Pribumi, Ilalang, Bison, dan Sisa-sisa Kolonialisme

Di zaman pra-kolonial atau pra-pendudukan, kawasan yang sekarang menjadi negara bagian Kansas, Nebraska, Wyoming dan Montana adalah kawasan yang dikenal sebagai Dataran Agung atau “Great Plains.” Kawasan ini berbukit-bukit dengan vegetasi utama berupa rerumput ilalang. Dalam bahasa Inggris disebut “prairie.” Di kawasan Dataran Agung ini, terdapat satu bagian khusus yang ditandai dengan satu-satunya vegetasi berupa “rumput tinggi” atau “tallgrass.”

Di kawasan rumput tinggi inilah dulu kita bisa lihat kerbau liar Amerika atau bison (nama resmi spesiesnya “Bison bison”). Binatang besar dengan bulu super kasar dan hangat ini adalah sumber utama makanan para penduduk pribumi di kawasan ini, yg secara kolektif disebut “Plains Indian” atau “Pribumi Dataran Agung.” Di antara suku-suku Indian Dataran Agung ini kita kenal nama Sioux dan Kiowa.

Sejak awal abad ke-19, para pribumi dataran agung ini terdesak oleh pendatang eropa yang oleh pemerintah Amerika dianjurkan untuk menempati kawasan ini dengan imbalan tanah berhektar-hektar. Kawasan padang ilalang yang subur ini pun berangsur-angsur berkurang karena para pendatang menggunakannya untuk menanam bahan pangan seperti gandum, jagung, dan lain-lain. Nasib para bison pun kurang lebih sama. Angkatan Bersenjata Amerika, yang didatangkan untuk menjaga keselamatan para pendatang Eropa, mendesak para pribumi. Sering terjadi pertempuran dan saling bantai. Untuk mendukung proyek pelemahan para pribumi dataran agung ini, Angkatan Bersenjata Amerika dan Pemerintah Amerika menggalakkan perburuan bison, yang kulitnya sangat cocok untuk menahan dingin di musim dingin. Artikel wikipedia tentang perburuan bison ini mungkin bisa jadi gerbang untuk mulai memahami interaksi antara vegetasi, fauna, kolonialisme, dan penyisihan pribumi.

Kini, di kawasan Kansas, hanya tersisa sekitar 4% saja dari ekosistem padang rumput tinggi. Demi melestarikan sisa-sisa ekosistem penting ini, pemerintah Aa’ Syam menjadikan yang 4% ini sebagai “Tallgrass Prairie National Preserve.” Untuk melengkapi ekosistem ini, didatangkanlah bison-bison liar dari kawasan South Dakota. Dan untuk memaksimalkan potensinya sebagai institusi pelestarian, maka dibuatlah jalur-jalur daki di kawasan taman nasional ini. Dengan berjalan sekitar 5 kilometer dari bibir taman nasional, kita bisa melihat bison-bison merumput santai.

Sayangnya, ketika tiba di sana, hari sudah sore dan saya tidak sempat masuk ke dalam taman nasional sendiri. Maka, dengan berat hati saya hanya bisa memposting foto kuda yang kebetulan ada di bibir taman nasional ini. Di latar belakang foto ini Anda bisa lihat padang ilalang yang dalam bahasa kita mungkin dikenal sebagai “bukit teletubbies.”

Seekor kuda di sore yg menua, tepat di belakang bangunan pengelola Padang Lindung Rumput Tinggi.
Seekor kuda di sore yg menua, tepat di belakang bangunan pengelola Padang Lindung Rumput Tinggi.

Untungnya, sebelum ke Tallgrass Prairie National Preserve kami sempat mampir ke Maxwell Wildlife Refuge, yang merupakan sebuah kawasan penyelamatan satwa langka seluas lebih dari 900 hektar yang vegetasinya asli campuran antara padang ilalang dan hutan-hutan semak. Di kawasan ini kita bisa banyak melihat bunga liar dan bison dan elk (binatang dari keluarga kijang tapi setinggi sapi dan memiliki tanduk bercabang-cabang indah. Berkat kebaikan hati Betty Schmidt, relawan pengelola kegiatan pembelajaran di Maxwell Wildlife Refuge, dan fotografer Jeff Heidel dan Jim Griggs (yang karir fotografinya cukup moncer dan banyak fotonya diterbitkan oleh National Geographic), saya berkesempatan mendekati ke tempat nongkrong para bison. Berikut ini salah satu foto yang saya ambil:

Komunitas bison di Maxwell Wildlife Refuge
Komunitas bison di Maxwell Wildlife Refuge

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *