam Concise Oxford Dictionary of Literary Terms, tidak semua tema cocok untuk menyampaikan tema-tema tertentu. Dari soneta-soneta Petrarch dan Dante, kita tahu bahwa mereka bertemakan cinta, tepatnya kisah cinta dalam tradisi “cinta adiluhung” (yang pernah saya bahas di sini). Baru belakangan, berabad-abad setelahnya penyair-penyair lain memperluas skup tema soneta hingga mencakup agama dan politik (Baldick 240). Intinya, soneta adalah sebuah tradisi yang terbangun, dan pasti banyak yang membela kalau sampai ada yang menerjang tatanannya.
Wing Kardjo, dalam bahasanya sendiri, “memperkosa sendiri.” Tapi tentu saja ini hanya sikap rendah hatinya saja. Lebih tepatnya, dia memperkosa aturan-aturan yang membatasi soneta hanya pada tema-tema tertentu dan ukuran-ukuran tertentu. Dia justru membebaskan soneta dari aturan-aturan itu. Wing Kardjo tidak menggunakan, misalnya, rima ababcdcd efefgg seperti halnya tradisi soneta sastra Inggris (soneta Shakespeare), tapi dia tidak benar-benar menggunakan puisi yang super bebas seperti halnya saat Adonis memberontak tradisi syair Arab. Dia masih menggunakan kaidah-kaidah rima antar kata dan aliterasi. Sehingga kita pun tetap bisa mendengar alunan yang memberikan kesan berirama. Contohnya:
Sehelai surat
ditulis dengan mimpi
waktu lampu sepi
membawa arti.Sehelai surat
terlambat, salah
alamat.(“Slemmestad” 173)
Dia masih sangat peduli dengan rima, meskipun hanya pada level kata, bukan baris. Lagian, buat apa sampai mematuhi aturan rima baris dan metrum (misalnya harus iambic pentameter) untuk puisi berbahasa Indonesia, yang fitur-fiturnya sangat berbeda dengan bahasa-bahasa Eropa Barat?
Selain mengakuisi jumlah baris ini, Wing Kardjo juga memperkaya soneta ini dengan tema yang bisa dibilang apa saja. Dia berpuisi tentang cinta yang patah, cinta yang absen dari hubungan seks, maupun cinta kepada pemimpin besar revolusi. Dia berpuisi tentang agama yang sempat lama absen. Dia juga kisahkan kepada kita cerita tentang naiknya Ken Arok ke kursi kekuasaan setelah menggagalkan pemberontakan Kebo Ijo atas kesaktian Tunggul Ametung (ah, Penyair, kenapa kauceritakan ini kepada publik nusantara pada perempat terakhir abad ke-20? bahkan kau pun tak mau repot-repot menyebutnya alegori!). Pendeknya, bagi Wing Kardjo, soneta hanyalah soneta, yang boleh berdandan seperti apa saja dan berkata apa saja. Lagipula, tentunya akan sangat konyol jika Wing Kardjo sampai mengikuti tradisi ketat soneta dari Eropa Barat, sementara dia juga masih suka mengingat tentang masa kolonial Eropa Barat yang ikut mewariskan bangsa terbelakang dengan pemimpin yang ingin kaya sendiri.
Kebebasan juga tampak berkibar-kibar pada kisah-kisah yang dihantarkan soneta-soneta Wing Kardjo. Sebelum terlalu jauh, kita lihat saja rangkaian soneta pengantar yang berjudul “Le Poéte maudit” atau “Penyair Terkutuk” (untuk google translate hanya sehasta). Si penyair tidak ingin ditunggu, dia akan pulang nanti kalau selesai urusannya dengan mimpi yang “bukan hidup kita sehari-hari” itu. Dia memilih menjadi “gelandangan saja di kota-kota tak bernama,” dan tak mau diributkan soal mencari uang. Di jaman ini, kebebasan mana yang lebih agung dari kebebasan dari uang? Mimpi-mimpi, yang dalam sajak-sajak Wing Kardjo ini merupakan metafora untuk kehidupan berkesenian, intelektualisme, dan kebudayaan–terus menerus mengingatkan kita akan utamanya kebebasan dalam soneta-soneta Wing Kardjo. Wing Kardjo banyak menggungat rutinitas sehari-hari yang mengubah manusia “jadi sekrup” (“Endless Tape”). Soneta-soneta ini berbicara, di antaranya, tentang kehidupan ideal penyair, yang bebas dari tuntutan menjadi bahan bakar mesin industri (kalau ini dari “Welcome to the Machine” Pink Floyd).
Untuk masyarakat Indonesia yang dipenuhi kesantunan adat istiadat ketimuran nan adiluhung, tentu tak ada wujud kebebasan (atau kelonggaran! ah, negatifnya!) yang lebih dari kebebasan mengumbar syahwat, terutama di berbagai ranjang, dengan berbagai pasangan. Soneta-soneta Wing Kardjo, terutama yang berlatar Eropa, membahasakan dengan lugas tentang “surga di mana-mana” ini. Saya tempelkan di sini satu puisi penuh:
Surga
Ke Paris!
(menghindari
sipilis) Amsterdam
God damn!Sementara
Iqra buka celana
aku menunggu depanetalase kaca
(yang tirainya
menutup dan membuka)Aku sensara, sengsara
bukan karena neraka
tapi surga di mana-
mana!
Bagi masyarakat Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang apapun agamanya masih percaya adanya imbalan kebaikan bernama surga dan pembalasan keburukan berupa neraka, tentunya pembalikan imaji surga dan neraka versi Wing Kardjo (versi penyair dekaden Perancis?) ini tentulah subversif.
Omong-omong soal subversif, tentu tidak mungkin saya melewatkan menyinggung puisi-puisi yang membuat berpotensi membuat risih penguasa berbagai orde di Indonesia. Pada puisi-puisi yang terkumpul pada bagian “Lampiran: merampok kata/memperkosa soneta” kita bisa melihat puisi-puisi yang “merampok” kata-kata dari dokumen seperti pembukaan UUD, pasar UUD, dan lagu nasional dan menggunakannya untuk membuat gamblang ketimpangan nasional. Puisi “Mantan Presiden” adalah parafrase dari nasib malang bapak proklamasi yang mengingat cita-cita perjuangannya sementara menjadi “tahanan bangsanya sendiri.” “Penjelasan Pasal 33” adalah penjelasan dengan bahasa lugas atas pasal 33 seolah-olah untuk menjelaskan kepada kita audiens yang bertanya dengan tulus tentang penjelasan pasal itu. Penjelasan yang lugas ini tentu saja satir–satir yang sesungguhnya–karena tentu saja tidak ada yang pernah menanyakan kepada tentang pasal itu karena mungkin banyak yang pada kenyataannya tidak mempedulikan pasal itu. Di antara semua puisi di bagian ini, puisi “Epitaph” adalah yang paling miris sekaligus langsung menunjuk hidung si penjahat, terutama di bagian sekstet (plus separuh baris sebelumnya):
… Tentu saja aku bukan
Presiden seumur hidup dan bukan pula Pemimpin besar
revolusi, au hanya sekadar pembaca proklamasi.
Tentu saja aku cinta dan hormat pada ibukutapi aku telah memotong tali ari-ari, tak minta aku tidur
dan berkubur di sampingnya. Aku hanya punya satu
ibu, ibu tercinta kita bersama, Ibu Pertiwi. (“Epitaph” 334)
Tentu yang ditunjuk hidungnya adalah bapak presiden Soeharto yang waktu itu tidak mempedulikan permohonan mantan presiden Soekarno untuk dikuburkan di Istana Batu Tulis Bogor (disebutkan Wing Kardjo “Tanah Priangan, dalam udara nyaman, di bawah pohon yang rindang… memandang … pemandangan indah”). Soeharto malah mengeluarkan Keppres No. 44 th. 1970 yang menegaskan bahwa Soekarno akan dikuburkan di Blitar, di sebelah makam ibunya.
Maka demikianlah parade kebebasan Wing Kardjo dalam Fragmen Malam. Dia mengakuisisi nama soneta dan jumlah barisnya dan mengapropriasi rima, metrum dan temanya untuk kebutuhannya sendiri. Karena pernyataan Wing Kardjo di bagian awal bahwa sebagian besar puisi ini ditulis di negara asing (Perancis dan Jepang), saya tidak tahan untuk menghubungkan antara berbagai kebebasan ini dengan keberadaan si penyair di negara asing selama proses kreatif sebagian besar puisi ini. Tentu saja masyarakat timur tidak punya cukup daya untuk menghalangi puisinya bertualang dari satu ranjang ke ranjang lainnya, otoritas sastra penegak hukum bentuk tidak punya cukup daya untuk menggugat sonetanya yang kurang patuh norma sastra, dan tangan-tangan gurita orde baru tidak bisa mencekalnya karena toh dia tidak banyak meminta jatah penghidupan dari mereka. Tapi, ini semua baru hipotesa-hipotesa saja. Akan sangat mengasyikkan dan memuaskan kalau saya bisa mendukung klaim-klaim ini dengan riset yang memadai.