(Ulasan) Orang-orang Bloomington: Narator (Disinyalir) Penipu, Kota Realistis, Masalah Ganjil, Bahasa Dilematis

Judul buku: Orang-orang Bloomington
Penulis: Budi Darma
Penerbit: Metafor Publishing/Sinar Harapan
Tahun terbit: 2004 (Metafor Publishing)/1980 (Sinar Harapan)

Dalam diskusi yang membicarakan buku-buku kumpulan cerpen wajib baca dalam sastra Indonesia, biasanya Orang-orang Bloomington karya Budi Darma diikutkan dalam daftar tersebut. Dalam diskusi aliran-aliran dalam sastra Indonsia, buku ini juga biasanya disebutkan sebagai satu dari karya-karya absurd tahun yang mulai banyak bermunculan mulai dekade 1970-an (penulis-penulis yang biasanya disertakan dalam daftar penulis karya absurd lainnya antara lain Iwan Simatupang dan Putu Wijaya). Sayangnya, saya belum pernah menemukan sendiri satu pembahasan kritis yang cukup ekstensif atas cerita-cerita dalam Orang-orang Bloomington itu sendiri. Setelah sekali baca, mungkin bisa kita sebut buku ini enak dibaca dan menyisakan pertanyaan yang tak tuntas-tuntas (“kamsudnya apa?” “terus?” “kok sebegitunya ya?” dsb).

Saya sendiri terganggu pertanyaan-pertanyaan itu selama membaca cerita-cerita dalam buku ini, tapi untungnya buku ini sendiri sebenarnya membuka dirinya untuk diinterogasi. Cerita-cerita yang disebut absurd itu (setelah ini saya tidak akan pedulikan istilah “absurd” yang memiliki kandungan ideologis yang berat itu, jadi ini terakhir kalinya saya menyebutkan kata ini, sumpah!) tergabung dalam sebuah buku dengan judul yang memayungi semuanya: Orang-orang Bloomington. Judul yang tidak asal diambil dari judul salah satu cerita ini sebenarnya adalah isyarat bagus buat kita, seolah bilang: “Cerita-cerita yang ada di sini ini adalah cerita tentang orang-orang dalam satu dunia yang utuh.” Dengan kata lain, cerita-cerita dan tokoh-tokoh dalam cerita-cerita tersebut bisa didekati sebagai cerita dan tokoh yang terjadi di satu dunia. Implikasinya, kita bisa memperlakukan buku ini serupa novel (atau, istilah teknisnya, sebuah kesatuan badan cerita novelistis), di mana satu bagian bisa dipakai untuk membantu memahami bagian yang lain. Tentu ini tidak ada salahnya; toh, seperti ditegaskan oleh kritikus Rusia Mikhail Bakhtin yang melakukan studi ekstensif atas genre (khususnya novel), novel adalah genre yang paling luwes dan “belum” memiliki batasan yang tegas. Dengan membiarkan cerita-cerita ini menjelaskan dirinya, kita bisa mendapatkan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang membuat kita nggumun selama membaca buku ini.

Lazimnya, saat membaca sebuah buku dan kurang bisa memahaminya, kita tanpa sadar suka menarik dua kesimpulan ekstrim: kalau bukan ceritanya yang memang tidak bagus, ya berarti kita sendiri yang kurang bisa memahami kebagusannya. Dalam kaitannya dengan Orang-orang Bloomington, kita bisa dengan mudah tergelincir bilang “buku ini bagus banget karena hewes-hewes-hewes (alasan yang kurang bisa dipertanggung-jawabkan kebenaranya)”; atau, bisa jadi kita menjawab “gimana ya? tokoh-tokoh dalam ceritanya ganjil sekali!” (sebuah sikap yang tidak jelas menunjukkan posisi si pembicara; atau, yang mungkin sering ada, kita akan bilang “ceritanya agak aneh, bukan seleraku” (yang mengindikasikan tidak adanya minat untuk memahami lebih jauh kenapa dan bagaimana cerita-cerita itu aneh). Dalam kesempatan ini, saya ingin mencoba membiarkan cerita-cerita itu menunjukkan dirinya kepada saya (tentu saja dengan peran aktif saya menyeleksi bagian-bagian yang saya anggap mewakili elemen-elemen tertentu dalam buku ini). Dan seperti akan Anda baca di bawah ini, ada sejumlah hal yang membuat buku ini memang menarik dan layak untuk diberi investasi perhatian meskipun pada awalnya agak sulit bagi kita memastikan apa-apa yang menjadikannya menarik.

Jadi, dalam kesempatan ini saat tidak akan berpretensi menjelaskan apa maksud dari cerita-cerita dalam buku Orang-orang Bloomington. Yang akan saya lakukan adalah bagaimana elemen-elemen dalam cerita-cerita itu bekerja. Semoga dengan memahami cara kerja cerita-cerita ini, pada akhirnya kita bisa menyusun makna dari cerita ini. Dan setelah menyusun pemaknaan ini, idealnya kita bisa lanjutkan dengan menjawab pertanyaan “so what” atau “terus apa pentingnya” buku ini dan membaca buku ini.

Maka inilah, kita lihat seperti apa cerita-cerita dalam Orang-orang Bloomingnton itu dilihat dari elemen-elemen sastranya.

Penokohan

Yang paling menarik dari penokohan dalam Orang-orang Bloomington terletak pada penokohan para naratornya. Para narator ini sama sekali tidak bisa diandalkan narasinya. Mereka memiliki bias-bias tersendiri karena terlibat secara aktif di masing-masing cerita. Karena bias inilah, kita tidak bisa benar-benar mengandalkan narasi mereka sebagai laporan pandangan mata, dan inilah yang membuat cerita ini jadi sangat mengasyikkan untuk ditelusuri. Satu-satunya jendela yang memungkinkan kita melihat dunia “Bloomington” adalah jendela yang tidak bisa begitu saja dipercaya kebenarannya (kenapa “Bloomington” diberi tanda kutip? Saya akan bahas Bloomington dalam bagian tersendiri, tapi sementara jangan langsung anggap kota ini sama dengan kota Bloomington di negara bagian Indiana).

Semua narator dalam buku ini adalah pria berusia tiga puluhan tahun yang memiliki “masalah” mereka sendiri yang kebanyakan berpangkal kepada kesepian. Ada narator yang tertarik dan ingin mengenal seorang lelaki tua yang hidup menyendiri di loteng; ada narator usil yang, karena kurangnya kegiatan, ingin mengenal seorang perempuan tua yang tinggal sendirian; ada narator yang terusik lampu sebuah apartemen yang tidak pernah dimatikan sepanjang hari dan akhirnya melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh seorang yang menganggur; dan ada juga seorang narator yang terusik dengan tingkah anak-anak kecil hingga sampai hati melakukan hal-hal gila demi mencelakai anak-anak kecil itu. Ada juga narator yang–bukan karena kesepian per se–menyukai seorang gadis dan rela pindah ke lingkungan tempat tinggal si gadis meskipun harus membayar denda karena memutus kontrak asrama. Yang paling agak berbeda adalah seorang narator yang nyaris putus asa dengan tingkah anaknya yang dia anggap di luar kewajaran hingga dia sebut “cacat.”

Para narator itu pada satu titik dikalahkan orang keadaan atau orang-orang yang dia usili, dan dalam situasi semacam itulah kita melihat betapa satu sisinya dunia “Bloomington” yang ktia dapatkan. Nah, kalau sudah sekali saja si narator menunjukkan isyarat “menipu” kita para pembaca ini, maka tidak menutup kemungkinan juga dia akan atau sudah menipu kita pada saat menceritakan hal-hal lain. Yang kita tahu adalah dari para narator yang tidak bisa diandalkan ini kita mendapatkan gambaran kota Bloomington yang unik, yang merupakan topik bahasan bagian berikut:

Latar

Kalau informasi pada beberapa cerita bisa kita jadikan generalisasi, maka novel ini berlatar waktu sekitar tahun 1979. Sebagian cerpen memiliki rentang waktu cuma beberapa bulan, tapi sebagian adalah kisah yang terjadi dalam rentang waktu cukup panjang, beberapa tahun (cerita “Orez” misalnya). Pada masa ini, orang-orang bisa memiliki telepon kabel sendiri saat menyewa apartemen atau kamar, dan pada buku telepon bisa ditemukan nama-nama orang yang memang tidak keberatan nomor teleponnya dimasukkan buku telepon.

