Gerimis Hedonis di Atas Bukit

Mulai deh, batin Misdi saat melihat titik-titik air mulai jatuh di kaca mobil, mengaburkan lampu lalu lintas yang menyala merah sekitar satu blok di depannya. Dia tunggu sebentar, membiarkan titik-titik air merata, sempurna mengaburkan lampu-lampu, sebelum akhirnya memutar kenop wiper. Sebentar pandangan semakin kabur, tapi sekian detik kemudian kaca jernih kembali. Ketika itu lampu-lampu kecil di zebra cross berkedip-kedip, ada yang mau menyeberang, tapi belum tampak.

Tak berapa lama kemudian dia harus membuat keputusan baru. Ketika tiba di pertigaan Garland Avenue dan Mapple Street, dia ambil kanan. Biasanya, dia hanya perlu sedikit saja masuk ke Mapple Street dan kemudian belok kiri tepat di sekitar palang salib besi–kabarnya beberapa tahun lalu seorang gadis menyeberang jalan dan mati tertabrak mobil, dan keluarganya diperbolehkan meletakkan palang salib hingga beberapa tahun sebagai memorial. Biasanya di situlah dia belok kiri dan masuk ke parkiran kecil di belakang gedung administrasi Silas Hunt. Kali ini, karena sudah mulai gerimis dan menurut cuaca akan hujan deras semalaman, dia memutuskan tidak parkir di sana. Dia masih perlu berjalan ke gedung Student Union kalau parkir di situ. Di hari-hari lain, berjalan di kegelapan lebih bisa menyenangkan, tapi tidak di hari hujan.

Misdi memilih ke gedung parkir tepat di sebelah gedung Student Union. Dia meneruskan mengikuti Mapple Street hingga ke perempatan Mapple Street dan Stadium Drive. Di situ, di jalanan yang turun cukup curam itu, dia ambil kiri. Di dasar lembah parkiran raksasa itu terlihat Razorbacks Stadium, sebuah stadium futbol yang berkapasitas 80 ribu pengunjung–padahal penduduk kota ini hanya 72 ribu. Selalu saja ada lampu stadion yang menyala. Terkadang, kalau sedang beruntung, dan dari jalan kita bisa melihat banyak lampu menyala menyinari lapangan super rapi bertuliskan “Razorbacks” dan gambar celeng merah berambut lancip di tengah stadion.

Tepat di sebelah stadion–yang dari sini hanya terlihat dinding luarnya yang menjulang tinggi disertai lampu-lampu yang seperti mengambang di langit–dia ambil kiri dan memaksa mobilnya menanjak bukit cukup terjal menuju tempat gedung parkir. Terlihat mobil-mobil berpapasan dengannya meninggalkan gedung parkir, menuruni bukit curam. Jangan-jangan tidak ada lagi tempat, Misdi mulai kuatir. Di minggu final seperti ini, semua orang ingin belajar ke kampus dan memarkir kendaraan mereka di gedung perkir ini karena dekat dari mana saja. Dan dampaknya adalah gedung parkir selalu penuh.

Dia terus saja memasuki gedung parkir, bersiap memperhatikan kanan kiri, mencari spot yang kosong untuk memarkir mobilnya. Semoga dapat paling atas, batinnya, meskipun sepertinya sulit karena semua orang ingin memarkir paling atas, paling dekat dengan mana-mana. Karena posisi kampus yang berbukit-bukit, bagian paling atas dari gedung parkir ini sejajar dengan pelataran pusat kampus, yang memang berada di sebuah plato di puncak bukit.

Misdi melihat ada mobil yang lampu mundurnya menyala. Pasti dia akan meninggalkan tempatnya, dan aku bisa ambil tempat itu, pikirnya. Ya, bolehlah aku parkir di lantai satu ini, pikirnya, meskipun artinya untuk Student Union dia harus naik ke lantai tiga, meninggalkan gedung parkir, menyeberang di bawah teduhan beton–karena hujan sudah mulai lebat–menuju lantai dua gedung Student Union, tempat di pusat kebugaran, dan kemudian ambil tangga dua lantai lagi untuk menuju tempat yang dia tuju. Atau mungkin, dia akan pinjam laptop dari Student Technology Center–cuma satu lantai di atas pusat kebugaran–dan mencari sudut-sudut yang tersedia di gedung Studion Union ini untuk mulai mengerjakan tugasnya.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *