Sebelum Petualangan ke Barat (3)

“Kamu tidak becanda, kan?” kata mahasiswa itu.

“Tentu tidak,” kata Drake. “Aku ini sudah tua dan mestinya sudah sejak dulu-dulu pensiun. Kamu pernah dengar ceritaku, kan?”

“Ya,” kata mahasiswa itu. “Nonton konser Bob Marley di Frankfurt. Naik pesawat ke Lebanon sebelum perang sipil–”

“Dan ke semua negara Eropa yang bukan komunis pada masa itu.”

“Ya,” kata Misdi. “Tapi timing-nya itu yang membuatku kaget.”

“Maksudmu?” tanya Drake.

“Awal bulan depan aku juga akan pulang.”

“Ke mana itu? Maaf.”

“Ke Indonesia,” kata mahasiswa itu. “Pasti bisa kau perkirakan dari wajahku.”

“Aku tidak suka menebak-nebak,” kata Drake.

“Sebentar…” kata Misdi. “Habis itu apa? Maksudku, kamu mau menikmati pensiunan saja?”

“Aku sudah pensiun sejak lama,” kata Drake. “Aku dapat santunan disabilitas.”

“Iya, maksudku,” kata Misdi. “Maksudku… kamu hanya akan bersantai saja bersama anak-anakmu?”

“Aku tidak bisa bersantai saja dengan anakku,” kata Drake. “Mereka terlalu mengganggu. Sudah waktunya aku hidup santai. Sendiri.”

“Sendiri?” tanya mahasiswa Indonesia.

“Iya,” kata Drake. “Aku punya tabungan dan santunan yang mencukupi buatku menyewa rumah di tepi gurun New Mexico sana.”

“Tepi gurun ya?”

“Aku dapat apartemen yang ramah buat penyandang cacat.”

“Begitu ya?”

“Sebentar lagi aku harus memakai kursi roda.”

“Tapi kamu kelihatan sehat sekali, Bung,” kata si Indonesia.

“Sejak lima tahun lalu dokterku menyarankan aku banyak istirahat,” kata Drake. “Aku terus menundanya. Dua putriku masih sering butuh bantuan. Mereka sudah menikah, tapi aku tidak bisa bilang mereka benar-benar siap. Aku harus bekerja, Bung. Lagipula, aku kuatir aku akan tambah tua kalau menyerah.”

Perhatian Drake teralih ketika melihat seorang perempuan muda mendekati salah satu mesin pengering yang sedang tidak bekerja dengan wajar. Perempuan muda pelanggan setianya itu selalu datang bersama ibunya atau kadang adik perempuannya.

“Hey,” seru Drake.

“Apa kabar, Pak?” kata perempuan muda itu.

“Jangan pakai yang itu. Tadi beberapa kali tutupnya membuka sendiri waktu di tengah-tengah muter. Sayang bajumu nanti jadi kotor kalau jatuh.”

“Kenapa gak pakai lakban saja? Mungkin ini saatnya menggunakan kecerdikan redneck kita.”

“Hahaha. Itulah kadang-kadang yang membuatku bangga jadi redneck,” kata Drake dan kemudian menoleh ke mahasiswa Indonesia. “Kamu percaya itu, Bung?”

“Hmm, gimana ya?” kata si mahasiswa agak kikuk sambil menoleh ke perempuan muda itu.

“Memangnya ada apa dengan lakban?”

“Buat redneck yang pandai menyiasati keterbatasan, lakban adalah obat untuk segala masalah,” si perempuan mulai menjelaskan. “Berapa lama kamu tinggal di sini?”

“Mmm,” mahasiswa Asia itu tergelagap. “Lima tahun, kenapa memangnya?”

“Mestinya kamu tahu,” kata gadis itu.

“Kami redneck ini adalah orang-orang yang tangguh,” kata Drake. “Aku memang redneck dan aku bangga. Tapi bukan berarti orang selain redneck tidak baik atau redneck yang paling unggul.”

“Menarik juga,” kata mahasiswa. “Kami orang-orang Indonesia di sini, atau bahkan mungkin orang-orang Asia secara umum, merasa bahwa kami lah yang bisa menyiasati keadaan. Sementara orang-orang di sini selalu beli baru kalau ada bagian alat atau mesin yang rusak.”

“Ya, itu orang yang duitnya cukup,” kata Drake. “Buat orang-orang desa yang tidak selalu banyak uang, tentu lebih baik menyiasati sendiri kalau ada bagian-bagian mesin yang rusak.”

“Makanya,” kata pemuda itu. “Beberapa waktu yang lalu mobilku penyok dan catnya mengelupas. Aku malas sekali bawa ke bengkel, akhirnya aku betulkan sendiri penyoknya dan aku cat sendiri bagian yang mengelupas.”

“Lima tahun sudah cukup membuatmu tertular tanpa sadar, Bung,” kata Drake.

“Haha,” kata mahasiswa Indonesia. “Dan kata temanku orang Huntsville sini aku sudah menjadi redneck— Maaf.”

“Maaf kenapa?” kata si gadis yang sedari tadi ingin bercerita.

“Aku tidak bermaksud politically incorrect dengan mengatakan itu,” kata mahasiswa Indonesia.

“Santai, Bung,” kata perempuan muda itu menenangkan mahasiswa Indonesia yang terlihat salah tingkah itu. “Omong-omong, namaku Lindsey. Kamu?”

“Aku Misdi,” jawab Misdi.

“Unik sekali, Bung,” kata Drake. “Sudah lama kamu jadi pelangganku yang baik, tapi baru kali ini aku tahu namamu dan asalmu. Pastinya kamu sudah pernah memberitahu aku namamu. Maaf, aku ketemu banyak pelanggan tiap hari. Oh ya, namau Drake.”

“Aku masih ingat, Drake,” kata Misdi.

“Nah, kan?” kata Drake. “Hari-hari indah di tempat londri seperti ini yang akan aku rindukan nanti kalau sudah pensiun dari sini… Sebentar, Bung, aku akan membuat peringatan dulu biar tidak ada lagi yang pakai pengering ini.”

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *