Orang-orang Bloomington yang Sakit (dan Berkebutuhan Khusus)

Seperti saya sebutkan di postingan sebelumnya yang membahas elemen-elemen literer Orang-orang Bloomington karya Budi Darma, buku kumpulan cerpen ini dipenuhi motif orang-orang sakit, takut sakit, tertular penyakit, dan merahasiakan penyakit. Apakah pentingnya motif ini? Kira-kira, hikmah apa yang bisa kita ambil dari tingginya intensitas orang sakit di dalam cerita-cerita ini? Kita bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut dengan lebih mudah bila kita membaca Orang-orang Bloomington sebagai satu buku utuh. Motif-motif berbau penyakit itu bisa menjadi metafora untuk sikap kita terhadap orang-orang dengan kondisi fisik dan kejiwaan berbeda.

Dalam Orang-orang Bloomington, penyakit dan kondisi fisik tertentu dipandang sangat negatif, sampai-sampai yang memilikinya pun harus menyembunyikannya. Kita temukan karakter yang menghindari orang sakit, menganggap penyakit sebagai sesuatu yang hina. Sikap menganggap hina orang sakit ini cukup menonjol pada beberapa karakter, misalnya pada cerita “Charles Lebourne” dan “Ny. Elberhart” yang kedua-duanya memandang negatif sang narator sebagai orang berpenyakit. Anti penyakit ini tampak lebih menonjol apalagi kalau penyakitnya menular. Padahal, orang-orang inilah yang sebenarnya mengidap penyakit-penyakit tertentu. Tidakkah ini keji? Seorang yang berpenyakit sampai menuduh orang lain berpenyakit biar dirinya sendiri tidak terlalu tampak hina (karena dia hanya tertular).

Lingkaran setan ini sungguh kejam, dan eksesnya adalah adanya sikap mengucilkan orang yang menderita penyakit tertentu, seperti tokoh Joshua dalam cerita “Joshua Karabish” yang dijauhi teman-teman sekosnya. Padahal, bukankah ini kebalikan dari dunia kedokteran? Bukankah dokter dan ahli kedokteran, sebagai teladan manusia yang berprikemanusiaan, malah harus mendekati orang sakit untuk bisa mencari pemecahan penyakitnya? Kalau orang sakit langsung dikucilkan, maka yang terjadi adalah melokalisasi satu permasalahan bersama tanpa mengusahakan solusinya. Jadinya seperti membuat koloni lepra tanpa adanya dokter dan penanganan. Kalau kita bawa ini ke ranah sosial, kita bisa dengan mudah menemukan contohnya: ghettoisasi, atau pengelompokan orang-orang tertentu dengan ciri-ciri tertentu yang dianggap negatif (baik itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis, seperti ghettoisasi orang-orang Yahudi di Eropa Timur pada masa ekspansi fasisme, maupun yang terselubung seperti pemojokan orang-orang kulit hitam miskin di kota-kota seperti Chicago, Illinois, dan St. Louis Timur, Missouri). Orang-orang Bloomington dalam hal ini seperti hasil reduksi atas permasalahan sosial yang pelik ke dalam alegori kehidupan sehari-hari.

Permasalahan ini jadi lebih kompleks lagi saat kita mendapati bahwa seringkali penyakit yang kita derita bukanlah hasil perbuatan para penderitanya. Saya tidak pernah meminta mengidap penyakit ini, kenapa kau menganggap kami hina? Dlam Orang-orang Bloomington, kita bisa temukan tokoh-tokoh yang penyakit atau kondisi fisiknya bersifat genetis. Salah siapa kalau begini? Contohnya adalah misalnya penyakit Karabish dan kondisi mental Orez, si balita super giras dalam cerita “Orez.” Tidakkah membuat kita berpikir saat hanya narator kita dalam “Joshua Karabish” yang bisa menerima menjadi teman Joshua? Bagaimana sikap kita saat bapak Orez nyaris putus asa dengan tingkah Orez, yang pada jaman sekarang mungkin bisa dipahami sebagai anak-anak yang memiliki ADHD (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas)?

Di sinilah bagusnya Orang-orang Bloomington; ada bagian-bagian yang merupakan “penebusan” atas dosa-dosa para tokoh yang mengucilkan orang-orang sakit itu. Penebusan dosa tersebut (atau solusi atas bagaimana orang harus bersikap kepada orang yang memiliki kondisi mental dan fisik tertentu) terdapat pada cerita “Orez.” Si bapak, narator kita, terus-menerus menganggap tingkah laku Orez yang lebih aktif (dan kuat dan gesit dan gaduh) daripada anak-anak seumurnya itu sebagai “cacat,” tepatnya cacat perilaku. Saking putus asanya si bapak dan istrinya, sampai-sampai mereka terpikir untuk memusnahkan/mengorbankan Orez. Ada bagian yang seolah ingin merekonstruksi adegan Ibrahim mengorbankan puteranya (Ismail, menurut penafsir Alquran, atau Isaac, menurut Injil). Tapi tentu si bapak tidak jadi menyembelih Orez. Mana mungkin binatang menyembelih manusia (bapak dan ibu Orez adalah binatang di atas ranjang, sebagaimana pengakuan si bapak sendiri)? Di akhir cerita, si bapak dan ibu melongok jendela, mencari Orez yang sedang bermain dengan (dan diterima oleh) anak-anak lain. Si bapak sadar, anaknya yang punya kondisi tidak biasa itu butuh dipahami, bukan diratapi. Di Amerika jaman sekarang (insya allah begitu juga di Indonesia), orang sudah semakin sadar bahwa kondisi berkebutuhan khusus seperti kondisi Orez bukanlah kecacatan—ada kondisi genetis, ketidakseimbangan kimiawi, yang membuat seorang anak begitu.

Orang tua Orez, serta narator dalam “Joshua Karabish,” adalah narator yg pada dasarnya tdk obyektif, segala pandangannya patut kita curigai (seperti saya sampaikan pada postingan sebelumnya) tapi, menariknya, di akhir cerita mereka sadar. Dan kesadaran mereka itu menebus dosa-dosa mereka yang mengucilkan orang-orang yang sakit dalam Orang-orang Bloomington. Mereka sadar bahwa apabila ada sesuatu yang tidak wajar dalam kehidupan ini, tidaklah tepat bila kita malah menjauhinya. Setiap masalah perlu diatasi, bukan sekadar ditepiskan. Dan untuk mengatasi masalah itu, dua orang Bloomington ini memahaminya, dan untuk memahami butuh mendekati. Begitulah menurut saya hikmah yang bisa dipetik (klise banget!) dari cerita tentang orang-orang fiktif dari Bloomington ini. Wassalaam.

Siapa itu di ujung lorong? Apakah ini dari Bloomington?
Siapa itu di ujung lorong? Apakah ini dari Bloomington?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *