Menerima Surat dari Praha karya Yusri Fajar

(Disinyalir, Saudara-saudara, saya akan bisa blogging lagi dengan lebih rutin untuk mencatat hal-hal menarik dalam hidup, yang biasanya tak jauh-jauh dari buku, bacaan elektronik. Tapi tidak tertutup kemungkinan saya akan blogging lagi tentang remeh-temeh dalam hidup. Untuk mengawali perjumpaan kita kembali setelah vakum sekian waktu, saya akan bercerita tentang tentang satu buku kumpulan cerpen, yang judulnya Surat dari Praha. Buku ini ditulis oleh Yusri Fajar, cerpenis, penyair, esais, dan pendidik sastra Inggris dan kepenulisan kreatif yang berkarir di Universitas Brawijaya, Malang. Sebelum terlalu jauh berbicara, saya perlu menyampaikan bahwa saya kenal penulis ini secara pribadi, dan bahkan buku yang saya baca ini juga hadiah dari ybs.)

Surat dari Praha adalah kumpulan cerpen karya Yusri Fajar yang terinspirasi pengalamannya tinggal di Jerman dan berkunjung ke beberapa kota di negara-negara Eropa lainnya. Nyaris semua cerpen dibuat berdasarkan pengalamannya selama menempuh kuliah S2 di Universitas Bayern-Bayreuth di Jerman–dan hanya satu cerpen yang dibuat berdasarkan pengalamannya tinggal di kota Leeds selama beberapa saat untuk sebuah kursus pendek. Kumpulan cerpen dengan benang merah ini menunjukkan adanya konsistensi dalam kecenderungan menggarap kehidupan di negeri asing, menghadirkannya ke hadapan pembaca, dan menghubungkan kisahnya dengan kejadian-kejadian besar sejarah.

Cerpen-cerpen dalam buku ini memiliki kecenderungan “deskriptip.” Narator sangat dermawan memberikan deskripsi ruang, sejarah, dan budaya. Pada cerpen yang berbicara tentang kota Frankfurt, misalnya, Yusri menceritakan secara detil rute bus yang harus ditempuh tokoh utama saat dia berangkat ke kampus. Pada cerpen yang berlatar di Belanda, tentang hubungan romantik antara tokoh asal Jawa Barat dan Belanda, kita mendapat informasi tentang sebuah insiden Rawagede yang menjadi bagian dari Agresi Militer II Belanda. Dan pada cerpen yang mengisahkan keluarga Turki-Jerman, kita mendapatkan gambaran latar belakang sejarah tokoh eksil asal Turki ini. Selain itu, dalam cerpen-cerpen lain, misalnya yang berkisah tentang Praha, kita akan mendapat sisipan informasi bahwa sebuah rumah yang dilewati tokoh utama dulunya adalah rumah sastrawan Franz Kafka.

Satu lagi kecenderungan yang sangat menonjol dari kumpulan cerpen ini adalah plot dan konflik yang “kalem”–sementara pakai ini dulu sebelum saya menemukan istilah yang lebih akurat. Konon, cerpen yang baik adalah seperti pertandingan tinju yang berakhir dengan KO. Tentu banyak yang akan melayangkan keberatan dengan istilah ini, karena memang banyak juga cerpen yang berakhir dengan TKO, tapi tidak pernah terlupakan, cerpen-cerpen Ernest Hemingway dan Jhumpa Lahiri (dalam buku The Interpreter of Maladies) adalah jenis-jenis yang berakhir dengan TKO. Di dalam spektrum antara KO dan TKO ini, cerpen-cerpen dalam Surat dari Praha lebih condong ke arah TKO. Konflik-konflik yang ditawarkan bukan jenis konflik yang bisa berakhir dengan satu jawaban. Konflik-konflik tersebut lebih “kalem” dan tidak menuntut terselesaikan pada akhir cerpen–dan memang banyak di antara cerpen-cerpen ini yang berakhir dengan menggantung. Secara bombastis, saya bisa bilang bahwa cerpen-cerpen ini memperkenalkan tokoh-tokoh lengkap dengan ruang dan rentang hidupnya dan masalahnya, tapi cerpen-cerpen ini sendiri tidak berakhir dengan terselesaikannya masalah tersebut. Pembaca cerpen mutakhir yang baru saja selesai membaca sebagian besar cerpen Yusi Avianto Pareanom dalam Rumah Kopi Singa Tertawa, misalnya, harus berjuang menyesuaikan persnelingnya dulu saat membaca cerpen-cerpen dalam buku kumpulan cerpen ini.

Cerpen-cerpen ini mengesankan adanya keinginan untuk mengaitkan orang-orang kecil dengan geografi dan sejarah makro. Kehidupan tokoh-tokoh yang dihadirkan Yusri ini bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa besar yang banyak diberitakan dan memiliki tempat dalam sejarah. Cerpen “Bunga Tulip,” misalnya, mengisahkan seorang pemuda Indonesia (yang pamannya menjadi korban Pembantaian Rawagede) yang terlibat romansa dengan seorang gadis Belanda (yang kakeknya adalah salah satu serdadu Agresi Militer I Belanda yang ikut membantai warga Rawagede). Contoh lainnya adalah cerpen “Dua Lelaki yang Meninggalkan Memori Nyeri,” yang mengisahkan tentang perkenalan tokoh kita dengan seorang gadis yang mantan kekasihnya menjadi korban Bom Bali. Di satu sisi, kecenderungan ini memberikan kesan Yusri ingin memberikan sisi manusiawi dari hal-hal yang oleh kebanyakan orang hanya diketahui melalui media massa, hanya sebagai fakta-fakta yang kurang menyoroti sisi manusianya. Di sisi lain, kecenderungan ini menghasilkan cerpen yang hidup dalam ruang gerak yang teratur.

Di sinilah menurut saya letak perbedaan antara beberapa cerpen Yusri Fajar dengan cerpen-cerpen Jhumpa Lahiri, meskipun memiliki sejumlah kesamaan gaya. Meski sama-sama memiliki kecenderungan membuat cerpen dengan tempo lambat dan deskriptif, Yusri Fajar dan Jhumpa Lahiri berbeda dalam hal konflik. Konflik yang menghubungkan antara para tokoh dalam beberapa cerpen Yusri Fajar ini bisa dibilang lazim ditemukan, misalnya hubungan cinta antara keturunan korban dan keturunan pelaku (“Bunga Tulip”) atau konflik antara anak yang kritis terhadap keterlibatan orang tuanya dalam rezim yang korup (“Alpen”). Sementara itu, dalam cerpen-cerpen Jhumpa Lahiri di buku Interpreter of Maladies, misalnya, kita menemukan konflik-konflik yang tidak biasa, misalnya bagaimana sebuah keluarga melewatkan waktu ketika lampu mati dengan menghidupkan kembali kebiasaan lama di kampung halaman, atau bagaimana seorang supir taksi pernah bekerja sebagai juru bahasa yang menjembatani antara seorang dokter dengan pasiennya yang terpisahkan oleh bahasa. Mungkin Anda akan bilang tidak pada tempatnya membandingkan sebuah buku peraih Pulitzer Prize dengan buku debut yang dikeluarkan sebuah penerbit lokal Malang dan yang sementara belum mendapat penghargaan. Tapi, menurut saya ini sangat wajar, terutama untuk menunjukkan adanya potensi dan konsistensi gaya yang pantas diapresiasi dari buku Surat dari Praha ini.

Terlepas dari apa yang saya sampaikan pada paragraf-paragraf di atas, ada juga cerpen-cerpen dalam buku Surat dari Praha ini yang masih membahas dunia mikro negeri asing. Ada juga cerpen-cerpen Yusri yang konfliknya tidak melibatkan peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah. Pada cerpen-cerpen yang seperti itu kita diingatkan kembali kepada karya-karya Indonesia yang terinspirasi oleh pengalaman atau ditulis di negeri asing seperti dalam karya-karya Kuntowijoyo, Umar Kayam, atau Budi Darma, yang banyak di antaranya memberikan kesan usaha memahami paradigma hidup yang berbeda. Dalam buku Yusri, yang seperti itu dapat ditemukan misalnya pada cerpen “Wanita yang Bercengkrama dengan Anjing,” “Seaboma dan Patrick,” dan “Lelaki yang Mengantarkan Koran Dalam Hujan Salju.” Pada cerpen “Wanita yang Berengkerama dengan Anjing,” kita dipertemukan dengan seorang induk semang kos-kosan yang kesepian karena anaknya sudah dewasa dan semakin jarang mengunjunginya. Membaca cerpen itu tentu mengingatkan kita kepada cerpen “Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa” oleh Umar Kayam, yang juga memiliki elemen perempuan tua, anjing, dan kesepian. Cerpen “Seaboma dan Patrick” menggambarkan konflik kecil di sebuah asrama yang disebabkan karena perbedaan pembawaan antara orang-orang yang ada di dalamnya. Cerpen-cerpen seperti ini membawa pembaca kepada dunia asing yang khas, yang tidak menuntut pembaca untuk menghubung-hubungkan dengan peristiwa besar dunia, tapi tetap melibatkan pembaca untuk merenungkan hakikat kemanusiaan.

Ah, waktunya menutup postingan, tapi masih banyak yang belum saya tuangkan di sini. Jadi, saya biarkan saja postingan ini menggantung, dan saya akan persilakan Anda untuk datang lagi ke blog ini, siapa tahu pada kesempatan yang lain saya bisa menghadirkan letupan-letupan pikiran ini ke dalam bentuk yang lebih pas dan nyaman dibaca…

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *