Sebelum Petualangan ke Barat (2)

Bocah dan gadis balita itu tetap saja ramai. Bukan pertama kalinya. Si adik naik kereta dorong buat cucian, dan si abang mendorongnya. Si gadis berteriak girang. Si abang senang membahagiakan adiknya. Bapaknya sibuk mengurusi cucian dan sesekali menerima telpon. Ibunya berbincang dengan seorang pelanggan yang lain. Drake sebal juga akhirnya dengan tingkah anak-anak kecil itu dan segera menghampiri bapaknya.

“Bung, ini peringatan terakhir ya?” kata Drake. “Sekali lagi saya lihat anak-anak Anda melakukan apa-apa yang tidak boleh dilakukan di tempat ini, sampean terpaksa harus pindah cari tempat cuci yang lain.”

Tidak setiap saat dia merasa capek dan tua, tapi ada saat-saat tertentu ketika dia merasa benar-benar seperti seorang veteran. Punggungnya tiba-tiba agak sakit. Sudah bertahun-tahun dia mengingkari cidera punggungnya. Dia tidak suka marah, apalagi kalau kemarahannya itu dia tujukan ke selain orang kulit putih. Tentu dia tidak mau dianggap rasis. Untungnya kejadian seperti ini tidak sering.

Drake masuk lagi ke bilik kecil di ujung ruangan, dia menghitung keping-keping uanglogam 25 sen, dan ketika sudah mendapat genap 10 dolar, dia tumpuk uang tersebut di satu sudut meja. Di depannya ada jendela kaca dengan pintu geser. Dari situ dia bisa melihat ke dalam ruangan londri, dan kalau perlu bisa berbicara dengan pelanggannya.

Terlihat keluarga yang tadi dimarahinya mulai mengemasi cuciannya. Dari mesin pencuci mereka keluarkan baju-baju yang masih lembab itu tetapi tidak memasukkannya ke mesin pengering. Baju-baju basah itu langsung masuk ke keranjang cucian. Si suami terlihat sengit dan istrinya mengatakan sesuatu, seperti beradu mulut dengan suami tanpa mendapat pembalasan secukupnya. Si istri menyeret anaknya, seperti mengikuti suaminya dengan ogah-ogahan. Bocah dan gadis kecil, anak mereka, diam saja dan mengikuti seretan ibu mereka. Drake menyadari bahwa dia baru saja menghela nafas panjang tanpa sadar.

“Kalau ada yang komplain karena mesin tidak jalan setelah memasukkan koin, ganti saja jumlah koin yang mereka masukkan,” kata Bossnya mewanti-wanti suatu kali. “Pokoknya, tidak perlu berdebat dengan pelanggan. Mesin-mesin ini sudah tua. Yang penting kita tidak tambah bikin sakit hati pelanggan kita.”

Tapi untuk urusan anak-anak kecil yang bermain dengan kereta cucian, membahayakan diri sendiri, Drake yakin bossnya akan sepenuh hati mendukungnya. Drake sendiri tidak mau sedikit pun terlihat kecelakaan–apalagi dituntut untuk itu. Memang ada tulisan semua kecelakaan di luar urusan mencuci adalah tanggung jawab korban sendiri. Tapi dia tidak mau melihat itu terjadi di depan matanya.

Satu pelanggan sebal, mungkin tak pernah kembali.

Dia perhatikan pelanggan-pelanggannya yang lain. Ada seorang perempuan Afrika berjilbab yang dia selalu lupa dari mana pastinya, mungkin Somalia mungkin Ethiopia. Ada sepasang ibu dan anak yang sudah bertahun-tahun menjadi pelanggannya. Ada wajah baru, sepertinya mahasiswa dari kampus.

Drake bertanya-tanya, bagaimana dia bisa hidup tanpa melihat wajah-wajah baru, mengingat-ingat wajah lama, berbincang-bincang. Tapi kehidupan itu sudah di ambang mata. Mungkin di situlah nanti dia benar-benar bisa beristirahat, mulai menerima kursi roda.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *