Kesunyian, Puisi, Keberjarakan: Tiga Bisikan dari Kolase Digital Bobby Nugroho

Saat menenggelamkan diri dalam kolase digital Bobby Nugroho, ada tiga hal yang seolah terus dibisikkan ke kuping kiri saya: tarik ulur antara kesunyian dan perbincangan, imaji yang meminta dimaknai emosinya seperti puisi, dan dunia berjarak yang membuat gregetan.

bobby-nugroho

Tarik ulur antara kesunyian dan perbincangan dalam karya Bobby sudah terasa sejak saya mengetahui bahwa Bobby mengerjakan semua karyanya menggunakan smartphone. Bagi saya, smartphone membawa kesan kesepian. Sherry Turkle, ahli psikologi klinis dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), menulis buku berjudul Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Dalam buku ini, Turkle mengeksplorasi kesepian yang diperparah oleh hasil teknologi, khususnya media sosial, yang menyebabkan kita selalu sendiri, bahkan saat bersama-sama. Sebagai contoh, kita bisa melihat bahwa saat orang-orang berkumpul dengan kawan, besar kemungkinannya smartphone sesekali menghalangi perbincangan langsung. Pada titik ekstrimnya, perbincangan dan saling tatap kini hanya menjadi bumbu dari kebersamaan fisik kita. Tentu saja keadaannya masih belum seekstrim hubungan antar manusia seperti dalam film animasi WALL-E, di mana manusia sampai merasa ganjil saat harus berinteraksi tanpa diperantarai LCDBobby, seperti banyak orang lainnya, mungkin juga tak bisa lepas dari smartphone, entah itu untuk merawat halaman Facebook, menimbang-nimbang gambar di Instagram, atau mungkin bertukar kabar di WhatsApp.

Namun, semestinya buat Bobby dan banyak pekerja seni kreatif (baik itu pengarang atau perupa) kesunyian adalah sesuatu yang sudah tidak asing lagi. Bahkan, pekerja kreatif adalah orang yang bisa bertahan dan bahkan berkembang di dalam kesepian. Berbeda dengan kebanyakan dari kita yang tenggelam dalam kesunyian bersama-sama, Bobby mengeksploitasi kesunyian yang ditawarkan oleh smartphone. Dia masuk ke dalam kesunyian itu, bersuntuk dengan smartphone-nya, mungkin sambil nongkrong di warung kopi dengan teman-temannya. Tapi dia sepertinya tidak membiarkannya dirinya tersedot dan tenggelam ke dalam kesunyian tersebut. Bobby memasuki medan kesunyian itu dan menggarong sebagian isinya untuk menciptakan kolase digitalnya. Dia pamerkan hasil dari pergulatan dengan kesunyian itu di akun Facebook dan Instagram-nya. Dan, ketika tahu bahwa Bobby akan mencetak dan memamerkan karya-karya yang dia ciptakan di smartphone-nya, saya melihat ini sebagai keberhasilan untuk bangkit dari “kesunyian bersama-sama.” Bobby menjarah harta karun dari kesunyian, menangkarkan gambar-gambar yang bersilang sengkarut, dan membungkusnya sebagai oleh-oleh untuk kita. Dengan mengunduh karya-karyanya dari Instagram dan Facebook dan memajangnya di galeri untuk dilihat publik bersama-sama, maka Bobby seperti mengajak kita untuk merenungkan kembali arti bersama-sama tanpa perlu “sendirian.” Di sini, galeri pun menjadi benteng terakhir melawan serbuan kesunyian yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

Sementara itu, terkait karya-karya digital itu sendiri, tampak jelas adanya dialog antara sosok, latar, dan imaji-imaji yang mengajak kita memaknainya, meskipun tidak semua hubungan itu gamblang. Bagi saya yang sangat menikmati puisi, karya-karya Bobby menyerupai puisi yang menampilkan elemen-elemen yang tak urung menguarkan cerita. Lihatlah raut muka yang mungkin menyiratkan harapan (“I’m so deep in our stolen moment”), kepolosan (“#ripintan”), kehancuran (“Ode to My Angel”), pemakluman (“Our Secret Area”) dan lainnya. Hubungkan sosok-sosok itu dengan latar mereka seperti metropolitan, perjalanan dunia, kota yang koyak, stasiun kereta api, dan sebagainya. Dan lanjutkan lagi menghubungkannya dengan objek-objek domestik seperti lampu tidur, lilin, kopi, kunci. Jangan berhenti dulu: hubungkan sosok manusia, latar, detail, dan imaji-imaji wajib seperti siluet kijang jantan yang ingin tampil gagah dan purnama yang mengesankan keagungan malam[1], burung berbagai rupa yang ingin dimaknai, dan peti-peti beserta kuncinya yang melambung itu.

Dengan menghubungkan imaji-imaji itu, setiap karya ini akan menjadi puisi. Mungkin akan terdengar bombastis, tapi bagi saya Bobby menjinakkan dan menggiring imaji-imaji yang bertebaran di rimba raya dunia maya itu dan meletakkannya di meja dapur kesadaran kita. Kita tinggal melanjutkan dengan mengolah semua itu hingga menghasilkan masakan yang cocok untuk lidah kita, tentunya dengan bantuan belati, garam, merica, dan rempah  kita sendiri. Dengan kalimat lain, tugas kita hanyalah membuat narasi yang utuh, yang bermakna, dari citra-citra yang sudah dirangkai oleh Bobby di tiap-tiap bingkai itu. Dan, sekali lagi, pameran fisik karya-karya ini lebih memungkinkan kita untuk berlama-lama menikmatinya bersama-sama, tanpa perlu kesepian, tanpa dibayang-bayangi kenyataan bahwa backlight smartphone akan mati sebelum kita rampung merangkai makna.

Tetapi, selain dua hal yang berkesan memerdekakan di atas, ada kecenderungan yang agak membuat gregetan dalam karya-karya Bobby, yaitu adanya jarak antara dunia yang ditampilkannya dengan dunia kita. Ada kesan sosok-sosok itu hidup di alam cerita. Gambar lelaki dan perempuan kaukasia dalam karya-karya Bobby bisa dibilang bukan bagian dari pengalaman fisik kita di Indonesia, setidaknya di Malang. Mereka mungkin ada di tivi atau internet, atau sesekali lewat di jalan kota saat kita lewat. Seolah-olah ada upaya masif, terstruktur, dan sistematis untuk menciptakan alam fantasi alih-alih dunia yang agak-agak mirip dengan dunia kita.

Satu pengecualian yang khususnya harus disebut adalah “#ripintan,” yang rujukannya jelas ke dunia kita, yaitu peristiwa pengeboman gereja di Singkawang beberapa waktu yang lalu. Perbedaan gaya mendekati tema ini, menariknya, juga disertai gaya penyampaian yang berbeda dengan karya-karya lain. Dalam “#ripintan,” bidang-bidang warna latar untuk karya ini terasa relatif lebih bersih, sehingga imaji-imaji yang dipakai tampak lebih tegas dan sederhana. “#ripintan” seperti lebih memilih menyoroti cerita di balik sosok intan daripada narasi lebih besar yang menjadikan intan korban. Namun, kehadiran kijang jantan dan purnama memberikan kesan bahwa semua ini juga bagian dari dunia rekaan Bobby, yang tidak harus dimaknai langsung merujuk kepada sesuatu di dunia kita. Pendeknya, meskipun ada rujukan yang kuat ke dunia kita, “#ripintan” tetap menawarkan puisi yang membutuhkan partisipasi kita para “pembaca” dalam memaknainya. Semoga tidak salah bila saya berharap Bobby mengeksplorasi wilayah ini untuk mengimbangi dunia yang seolah “murni fantasi” dalam karya-karyanya yang lain.

Untuk lebih lengkapnya, mungkin akan lebih baik kalau Anda sekalian menengok sendiri ke galeri virtual Bobby Nugroho di sini, atau (untuk bisa maksimal merangkai makna tanpa dibayangi backlight mati) ke Gallery Raos Kota Wisata Batu.

[1] Di Almanak Petani Amerika Utara, gabungan antara purnama dan kijang jantan biasanya merujuk kepada “Buck Moon,” atau “Purnama Kijang” jantan, yaitu bulan purnama yang terjadi pada puncak musim panas (pertengahan hingga akhir Juli). Pada saat itulah dipercaya tanduk rusa jantan mulai tumbuh. Banyak kejadian besar dalam sejarah manusia terjadi pada masa-masa itu, misalnya pendaratan Neil Amstrong di bulan.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *