Saudara-saudara penggemar studi banding yang saya kagumi,
Dalam kesempatan kali ini, saya ingin bercerita tentang memancing di negara Aa’ Syam. Seperti Anda tahu, saya saat ini sedang tinggal di negara bagian Arkansas, yang menjuluki dirinya “Negara Bagian Alami.” Tentu Arkansas menyebut diri alami karena masih banyaknya kekayaan alam yang masih alami, tanpa terlalu banyak sentuhan modernisasi. Banyak hutan dan sungai yang alami. Banyak satwa dan ikan yang masih alami. Banyak orang yang berburu dan memancing pada saat-saat tertentu. Tapi, sealami-alaminya Arkansas, tetap saja ada pengaturan yang sangat ketat dalam hal berburu dan memancing.
Urusan memancing terbilang cukup pelik di sini, sangat diatur. Kita tak bisa tinggal jongkok dan melempar kail ke sungai. Kita butuh surat izin, butuh tahu ikan mana yang boleh dipancing dan mana yang tidak, dan butuh tahu waktu–ini yang bikin saya ngakak tak percaya ketika pertama kali mendengarnya. Bayangkan, di tempat-tempat tertentu, ada waktu-waktu tertentu untuk memancing. Biar cerita ini tidak seperti esai persuasi, saya akan ceritakan saja detil kunjungan studi banding saya beberapa waktu yang lalu di Roaring River State Park, salah satu bagian dari Mark Twain National Forest. (Untuk informasi mengenai istilah-istilah teknis ini, silakan merujuk ke kamus istilah yang saya posting sebelumnya di sini.) Sebelum saya ceritakan detil studi banding itu, mari kita lihat dulu lokasinya di peta Amerika:
Minggu tanggal 6 September merupakan bagian dari libur panjang Hari Buruh di Amerika, yang biasanya diperingati pada hari Senin pertama bulan September. Sejak dua minggu sebelumnya, saya dan istri memutuskan untuk pergi kemping semalam saja. Kami tidak pernah kemping sekeluarga sebelumnya. Saya sejak awal masuk kuliah sudah suka kemping dan naik gunung, tapi istri saya sangat alergi kemping. Bahkan hiking pun dulunya dia ogah-ogahan. Akhir-akhir ini dia jadi sering hiking karena saya paksa (alasannya, biar anak kita kenal alam :D).
Sejak dua minggu sebelum libur panjang hari buru, saya cari informasi online tentang tempat kemping yang asyik, murah, dan tak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Akhirnya, kami memutuskan untuk mencoba Roaring River State Park. Kami sudah pernah ke sana sebelumnya untuk hiking dan melihat pembibitan ikan trout. Ya, satu dari dua hal yang paling menarik dari Roaring River State Park ini adalah adanya pembibitan ikan trout.
Jadi, ikan trout ini dibibitkan di sebuah telaga buatan yang disertai tentang petak-petak pembibitan di kawasan Roaring River. Selanjutnya, ikan-ikan trout yang cukup besar kemudian meninggalkan telaga itu dan masuk ke aliran sungai kecil bernama “Roaring River” (terjemahkan saja menjadi “Kali Raung”). Begitu ikan-ikan itu meninggalkan telaga pembibitan, dia sudah boleh dipancing. Jadi, jangan heran kalau ada orang-orang yang memancing kira-kira dua meter dari pintu keluar telaga.
Tapi, memancing ikan trout ini tidak bisa dilakukan sembarang. Ada banyak aturan yang harus dipatuhi. Mungkin alasannya agar tidak sampai terjadi pemancingan berlebihan yang akhirnya mengancam kelestarian sumber daya hayati, dan juga mungkin semata-mata karena ikan trout ini pembibitannya juga bisa dibilang tidak alami, butuh dana APBD negara bagian Missouri. Jadi, untuk bisa memancing trout yang ukurannya bisa sebesar betis orang Missouri ini, Anda butuh dua jenis surat izin (kalau bahasa orang Malaysia, butuh dua surat “maklumat” :D). Pertama, Anda butuh surat izin memancing yang harganya 7 dolar sehari. Dan selain itu Anda juga butuh surat izin khusus mancing trout yang harganya 3 dolar.
Ya, Anda tidak salah baca, untuk mancing trout selama sehari, Anda butuh 10 dolar. Dan jangan buru-buru senang dulu, karena aturannya bukan itu saja: Anda hanya boleh memancing maksimal 8 ekor ikan (kalau Anda beruntung) dan ada waktu-waktu khususnya. Dan Anda hanya boleh mancing dengan pancingan. Jaring dan pecak pasti dilarang. Apalagi sangkali, lanet dan potas.
Pada hari Minggu itu, saya tiba di Roaring River State Park sekitar pukul setengah lima sore. Saya langsung pergi ke Kantor Taman Negara Bagian untuk “check ini.” Seperti saya bilang tadi, memesan tempat kemping di kebanyakan Taman Negara Bagian atau Taman Nasional di Aa’ Syam ini tak ubahnya memesan kamar hotel. Kita bisa melakukannya online dan tetap harus “check in.” Saya langsung lapor diri dan mendapat secarik kertas berisi tulisan nomor lokasi saya disertai sejumlah peta dan booklet. Setelah basa-basi tentang lokasi kemping, saya menanyakan ke pokok persoalannya:
“Bu, kalau mau mancing beli surat izinnya di mana?”
“Di Toko Taman situ, Dik,” sambil menunjuk ke arah kanan, arah kedatangan saya tadi. “Dari arah sampean datang tadi di sebelah kiri ada bangunan kayu, kan? Ya di situ tokonya.”
“Sekarang masih buka, kan, Bu?”
“Iya, Dik. Pokoknya Toko Taman itu bukanya mulai satu jam sebelum masa pancing dan tutupnya satu jam setelah masa pancing.”
“Lho? Masa pancing? Apa itu maksudnya, Bu?”
“Jadi sampean belum tahu ya? Jadi begini: di sini mancing baru boleh dilakukan setelah suara sirene pagi jam 7.30 dan semua orang harus mentas dari Kali Raung saat terdengar lagi suara sirene malam jam 7.30.”
“Lho-lho-lho?” saya bingun. “Jadi mancingnya ada aturan begitu tho, bu? Kayak orang ngantor saja, ya?”
“Ya mesti lah, Dik.”
Saya membatin, “Wah, padahal tadi ada rencana kalau putus asa nggak dapat ikan mending pakai jaring saja malam-malam.” Tentu ini hanya saya batin, dan setiap orang batinnya pasti dipenuhi ide-ide yang melanggar hukum begini, meskipun pada kenyataannya tidak mungkin ide-ide ini dijalankan oleh orang-orang sadar hukum seperti saya ini.
Saya pamit meninggalkan Kantor Taman untuk ke Toko Taman. Di toko taman itulah saya lihat betapa sarana dan prasarana pemancingan itu tersedia dengan lengkap mendukung kegiatan memancing. Toko yang tidak terlalu besar itu menjual berbagai kebutuhan mulai surat izin memancing sampai kayu bakar untuk memanggang ikan di lokasi kemping. ada juga di situ suvenir-suvenir kecil hingga penghangat tangan sachetan yang sangat dibutuhkan untuk saat-saat darurat di musim dingin saat tangan Anda kedinginan. Setelah membeli surat izin memancing untuk hari itu sekaligus kartu izin “Trout,” saya segera ambil satu galon air minum untuk kebutuhan nanti malam. Sebelum keluar, saya menyempatkan ke sebuah mesin terbungkus kaca di dekat pintu, mesin oleh-oleh. Mesin ini adalah mesin pembuat “koin suvenir.” Koin suvenir adalah koin warna tembaga berbentuk lonjong yang dibuat dari menekan ulang koin 1 sen. Sekadar informasi, uang logam 1 sen Amerika itu terbuat dari seng yang disepuh tembaga. Intinya, untuk mendapatkan koin suvenir ini, kita tinggal memasukkan satu keping uang 1 sen dan 2 keping uang 25 sen. Jadi, biaya pembuatannya adalah 50 sen atau setengah dolar. Kadang-kadang alatnya bergerak sendiri, dan kadang-kadang kita sendiri yang harus memutar tuas untuk mencetak ulang koin 1 sen kita. Biasanya, masing-masing tempat wisata punya mesin koin semacam ini. Ini contohnya:
Setelah beres urusan mendapatkan izin dan check-in ke Kantor Taman, saya segera menuju lokasi kemping yang sebelumnya sudah saya cari lewat google map and peta Roaring River State Park. Ternyat lokasinya menarik, sebuah kawasan lembah dengan rumput alang-alang yang dibelah jalan aspal dan di bagian tepinya dibatasi Kali Aum (Roaring River). Di seberang sungai itu sudah hutan lindung lagi, bagian dari Mark Twain National Forest.
Begitu menemukan lokasi, saya langsung mengeluarkan tenda dan memasangnya dibantu anak dan istri. Di kanan-kiri dan depan kami sudah ditempati orang. Memang, ketika melakukan pemesanan lokasi kemping secara online, satu-satunya spot yang masih tersedia adalah yang akan saya tempati ini. Di sebelah saya adalah sepasang suami istri berusia sekitar 50-an tahun. Mereka duduk-duduk di kursi lipat sambil menikmati minuman. Di sebelah kiri saya ada sebuah tenda dan mobil SUV kecil. Tendanya terlihat sangat kecil, mungkin cuma untuk satu orang. Segera saya pasang sesobek kertas registrasi di papan depan tenda. Sayang sekali, selama di kawasan kemping ini, saya tidak sempat banyak memotret. Mungkin saya terlalu sibuk duduk-duduk menikmati alam, kebersamaan, mencium aroma ikan bakar, dan menepuki serangga. 🙂
Begitu tenda terpasang, kami langsung menyeberang alang-alang sedikit itu untuk menuju kali. Banyak sekali serangga di rerumputan yang sepertinya baru dipangkas itu. Begitu sampai di kali, kami langsung memilih lokasi yang agak teduh untuk mulai membuka tongkat pancing. Tongkat pancing ini masih baru, milik seorang teman yang mendapatkannya secara gratis dari tempat kerjanya. Setelah menghabiskan waktu cukup lama mencoba memahami cara kerja pancing itu, akhirnya kami pun melempar kail ke sungai dengan harapan ikan-ikan yang bisa kami lihat itu tertarik untuk mencicipinya.
Sayangnya, dikarenakan gabungan antara kesetengahhatian dalam memancing, kurangnya ketrampilan, udara yang gerah dan sedikitnya teduhan, banyaknya serangga, dan tidak sudinya ikan-ikan trout mencicipi umpan cacing buatan yang saya lempar, saya pun memilih untuk undur diri dan mencari tempat memancing yang lebih baik. Saya tahu tempat yang lebih baik: Zona 1, kawasan yang paling dekat dengan pembibitan trout. Maka dari lokasi pertama saya menyeberang ilalang untuk menuju tenda dan mobil, dan selanjutnya kami tancap gas ke Zona 1, dengan menyimpan harapan paling tidak bisa menangkap seekor ikan yang bisa kami masak nanti malam.
Lokasi Zona 1 ini berjarak kira-kira 5-7 menit bermobil dari dari tempat kemping saya (Kawasan 3). Saya pernah beberapa kali mengunjungi tempat ini, baik itu untuk tujuan kerja (ingat kerja saya sebagai sopir dan pemandu hiking saat musim panas, kan?) maupun hiking bersama keluarga dan teman. Tapi baru kali ini saya datang ke lokasi ini untuk memancing. Saya tahu betul dari pertama datang bahwa ikan di kawasan ini luar biasa besar dan terlihat jelas karena dangkalnya sungai dan jernihnya air. Jumlah orang yang memancing juga sangat banyak, biasanya mereka datang rombongan sekeluarga. Mereka parkir truk, van, atau sedan mereka di dekat spot mancing mereka dan memasang kursi-kursi lipat dan membawa makanan dan minuman. Pernah suatu kali saya lihat seorang ibu berkursi roda yang memancing di bagian yang memang dibuat nyaman (dengan ubin dan jembatan) yang memungkinkan akses bagi orang-orang berkebutuhan khusus.
Kali ini, di akhir pekan panjang Hari Buruh, jumlah orang yang memancing juga sangat banyak. Nyaris setiap sepuluh meter ada orang yang memancing, dan gaya memancing orang-orang ini pun bisa dibilang tidak seperti gaya memancing tradisional Indonesia yang biasanya terdiri dari melempar kail dan menunggu sampai ada ikan yang tertipu. Orang-orang ini sebentar-sebentar menari kail dan melemparkannya jauh-jauh ke tengah dengan harapan ada ikan yang melihat umpan mereka. Kebanyakan dari mereka menggunakan umpan buatan dari karet berlendir yang bentuknya kadang seperti cacing dan kadang seperti ikan-ikan kecil warna-warni. Di sinilah saya mengadu nasib ditemani anak dan istri. Tiga orang yang sama sekali tidak ahli memancing tapi sekadar ikut-ikutan, sekadar merasakan seperti apa enaknya memancing.
Saya mencoba berbagai gaya dan strategi selama sekitar satu jam setengah. Hasilnya nihil. Istri saya jengah melihat saya tidak bisa tenang dan terus-terusan mencoba meniru gaya memancing “fly fishing” seperti orang-orang di sebelah saya. Orang-orang di sebelah saya separuh mencibir dan separuh menertawakan di belakang saya. Anak saya bahagia melompat-lompat dari satu batu ke batu lainnya menakut-nakuti ikan-ikan Trout Pelangi yang seukuran lengannya itu. Hasilnya nihil. Akhirnya, dengan besar hati, dan karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh sementara kami belum sholat Ashar (maghribnya jam setengah delapan lebih sedikit), akhirnya kami memilih balik ke kawasan kemping dan membiarkan ikan-ikan ini hidup seribu tahun lagi. Selama dua jam saya memancing, hanya satu orang yang saya lihat berhasil menangkap (mengelabuhi?) ikan-ikan yang bisa dilihat dengan mata telanjang itu. Dia remaja sekitar 13-an tahun, yang menemani kakak-kakaknya (atau kakak dan pacar kakaknya?). Bahkan orang-orang yang menertawakan saya (yang berlagak ahli mancing mania itu pun hasilnya nihil).
Kembali ke kawasan kemping, aroma ikan panggang sudah semakin pekat. Kawasan kemping yang penuh dengan mobil-mobil dan tenda dan RV (Recreational Vehicle) di lokasinya masing-masing.Menjelang maghrib, pukul 7.30, saya mendengar suara sirene meraung-raung dari pusat Taman Negara Bagian, menandakan waktu memancing sudah habis. Ikan-ikan sudah waktunya pulang dari kerja mereka dan bisa tenang menikmati alam tanpa takut salah makan.
Saya pun bersiap menikmati malam kemping pertama bersama keluarga saya. Dan saya berharap ini bukan kemping yang terakhir kalinya. Malam harinya kebetulan bulan tak tampak dan langit sangat cerah. Saya buka tudung luar tenda sehingga kami bisa melihat langit dari atap tenda kasa (memang, tenda yang saya beli bekas dengan harga super murah ini menurut labelnya adalah tenda musim panas). Kami lihat bima sakti yang indah. Tak ada jaringan telpon, apalagi internet. Hanya ada aroma ikan dari tenda-tenda sebelah. Suara tetangga yang ngobrol tak henti-henti. Ada juga suara dengkuran dari tenda sebelah yang kecil dan cuma berisi satu orang. Memang jarak antara satu tenda dan tenda lainnya cukup jauh, tapi di tengah alam yang sunyi tanpa deru mobil dan klakson, dengkuran tetangga pun terdengar nyaring (meskipun fals). Sepertinya si bapak yang mendengkur itu datang cuma untuk memancing dan menggunakan tendanya cuma untuk tidur (dia bahkan tidak terlihat memanggang apa-apa). Untuk foto bima sakti yang terlihat cantik malam itu, saya persilakan Anda melihat foto teman saya seorang pustakawan yang juga tukang foto angkasa yang cukup terhormat di postingan ini.
Sepertinya begitu dulu Laporan Studi Banding dari Amerika sebelah sini. Semoga upaya ala kadarnya ini bisa dijadikan sekadar pandangan bagi Bapak Ibu Anggota DPR penggemar studi banding yang kurang saya hormati yang belum pernah saya lihat hasil laporannya. Saran dan kritik (dan bantuan dana) kami tunggu… 😀