Risalah karya Ibn Hazm (994 – 1064 M) dari negeri Andalusia ini membahas berbagai aspek penting dalam hubungan cinta kasih manusia. Pertama, aspek-aspek yang dibahas dalam buku ini cukup komprehensif, mulai dari ihwal dari mana datangnya cinta hingga apa saja dampak yang ditinggalkan cinta. Dan cinta kasih manusia yang dibahas di sini juga cukup komprehensif, mulai dari cinta kasih saudara hingga cinta kasih yang liar, semisal berbagi pasangan. Bisa dibilang, membaca Cincin Leher Merpati* itu seperti membaca pemetaan cinta kasih yang ada (terlepas dari itu lazim atau tidak) pada abad ke-11 di kalangan ketiga elemen demografis Andalusia–Islam, Kristen, dan Yahudi–sekitar masa peralihan dari pemerintahan kekhalifahan Umayyah hingga masa perang saudara atau fitna. Tapi, seperti halnya akan saya bahas secara singkat dalam postingan ini, lebih dari sekadar berbicara tentang cinta, buku ini juga mengindikasikan banyak hal lain yang berguna sebagai jendela mengintip Andalusia.
Observasi Deskriptif dan Preskriptif
Pertama, buku Cincin Leher Merpati (dengan versi Inggris terjemahan J. Arberry bisa dibaca di sini, meskipun dengan sejumlah salah ketika–mungkin karena scanner tidak mengenali huruf-hurufnya) adalah risalah yang cukup gado-gado. Sekilas tampak seperti buku kumpulan esai biasa; tapi kalau kita lihat dari kuantitas puisi yang dihadirkan (tak sekadar untuk mendukung argumentasi), kita boleh bilang bahwa buku ini juga ingin menyajikan puisi. Sejumlah ahli menyebut genre buku ini sebagai prosa eksperimental. Cincin adalah satu-satunya karya Ibn Hazm dengan genre seperti ini–buku-buku Ibn Hazm lainnya adalah kumpulan puisi dan buku fiqh–yang hanya kita ketahui dari pengutipan-pengutipan dalam buku-buku lain, karena buku tersebut sudah dibakar, baik pada masa hidup Ibn Hazm maupun pada masa-masa intoleran lain dalam sejarah Andalusia.
Cincin merupakan observasi Ibn Hazm tentang berbagai aspek cinta yang disampaikan secara deskriptif sekaligus preskriptif. Pada sebagian besarnya, pemaparan dalam buku ini bersifat deskriptif, menggambarkan berbagai hal yang jarang, lazim, dan mungkin terjadi dalam hubungan cinta kasih. Lihatlah misalnya bagaimana di awal buku Ibn Hazm membahas tentang tanda-tanda cinta dan dari mana datangnya cinta. Di bagian ini dia bahas bagaimana gerak-gerik khas orang yang jatuh cinta. Setelahnya, dia bahas tentang orang yang jatuh cinta karena mimpi, karena penggambaran orang, dan karena pertemuan langsung. Sekilas tampak sederhana, bukan? Memang. Tapi kalau kita baca lebih dekat, kita akan temukan bahwa contoh-contoh yang diberikan oleh Ibn Hazm jauh dari membosankan: ada jatuh cinta antara seorang lelaki terhormat dengan budak perempuan tetangganya, ada jatuh cinta antara seorang lelaki pemuka masyarakat dengan seorang pemuda laki-laki yang hanya dia temui untuk pertama kalinya, dan sebagainya. Ya, Anda tidak salah dengar: dia juga menggunakan kisah cinta antara sesama laki-laki, pada abad ke-11, di Andalusia, oleh seorang ahli fiqh. Dari sini, kita bisa melihat bahwa dia menyajikan hasil observasi secara deskriptif. Dia tidak menyangkal adanya fakta cinta yang seperti ini. Yang dia bahas bukanlah hubungan sesama jenisnya, melainkan bagaimana cinta di antara kedua lelaki itu terbentuk. Jadi, yang jadi perhatiannya lebih kepada permasalahan cintanya, bukan siapa yang bercinta. Dari sinilah tampak bahwa dia mempertahankan pendekatan deskriptif secara cukup signifikan dalam buku ini. Menurut beberapa sumber, ada indikasi bahwa dia mendapatkan tekanan atau kritik keras karena penyertaan cinta sesama jenis ini dalam risalahnya; ada orang yang menafsirkan sikap Ibn Hazm ini seperti “merestui” hubungan sesama jenis.
Selain itu, ada cukup banyak juga dalam buku ini yang bersifat preskriptif, atau memberi anjuran. Kita bisa melihat sikap-sikap seperti ini di setengah terakhir buku ini (yang terdiri dari 10 dari 30 bab yang ada). Di bab-bab yang lebih panjang ini, dia menyajikan kategorisasi aspek-aspek penting hubungan cinta. Misalnya, ada Kebahagiaan Cinta, Kesetiaan, Perpisahan, Lupa, dan lain-lain. Di situ, tampak dia menyelipkan nasihat-nasihat yang terselubung, meskipun sikapnya masih deskriptif. Di bagian yang bercerita tentang Penghianatan, Ibn Hazm membuat sejumlah kategori penghianatan, dan satu penghianatan yang paling hina adalah penghianatan yang dilakukan oleh seorang utusan yang diutus seorang lelaki untuk menemui kekasihnya yang kemudian dia rebut untuk dirinya sendiri. Tentu di balik kategorisasi ini tersirat pesan, mungkin, agar kita berhati-hati dalam memilih utusan atau kita bersikap bijak saat menjadi utusan atau kita menjaga diri untuk tidak jatuh cinta kepada utusan. Kategorisasi ini hampir selalu disampaikan dari tingkat yang paling penting hingga yang paling hina.
Gambaran Biografis dan Antropologis
Seperti saya sebutkan di awal, meskipun inti perbincangannya adalah cinta, buku ini menjanjikan lebih dari itu: kita bisa mengintip Andalusia sekaligus Ibn Hazm secara pribadi. Menurut saya, dalam hal membantu mengetahui seluk-beluk Andalusia, membaca buku ini lebih mengasyikkan daripada mendengar pembahasan tentang sejarah Islam dan gambaran Islam di Eropa yang banyak terdapat di situs-situs web tertentu yang cenderung memberikan gambaran bling-bling tentang masa-masa kejayaan Islam yang seringkali lebih bersumber pada cerita dari mulut-ke-mulut daripada berdasarkan fakta-fakta sejarah otentik. Dari Cincin, kita bisa melihat cukup maraknya perbudakan di Andalusia, dan gambaran perbudakan yang ada juga jauh dari gambaran mainstream. Pasca perbudakan oleh bangsa-bangsa Eropa, gambaran perbudakan adalah orang-orang berkulit gelap (baik itu dari Afrika, India, maupun Nusantara) yang disuruh bekerja dengan kaki diikat rantai berbandul bola besi. Di Andalusia, seperti terselip dalam risalah Ibn Hazm ini, banyak dari budak-budak itu berkulit terang, berambut pirang dan bermata biru. Di sini kita jadi ingat kembali daripada istilah “slave” (atau budak dalam bahasa Inggris) berasal: asal kata “slave” adalah kata “Slavic” yang artinya “tangkapan,” yang merupakan sebutan untuk orang-orang dari kawasan Eropa Timur (yang kelak disebut bangsa Slavik) yang ditangkap dan dijadikan budak pada abad ke-9. Sepertinya, hingga abad ke-11 pun masih banyak budak dari kawasan Eropa Timur ini. Dan, ini dia, banyak di antara pimpinan Umayyah yang jatuh cinta kepada budak mata birunya dan akhirnya menghadirkan generasi raja-raja Arab berambut pirang bermata biru!
Kita juga tahu, berkat risalah ini, ihwal perpolitikan dan perebutan kekuasaan di akhir masa Umayyah. Kita secara kasar tahu bahwa kekhalifahan Umayyah jatuh ketika para tentara bayaran dari kawasan Maroko (bangsa Berber) menyerang Kordoba dan memporak-porandakan Andalusia. Tapi, berkat Cincin, kita jadi tahu urutan penguasa Umayyah di Andalusia dan penguasa-penguasa di negeri-negeri sebelahnya yang menjadi tempat pelarian Ibn Hazm setelah Kordoba digasak pasukan Berber. Gambaran tentang masuknya para pasukan Berber ke Kordoba ini juga digambarkan cukup jelas hingga bisa kita jadikan bagian-bagian tertentu buku ini sebagai rujukan untuk melihat situasi perpolitikan Andalusia masa itu, meskipun hanya dari sudut pandang seorang ahli hukum agama–bukan ahli politik.
Selain pengetahuan tentang Andalusia ini, buku ini juga mengenalkan kita kepada sosok Ibn Hazm secara otobiografis. Kita tahu sejak di bagian awal bahwa ayah Ibn Hazm pernah menjadi seorang pejabat tinggi di kekhalifahan Umayyah (tentu ini juga membuat kita harus waspada saat membaca penggambaran-penggambaran Ibn Hazm tentang bangsa Berber–bisa jadi ada keberpihakan kepada penguasa Umayyah yang bermain dalam tulisannya). Kita juga mendapatkan gambaran tentang masa kecil hingga awal dewasa Ibn Hazm yang dia habiskan bersama para perempuan, baik itu saudari, bibi maupun budak-budak perempuan yang “dimiliki” keluarganya. Dari pergaulannya dengan para perempuan inilah dia mendapat banyak kisah tentang cinta kasih yang sebagian di antaranya dia sertakan dalam risalah ini. Dan, kita juga tahu menurut penuturan Ibn Hazm sendiri bahwa cinta pertamanya adalah seorang budak berambut pirang dan bermata biru–dan dia mengakui bahwa seleranya seperti itu–yang meninggal saat Ibn Hazm masih berusia 22 tahun–dia tidak pernah lagi mencintai seorang perempuan sekuat cintanya kepada gadis ini.
Cincin Leher Merpati dan Tradisi “Courtly Love” atau “Cinta Adiluhung”
Hal terakhir yang tak boleh dilewatkan dalam membincangkan Cincin Leher Merpati adalah hubungannya yang erat dengan tradisi sastra “courtly love” yang marak di Eropa (terutama di kawasan-kawasan yang kelak bernama Italia, Perancis, dan Jerman) mulai satu abad setelah masa hidup Ibn Hazm. Istilah “courtly love” atau “cinta adiluhung” merujuk pada tradisi dan tata aturan perkasihan yang “berbudaya” di kalangan para petinggi atau orang-orang terhormat di Eropa. Aturan-aturan itu antara lain adalah tidak mengumbar perasaan kepada sembarang orang, menyembunyikan cinta hingga saat yang tepat, tarik-ulur perasaan antara sang pencinta dan sang terkasih, penggunaan utusan dalam berkomunikasi dan sebagainya. Tata percintaan seperti ini belakangan pada akhir abad ke-12 termaktub dalam buku karya Andreas Capellanus berjudul harfiah “Ihwal Cinta Kasih” (yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi “The Art of Courtly Love,” yang aturan ringkasnya bisa dibaca di sini). Aturan-aturan ini bisa kita temukan dalam karya-karya penting Eropa yang hadir belakangan, misalnya dalam Vita Nuova karya Dante Allighieri, atau Troilus and Crisseyde karya Geoffrey Chaucer, atau Il Filostrato karya Giovanni Boccaccio.
Dalam artikel berjudul “A Bird After Love” yang bisa dibaca di sini, Nazan Yildiz dari Hecetteppe University (Turki) menegaskan bahwa sangat mungkin Cincin Leher Merpati merupakan preseden dari tradisi “cinta adiluhung” di Eropa. Namun, menilik dari sejumlah penelitian, Yildiz menyebutkan adanya kesan sulit bagi Eropa (khususnya Spanyol) untuk mengakui pengaruh peradaban Islam Spanyol terhadap hasil sastra dan budaya yang lahir belakanganan. Yildiz menjelaskan bagaimana para ahli Spanyol bisa dengan mudah menyimpulkan adanya pengaruh dari pemikiran Latin dan Eropa Utara sementara pada saat yang sama menerapkan batasan-batasan yang kelewatan ketat saat melihat kemungkinan adanya pengaruh peradaban Islam. Dalam artikel “A Bird After Love” tersebut, Yildiz membeberkan sejumlah kesamaan penting antara pemetaan aspek-aspek cinta dalam risalah Ibn Hazm dengan penerapan aturan-aturan “cinta adiluhung” dalam karya-karya sastra Perancis dan Istana Jerman dari abad ke-13.
***
Maka, setelah berbincang-bincang tentang struktur, signifikansi, dan implikasi dari buku Cincin Leher Merpati karya Ibn Hazm, tibalah saya pada paragraf terakhir. Seperti biasa, saya agak kesulitan mengakhiri postingan resensi ini. Jadi, daripada salah tingkah sendiri, lebih baik saya akhiri saja dengan saran-saran dan kutipan. Kalau Anda tertarik dengan peradaban Islam dan terutama karya sastra dari berbagai peradaban Islam, saya sangat anjurkan kepada Anda untuk membaca buku tersebut (versi Inggrisnya di sini). Dan kalau Anda mahir bahasa Arab dan tertarik menyumbangkan tenaga dan pemikiran Anda untuk menerjemahkan versi aslinya, silakan cari versi aslinya di Belanda dan menerjemahkannya sendiri. Selama ini, ada sejumlah terjemahan dalam berbagai bahasa dari manuskrip yang ada di belanda itu. Tapi, banyak juga keberatan-keberatan yang diajukan para ahli sastra dan bahasa, terutama karena adanya kecenderungan penerjemah untuk “menyetrika” bagian-bagian yang sulit dipahami dan tidak jelas dari buku ini–yang dilakukan demi membuat buku ini bisa diakses khalayak umum. Makanya, kalau Anda ingin mengenalkan Ibn Hazm untuk pembaca bahasa Indonesia, saya anjurkan menerjemahkan dari edisi aslinya dan membandingkannya dengan terjemahan-terjemahan bahasa lain yang Anda pahami. Dan, sebelum saya tekan tombol “Publish to Timbalaning” di bawah ini, saya ingin kutipkan daftar isi The Ring of the Dove dalam bahasa Inggrisnya, agar Anda tahu aspek-aspek hubungan cinta kasih apa saja yang dibahas Ibn Hazm dalam bukunya. Selamat membaca dan bertualang!
- The Signs Of Love
- On Falling In Love While Asleep
- On Falling In Love Through A Description
- On Falling In Love At First Sight
- On Falling In Love After Long Association
- On Falling In Love With A Quality And Thereafter Not Approving Any Other Different
- Of Allusion By Words
- Of Hinting With The Eyes
- Of Correspondence
- Of The Messenger
- Of Concealing The Secret
- Of Divulging The Secret
- Of Compliance
- Of Opposition
- Of The Reproacher
- Of The Helpful Brother
- Of The Spy
- Of The Slanderer
- Of Union
- Of Breaking Off
- Of Fidelity
- Of Betrayal
- Of Separation
- Of Contentment
- Of Wasting Away
- Of Forgetting
- Of Death
- Of The Vileness Of Sinning
- Of The Virtue Of Continence
* Menurut beberapa sumber, “cincin leher” di sini mengacu pada bagian hitam di leher burung dara yang menyerupai cincin. Dalam bahasa Jawa, mungkin yang dimaksud “merpati” di sini adalah “burung puter” seperti pada gambar di bawah ini.