Bagaimana dengan latar tempatnya? Tentu saja ini tidak sulit diketahui: semua cerita ini terjadi di kota Bloomington, yang merupakan tempat bercokolnya Indiana University, Bloomington. Kejadian dalam cerita-cerita ini berkutat pada wilayah di sekitar kampus universitas yang cukup tua dan bangunannya klasik itu, di sekitar tempat-tempat ini. Nama-nama jalan dan bangunan pun hingga saat ini masih sama. Dalam hal lokasi geografis, Orang-orang Bloomington sangat spesifik. Dan kalau memang diatur sedemikian rupa, para tokoh dari satu cerita bisa saja bertemu dengan tokoh-tokoh di cerita lain. Kita tahu bahwa sebagian dari mereka tinggal di Tulip Tree Apartment (sebuah gedung apartemen bertingkat yang sangat besar di lingkungan kampus Indiana University, Bloomington), sebagian di Jalan Fess, Jalan Grant dan persimpangan antara Jalan Fess dan Jalan Sepuluh. Bahkan, salah seorang narator menyebut nama seorang tokoh sampiran lain dari cerita lain. Jadi, bisa dibilang latar tempat dan waktu yang dihuni para tokoh dalam cerita ini sama.

Waktu kejadian, lokasi kejadian, dan hal-hal lain yang melatari cerita-cerita ini bisa dibilang realistis, serupa dengan apa yang ada di kenyataan. Kita lihat di sana bagaimana sistem kerja dan sistem hukum yang berlaku dalam cerita-cerita ini pun bisa dibilang realistis. Dan di sinilah yang membuat kisah-kisah ini dilematis. Di satu sisi kita melihat petingkah dari para tokoh yang “biadab” dan “kebinatangan” dan “sukar dinalar” (mungkin inilah yang membuat orang menggolongkan cerita-cerita ini absurd); tapi di sisi lain kita melihat bahwa dunia yang ada di cerita-cerita ini nyata dengan segala fakta-fakta sederhananya (bahkan puisi-puisi yang dikutip sebagai puisi orang lain pun memang puisi asli yang di-Indonesiakan, misalnya puisi T.S. Eliot dan Emily Dickinson). Apakah para narator yang tak bisa diandalkan itu yang membuat cerita ini absurd? Bisa iya, bisa tidak.

Kita lanjutkan saja dengan membahas motif-motif yang berulang kali muncul dalam buku ini. Sebenarnya, pada umumnya orang akan membahas plot setelah membicarakan penokohan dan setting. Tapi, karena cerita-cerita ini memiliki plot sendiri-sendiri yang tidak bisa dibilang dilihat hubungan logis dan kronologisnya antara satu sama lain, maka saya soroti saja motifnya, kejadian-kejadian yang berulang kali muncul.

Motif

Sebenarnya, motif bukan sekadar kejadian yang berulang kali muncul, tapi kejadian-kejadian yang merupakan respons atas hal-hal tertentu dengan tujuan-tujuan langsung yang serupa. Yang lebih penting lagi, kejadian-kejadian serupa ini sering muncul, seolah minta untuk tidak diacuhkan. Dalam Orang-orang Bloomington, ada sejumlah motif yang tampak menonjol. Dalam kesempatan pertama ini, saya hanya ingin sejumlah motif yang negatif, yaitu: turut campur, menyembunyikan penyakit, berbuat keji.

Dalam hal “turut campur” buku ini bisa dibilang jagonya. Cerita pertama “Lelaki Tua Tanpa Nama” digerakkan oleh keinginan turut campur si tokoh utama saat melihat seorang lelaki tua melongok ke jalan dari loteng sebuah rumah. Narator kita ingin sekali tahu tentang orang tua misterius ini. Dia menanyakan ke semua orang tentang lelaki tua itu, seolah-olah ingin menyembuhkan dia dari kesunyian hidupnya. Para tokoh yang suka turut campur ini sebenarnya bisa hidup tentram sejahtera kalau dia memilih untuk tidak turut campur–tapi tentu saja kalau mereka begitu, mereka tidak akan dijadikan narator dalam Orang-orang Bloomington. Dan kecenderungan turut campur ini pun tidak bisa dibilang sebagai norma dalam kehidupan di Bloomington dalam buku ini; hanya para narator inilah yang suka turut campur, dan beberapa tokoh lain dalam cerita-cerita ini bahkan sampai menegur sikap si tokoh utama ini. Ah, tapi mungkin saja sikap seperti ini disebut turut campur di Bloomington; di kampung halaman kita, mungkin sikap seperti ini bisa dijustifikasi sebagai kepedulian atau wujud rasa sayang. Bedanya, sikap turut campur ini seringkali berbuntut fatal, seolah menegaskan bahwa di dunia Bloomington ini, turut campur sama sekali tidak diperbolehkan.

Motif kedua, “menyembunyikan penyakit,” merupakan motif yang paling sering muncul. Sekadar mengingatkan, penyakit sendiri adalah satu hal yang tidak pernah absen dari cerita-cerita ini. Ada penyakit masuk angin, penyakit kronis tak teridentifikasi (hidung berdarah, telinga bernanah) yang bisa menyebabkan kematian, hingga kondisi kejiwaan serupa dengan yang saat ini disebut ADHD (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas). Yang lebih menarik perhatian dibandingkan dengan kondisi kesehatan dan kejiwaan ini adalah kecenderungan menyembunyikan penyakit atau kondisi kesehatan ini. Narator dalam “Joshua Karabish” (satu-satunya narator yang diidentifikasi sebagai mahasiswa asing–mungkinkah Indonesia?) tinggal sekamar dengan Joshua Karabish yang pertama-tama menyembunyikan penyakitnya yang gejalanya adalah mimisan, kuping bernanah, nyeri di malam hari, dsb. Joshua sendiri tidak disukai teman-teman seapartemennya ketika mereka mengetahui bahwa mengidap penyakit (yang ternyata menular kepada si narator ini). Di sinilah tampak kecenderungan orang yang memandang sebagai pengidap penyakit sebagai orang yang nista dan harus dijauhi. Pendek kata, ada kecenderungan mengkriminalisasi orang yang menderita penyakit, terutama karena bisa menulari. Para penderita penyakit ini biasanya menyebutkan bahwa penyakit mereka tidak menular, padahal belakangan biasanya diketahui bahwa narator kita mengidap penyakit yang sama. Mungkin, intinya bukan pada menular atau tidak menularnya penyakit ini–sebagian memang seperti menular dan si penderita memang berbohong bahwa penyakitnya tidak menular (seperti Joshua Karabish misalnya). Intinya tampak pada kisah “Orez.”

Orez adalah anak yang mungkin pada jaman sekarang bisa disebut penyandang ADHD (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas). Dalam “Orez” si narator sama sekali tidak menyebut ADHD, dan bahkan menyebutnya “cacat perilaku.” Untuk konteks Amerika, ADHD baru dinyatakan sebagai gangguan kejiwaan pada akhir tahun 1960-an, dan pada akhir dekade 1970-an, kondisi ini belum banyak diketahui oleh masyarakat. Orang-orang masih cenderung memandang gejala ini sebagai “cacat.” Dalam kisah Orez, si narator, bapak Orez, sampai-sampai terpikir ingin menyembelih si anak, hingga dia menyadari bahwa si anak adalah manusia yang memiliki hak hidup, dan dia tidak memilih untuk mendapatkan kondisi “liar” tersebut. Di sinilah, pada bagian inilah, tampak sikap buku Orang-orang Bloomington ini dalam kaitannya dengan penyakit. Di sinilah kunci yang membuka kenapa orang-orang dalam kisah ini cenderung menyembunyikan penyakitnya. Orang-orang ini takut dikucilkan orang-orang karena penyakitnya, padahal di mana adilnya mengucilkan orang yang menderita sebuah penyakit sementara dia sendiri tidak pernah meminta untuk mengidap penyakit tersebut. Sikap bapak Orez yang mencoba memahami Orez sebagai anak yang memiliki kondisi tidak wajar dan tidak menganggap kondisi itu sebagai alasan untuk membunuhnya (bentuk ekstrim dari mengucilkan) inilah yang membuka kunci ke motif menyembunyikan penyakit dalam Orang-orang Bloomington.

Karena keterbatasan waktu, dan karena saya harus berlanjut ke buku lainnya, maka motif ketiga kita lewatkan dulu. Namun, sementara bisa kita bilang bahwa Orang-orang Bloomington adalah kisah tentang orang-orang dengan sikap mental negatif (yang disinyalir tidak menggambarkan dunia Bloomington dengan akurat kepada kita) yang hidup di sebuah dunia realistis dengan sikap-sikap negatif yang sebenarnya merupakan hiperbola dari sikap negatif di lingkungannya. Tapi tidak belum final, karena kita belum mempertimbangkan bahasa yang unik dalam cerita-cerita ini.

Bahasa

Sekilas saja, bahasa yang dipakai dalam Orang-orang Bloomington ini tidak jauh berbeda dengan bahasa yang dipakai Budi Darma dalam cerpen-cerpen lain. Ada kecenderungan menggunakan kata-kata yang berkonotasi kuat (ah, saya tidak bawa buku saya Kritikus Adinan yang bisa saya jadikan contoh!). Tapi yang unik adalah apabila cerita-cerita dalam Kritikus Adinan berlatar di negeri yang tidak asing, maka penggunaan kata-kata secara unik itu dengan mudah kita maklumi dan kita anggap sebagai pilihan literer saja. Dalam cerita Orang-orang Bloomington ini, penggunaan bahasa untuk menggambarkan latar yang bukan merupakan habitat asli bahasa Indonesia dan Jawa ini menjadi sulit diacuhkan. Saya memiliki dua hipotesa terkait bahasa ini: bahasa ini menunjukkan siapa narator sebenarnya dari kisah-kisah ini, dan karena “bahasa menunjukkan bangsa” maka bisa jadi cerita ini adalah cerita yang sejatinya dinarasikan oleh orang Indonesia meskipun secara permukaan kita tahunya hanya satu dari cerita ini yang dinarasikan oleh mahasiswa asing (dari Indonesia?).

Ah, sebelum mendiskusikan soal bahasa, saya harus mengakui bahwa sebenarnya saya belum banyak menganalisis bagian ini. Sedikitnya yang bisa saya katakan, bahasa Indonesia dalam cerita-cerita ini bukan seperti bahasa Indonesia hasil dari menerjemahkan kejadian yang sejatinya terjadi dalam bahasa Inggris. Ada beberapa jenis contoh yang bisa saya ambil, antara lain pilihan kata dan ungkapan umum (idiom), dan rujukan-rujukan tertentu.

Yang pertama, dalam hal pilihan kata (yang otomatis membawa subject matter-nya sendiri), kita melihat hal-hal yang hanya ada dalam bahasa Indonesia tetapi digunakan untuk menceritakan hal-hal yang terjadi pada orang asing. Kongkretnya adalah istilah “masuk angin” sebagai salah satu kondisi yang seringkali menjadi alasan narator untuk mengunjungi dokter. Seperti banyak diketahui, masuk angin adalah gejala (yang dipercaya orang sebagai penyakit, meskipun tidak ada bukti medis yang mengafirmasi bahwa ini adalah penyakit, meskipun banyak orang yang pergi ke dokter dengan gejala ini) yang lazim di kalangan orang-orang Indonesia. Sakit populernya istilah ini, orang Jawa (apa orang dari wilayah lain di Indonesia juga? saya tidak ada niat mengklaim) memiliki metode tersendiri untuk mengatasinya: kerokan. Munculnya “masuk angin” dalam cerita ini menimbulkan tanda tanya. Apakah ini semacam penerjemahan/pengalihbahasaan untuk istilah kondisi fisik “influenza”? Apakah ini masuk angin yang dipahami dalam bahasa Indonesia? Termasuk dalam hal pilihan kata dan ungkapan umum ini adalah istilah “banteng ketaton,” yang merujuk pada kemarahan seseorang yang dilukai. Di dalam cerita “Yorrick,” narator kita menggunakan istilah “banteng ketaton” ini saat mengatakan tentang sikapnya yang buas karena terdesak. Apakah ini sekadar terjemahan, ataukah ini salah satu pintu yang menunjukkan bahwa cerita-cerita dalam Orang-orang Bloomington ini sebenarnya hanya cerita yang terjadi di pikiran orang Indonesia saja? Tentu saja, sebagai pembaca kita sudah tahu bahwa cerita-cerita ini hanya terjadi di pikiran Budi Darma, tapi mengingat keganjilan-keganjilan yang lain, tidakkah kita bisa mengartikan bahwa cerita-cerita dalam Orang-orang Bloomington ini sebenarnya cerita yang menyadari bahwa dirinya adalah cerita yang ada di pikiran orang Jawa? Dengan kata lain, cerita ini tidak berpretensi sebagai cerita yang hendaknya dipercaya sebagai kenyataan, seperti halnya kebanyakan cerita realis yang seolah-olah minta pembaca menganggapnya cerminan kenyataan.

Yang kedua terkait bahasa adalah munculnya banyak rujukan ke karya-karya sastra Indonesia (dan juga sastra Inggris). Pada cerita “Lelaki Tua Tanpa Nama,” ketika narator memasuki sebuah toko dan melihat keluar, dia melihat “gerimis mempercepat kelam” yang meskipun tidak disebutkan semua orang pasti tahu bahwa itu diambil dari puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” dari Chairil Anwar. Di tempat lain, seorang narator juga mengisahkan tentang temannya yang sakit-sakitan itu terkadang tampak sehat dan seolah “bisa hidup seribu tahun lagi” yang dikenal semua anak SD Indonesia sebagai puisi Chairil Anwar. Selain itu, ada adegan-adegan tertentu yang merupakan pinjaman dari karya-karya sastra lainnya. Yang paling ekstensif dan tampak jelas adalah adegan pesta terakhir dalam cerita “Yorrick” di mana semua orang memilih barang-barang dari baki sambil ditutup matanya. Dan kebetulan saja si Ny. Ellison mengambil tengkorak dan peti mati mainan. Seluruh bagian ini merupakan rekontekstualisasi dari adegan pesta dalam cerpen “Grace” dalam buku Dubliners karya James Joyce. Permainan referensi yang lumayan ketat tapi halus ini menimbulkan kesan bahwa cerita-cerita ini hanyalah cerita yang harus diterima sebagai cerita, bukan cerita yang dibikin sehalus dan senyata mungkin agar pembaca hanyut dan menganggapnya sebagai cermin kernyataan.

Simpulan 

Saya kehabisan nafas dan sementara belum ingin menyimpulkan apa-apa. Saya hanya bisa bilang bahwa kira-kira beginilah cara kerja cerita-cerita dalam Orang-orang Bloomington: Ada tokoh-tokoh dengan kecenderungan dan motif-motif cukup teratur yang  hidup dengan masalah-masalah unik di sebuah kota yang gambarannya cukup realistis tapi diceritakan oleh narator-narator yang tidak bisa diandalkan kebenaran ucapannya yang menceritakan kejadian-kejadian ini kepada para pembaca dengan bahasa Indonesia yang seolah-olah memang bahasa ibunya sendiri–sekaligus dengan menggunakan rujukan karya sastra Indonesia dan Inggris.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *