Postingan ini akan melatari postingan saya tentang Ahok, Kalijodo, dan The Raid yang akan saya siarkan dalam waktu dekat. Inti dari postingan ini adalah saya pikir Jakarta itu mengerikan, tapi tidak semengerikan yang di berita, sebelum akhirnya saya sadar bahwa saya mencari Jakarta dengan citra horornya itu di tempat yang salah. Semoga postingan ini tidak disalahartikan.
Saya termasuk orang yang kuper soal Jakarta. Saya pertama kali melihat sendiri Jakarta pada tahun 2007, ketika umur saya 27 tahun. Ketika itu, Jakarta terkesan mengerikan, penuh copet dan preman, penuh dengan orang yang suka mengakali orang lain demi duit, dan sejenisnya. Semua itu berkat film-film yang saya lihat dan berita-berita kriminal di tivi, termasuk berita yang disajikan Bang Napi. Ditambah lagi, saya dibesarkan di sebuah desa di Sidoarjo yang asri, dan kuliah di Malang yang lumayan adem ayem, dan bahkan pernah kerja di Kediri yang orangnya seperti tak habis-habisnya saling membantu. Pendeknya, Jakarta terkesan penuh kejahatan dan saya harus selalu berjaga-jaga jangan sampai dijahati orang.
Tapi semua kengerian itu langsung terkikis secara signifikan begitu saya dijemput kawan baik di stasiun (saya lupa stasiun mana). Pertama-tama, karena teman yang menjemput saya itu teman perempuan anak baik-baik, dari keluarga baik-baik. Pendeknya bukan semacam perempuan yang bisa bertahan di buasnya belantara (sumpah tidak ada maksud negatif dengan deskripsi ini, Ris). Pendeknya lagi, saya tiba pada kesimpulan, kalau teman perempuan saya ini bisa berjuang dan berhasil di Jakarta, berarti Jakarta tidak sebegitu buasnya seperti yang ada di kepala saya. Maka, setelah tiba di Jakarta, setelah sholat Jumat, saya pun berani berangkat sendiri, naik taksi, ke Goethe Institut, menghadiri diskusi tentang penerjemahan karya sastra. Dalam diskusi itu, segera saja saya tahu bahwa yang lebih “mengerikan” bagi saya adalah bahwasanya anak-anak Jakarta itu bacaannya ganas, buku-buku sastra kontemporer berbahasa Inggris sepertinya bukan barang aneh buat mereka, dan seterusnya. Jakarta tidak lagi segarang Jakarta di berita.
Jadi, ketika terbit film The Raid pertama, di mana digambarkan ada sebuah rumah susun yang dikuasai mafia, saya pikir si penulis dan sutradara membuat film dengan estetika film laga Hollywood kelas dua seperti yang biasanya dibintangi Cindy Rothrock tapi bersetting Jakarta. Pikir saya, apa sebegitunya Jakarta? Masak tempat yang saya lihat tak jauh berbeda dengan Sidoarjo kota, Surabaya, dan Malang itu sampai sebegitunya? Dan ketika The Raid yang kedua muncul, di mana digambarkan ada lebih dari satu kelompok mafia yang mengkapling-kapling wilayah Jakarta, saya jadi lebih menikmati film itu sebagai fiksi murni dan menganggap hubungannya dengan realitas lebih berada di tingkat bawah sadar. Padanannya mungkin seperti New Zaeland dan Middle Earth begitulah. Dunia The Raid itu seperti Middle Earth di The Lords of The Ring, dan Jakarta itu seperti New Zaeland, yang kebetulan saja punya alam yang bagus buat syuting film LOTR.
Tapi di atas tapi, ketika rentetan berita tentang Kalijodo muncul di Kompas, ketika saya lihat bahwa di Kalijodo bercokol mafia-mafia yang mengkapling-kapling wilayah mereka, ketika saya tahu bahwa ada warga Kalijodo yang berani bilang bahwa Ahok tidak akan bisa mensterilkan Kalijodo, saya jadi terkaget-kaget.
Sepertinya saya ke Jakarta ke tempat yang salah. Bukan, bukan begitu maksud saya. Maksud saya, tempat-tempat yang saya kunjungi di Jakarta itu bukan tempat yang mewakili Jakarta yang memiliki citra horor di pikiran saya waktu itu. Padanan begini, saya diberitahu bahwa ada sebuah apel di sebuah gua, dan saya berangkat ke gua itu. Tapi, karena gua itu dalam dan gelap, saya pun hanya bisa dan hanya mau mencari di bagian gua yang dekat dengan mulut gua, yang masih memungkinkan saya melihat sekeliling. Tapi, karena apel itu berada di tempat yang gelap, saya akhirnya tidak bisa menemukan apel tersebut. Begitulah kira-kira.