Cuma Guyonan Kosong?: Eksplorasi Bingkai-bingkai Kiat Sukses Hancur Lebur

Puji syukur ke hadirat Allah saya ucapkan karena adanya kesempatan untuk melanjutkan postingan tentang Kiat Sukses Hancur Lebur oleh Martin Suryajaya ini. Dalam postingan ini, saya akan membahas bagian “Catatan Editor” yang pada novel lain mungkin bisa diberi judul “Prolog.” Menurut saya, pembacaan bagian ini sangat penting karena jika kita lakukan dengan sabar, tepat, dan proporsial, kita akan mendapat kerangka yang jelas dan kokoh untuk membaca bagian selanjutnya. Dan, pembacaan yang tepat itu juga yang memungkinkan kita menerima novel ini sebagai sesuatu yang menggairahkan, relatif jelas (tentu dengan definisi yang sangat liberal untuk kata “jelas” ini), dan tidak menyiksa.

Seperti biasa, sebelum membicarakan hal yang pokok, kita perlu membahas yang sepele tapi penting dibahas dulu: saat berhadapan dengan suatu objek yang mengandung bagian-bagian yang ganjil dan sulit, kita cenderung memberinya perhatian secara berlebihan, tidak proporsional, dan pada akhirnya kita akan terjerumus ke dalam fenomena eksistensial bernama “gagal fokus.” Itulah yang sementara ini saya lihat di postingan-postingan blog yang membahas novel ini. Saya janji, kali ini saya tidak akan mengajak Anda untuk terjerumus ke dalam hal-hal serupa. Saya akan mencoba sebisa mungkin memberikan fokus yang sewajarnya sehingga novel ini terasa mengasyikkan dan tidak sulit, karena memang seperti itulah semestinya novel ini. Begitu argumen saya.

Maka, kali ini kita akan mengawali dengan membaca bagian “Pengantar Editor,” bagian penting yang sekilas saja dibahas oleh blogger yang membuat postingan tentang novel ini. Bagian ini berisi cerita dari Andi Lukito tentang bagaimana manuskrip Kiat Sukses Hancur Lebur bisa sampai ke tangannya (dan akhirnya ke tangan para pembaca). Di dalam bagian ini kita mendapat informasi bahwa Andi Lukito, seorang kritikus sastra, mendapatkan manuskrip ini dari salah satu guru sastranya, Thomas Tembong, yang merupakan seorang anggota “Tujuh Pendekar Kere,” sebuah kelompok budayawan sastra tanding dari Semarang. Salah satu anggota lain kelompok ini adalah Anto Labil, S. Fil., yang dikenal sebagai anggota yang memiliki “kuda-kuda paling kokoh” dalam urusan sastra dan filsafat. Anto Labil, S. Fil. telah lenyap, tapi sebelumnya dia sempat meninggalkan sebuah manuskrip yang dia titipkan kepada Thomas Tembong untuk dikomentari. Nah, manuskrip itulah yang akhirnya diedit dan diberi pengantar oleh Andi Lukito.

Bagian pertama ini memang sedikit, tapi dia sangat vital dalam proses memahami novel ini. Kalau dihitung secara serius (tolong dilafalkan “sikhrius” seperti bahasa Perancis, biar terdengar lebih serius, “Catatan Editor” ini hanya 2,5% dari seluruh dunia buku Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya. Yang 97,5% adalah buku Kiat Sukses Hancur Lebur karya Anto Labil, S. Fil. Sedikit sekali memang. Tapi, karena bagian ini memberikan kita gambaran tentang dunia yang ada di dalam novel Martin Suryajaya ini, dan karena dalam dunia itulah semestinya kita memahami novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya Anto Labil, S. Fil. itu, maka mau tidak mau kita harus memberinya perhatian yang serius, yang proporsial.

Saya yakin penjelasan di atas agak menjemukan buat penggemar postingan blog pada umumnya. Maka, demi kesejahteraan kita bersama, saya berikan Bagan 1 di bawah ini.

bagan_i
Bagan I – Konstruksi Tumpuk-tumpuk Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya

Bila kita melalaikan atau menganggap sepele “Catatan Editor” ini dan langsung masuk membahas Kiat Sukses Hancur Lebur versi Anto Labil itu, akibatnya berabe. “Catatan Editor” ini sangat bisa membantu kita menunjukkan dunia yang ingin disajikan oleh Martin Suryajaya dalam novelnya. Kalau kita bandingkan dengan novel-novel lazimnya, pengantar Andi Lukito ini memberikan deskripsi tentang dunia yang ingin dihadirkan Martin Suryajaya dalam novelnya, yaitu dunia di tahun 2025, dunia pasca-reformasi, yang pernah dihuni oleh “Tujuh Pendekar Kere” dan seorang Harmoko yang pernah menulis buku Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan dst. Tentu, ini dunia fiksi, dan Harmoko maupun Soeharto di sini juga berbeda dengan Harmoko dan Soeharto yang ada di dunia kita. Di dalam dunia inilah terdapat sebuah manuskrip novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya Anto Labil, S. Fil. Dan, cerita Andi Lukito bahwa Anto Labil dan para anggota “Tujuh Pendekar Kere” yang didera kemiskinan, tergencet Orde Baru, dan pergulatan mereka menghadirkan estetika sastra baru itu akan membantu kita memahami kenapa novel Anto Labil itu berbentuk demikian. Tanpa pemahaman akan konstruksi seperti ini, akan dengan mudah kita menganggap bahwa novel Martin Suryajaya ini tidak untuk diartikan. Seperti penulis ini, misalnya: dia menyamakan novel Martin Suryajaya ini dengan Codex Seraphiniasus karya Luigi Serafini. Bijakkah kita buru-buru memutuskan itu, memutuskan bahwa hasil kerja Martin Suryajaya ini sekadar bualan tanpa isi, sebelum setidaknya lima kali membacanya? Tunggu dulu.

Satu hal lagi yang perlu disoroti dari catatan Andi Lukito ini adalah pergulatan pemikiran Anto Labil (dan gerombolan sastranya). Menurut Andi Lukito, “Tujuh Pendekar Kere” adalah kelompok yang bergulat dengan pemikiran dan perbuatan. Hidup mereka keras, dan “kere.” Tapi mereka tekun berdiskusi dan memikirkan nasib sastra Indonesia tanpa mau begitu saja ikut ke blok kanan dan blok kiri (tolong dimaklumi, istilah blok kanan dan kiri ini saya pakai dengan pertimbangan ala kadarnya). Sebagai kelompok yang kekiri-kirian, mereka tidak mau tunduk ke estetika humanisme universal. Tapi, itu tidak berarti bahwa mereka tunduk taklid dengan estetika realisme sosialis yang diusung Lekra (lihat hal. 10). Dalam tafsiran saya, ini berarti Tujuh Pendekar Kere ingin mencari estetika yang nyeni sekaligus politis, politis sekaligus nyeni. Dan, dari narasi Andi Lukito, kita tahu bahwa pergulatan mereka ini tak kunjung berakhir–bahkan, pada saat Andi Lukito menuliskan catatan ini pun belum ada satu pun dari tujuh pendekar itu yang menelorkan (atau melahirkan, karena pengarang adalah mamalia) karya. Selain tentu saja si Anto Labil ini, yang ini pun juga belum kelar. Maka, kalau kita memahami bahwa Anto Labil adalah satu-satunya pendekar yang masih bergulat dan belum juga menyelesaikan estetikanya itu, maka demikian pula lah kita memahami draf Kiat Sukses Hancur Lebur tersebut. Kita hendaknya menganggap gaya tulisnya yang terbaca seperti tulisan “penyair mabuk yang hampir pingsan” ini sebagai pilihan estetiknya–meskipun belum juga paripurna sebagai sebuah estetika. Dan jangan lupakan, dia bukan jenis seniman yang mengejar kekosongan. Dia bahkan menyebut estetikanya dengan sebutan “sastra kerakyatan.” Maka, kalau memang Anda berpegangan saat membaca buku yang membikin otak kocak ini, itulah pegangan Anda: bahwa karya Anto Labil ini bukan karya omong kosong (meskipun omong kosong adalah elemen pembentuk utamanya, dan ini akan kita bahas pada postingan selanjutnya).

Dengan demikian, tidaklah bijak membaca novel ini sebagai sebuah karya kosong seperti halnya disampaikan oleh penulis yang saya tautkan di atas. Codex Seraphinius bukanlah bandingan yang tepat untuk novel Kiat Sukses Hancur Lebur oleh Martin Suryajaya ini. Kalau menggunakan kiasan yang lazim sekitar Pemilu Indonesia 2014, perbandingan ini tidak “apple to apple.” Terkait itu, penggunaan semiotika tertutup untuk membahas buku ini tanpa mempertimbangkan keseluruhan bangun dunia yang ada di dalam novel Martin Suryajaya ini juga kurang tepat. Kalau menggunakan jargon hari-hari ini, menyoroti akrobat linguistik dan penandaan Anto Labil seolah-olah itu inti dari novel Martin Suryajaya ini sama dengan: gagal fokus.

Ada juga gejala yang semestinya perlu dipikirkan ulang: kecenderungan menerimanya sebagai guyonan belaka. Dari penjelajahan blogosphere sekilas, saya temukan bahwa ada juga orang-orang yang menikmati novel ini sebagai guyonan dan hura-hura saja. Kalau melihat konstruksi dunia dalam novel Martin Suryajaya ini, pandangan itu juga mestinya diluruskan. Sekali lagi, Anto Labil menulis draf novelnya seperti itu sebagai respons atas sebuah dunia yang menekannya (dan juga respons atas keinginannya sendiri menemukan estetika yang sepertinya dia anggap belum pernah Ada). Jadi, menganggap kerja berat Anto Labil ini sebagai sekadar guyonan adalah sebuah tindakan penyepelan. Guyonan adalah salah satu elemennya, tapi bukan itu saja. Kalau Anda pembaca di rumah membaca novel ini untuk mendapatkan guyonannya saja, itu sah-sah saja. Toh, kata teoretikus ilmu komunikasi, sebuah ujaran itu bersifat “multiinterpretatif” dan “mulaksentuasi,” atau bisa diterima dengan cara yang berbeda-beda dari satu orang ke orang lain–bahkan bisa berbeda dengan maksud penulisnya. Tapi, kalau menggunakan kiasan kontemporer: membaca novel Martin Suryajaya ini untuk mendapatkan guyonannya itu mirip dengan membeli dan mengendarai Kawasaki KLX (motor trail) generasi terbaru untuk mengantar anak kita ke sekolah SD yang jaraknya cuma 1 KM dan lewat jalan aspal kota (padahal, semestinya bisa dilakukan dengan naik Yamaha Mio tahun 2011 warna biru seperti punya saya).

Maka, demikian lah postingan kedua tentang novel Martin Suryajaya ini. Biar saya simpulkan: dalam membaca Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya, kita semestinya tidak menganggap sepele “Catatan Editor” yang ditulis oleh Andi Lukito, karena dia menjadi lubang kunci yang membantu kita melihat siapa itu Anto Labil, S. Fil. dan kenapa draf novel Anto Labil berbentuk ganjil seperti itu. Dan, untuk meningkatkan faedah buku ini, lebih dari sekadar menganggapnya sebagai guyonan yang kosong makna, saya undang Anda membacanya beberapa kali lagi. Menurut saya, buku ini mengasyikkan di permukaan dan lebih mengasyikkan lagi di kedalaman.

Demi kejelasan, saya ingin menegaskan ini:

  1. “novel Martin Suryajaya” mengacu kepada novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya yang diterbitkan oleh Penerbit Banana.
  2. “draf novel Anto Labil” mengacu ke draf novel Kiat Sukses Hancur Lebur yang ditulis Anto Labil, S. Fil. dan diedit oleh Andi Lukito.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *