(Ini satu lagi resensi yang tidak termuat di media, yang harus saya sampaikan kepada sidang jamaah blog sekalian daripada menjamur di folder. Kayaknya suatu saat saya perlu bikin tag khusus “tulisan yang ditolak media” :D.)

Moemie

Judul buku      : Moemie, Gadis Berusia Seratus Tahun
Penulis             : Marion Bloem
Penerjemah      : Widjajanti Dharmowijono
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan           : Oktober 2016
Halaman          : 621 hal

Moemie Gadis Berusia Seratus Tahun bukanlah jenis novel yang biasa hadir di Indonesia. Novel ini ditulis seorang penulis Indo-Belanda. Sejauh ini, hanya sedikit karya penulis Indo-Belanda yang telah diterbitkan di Indonesia. Tapi, yang kurang disadari adalah, dari segelintir novel itu banyak yang bisa dapatkan tentang sejarah bangsa Indonesia sendiri.

Moemie mengisahkan hidup seorang perempuan unik. Meski terlahir dari seorang perempuan Bali, selama masa mudanya Moemie tidak pernah tahu asal-usulnya. Dia berpindah dari satu keluarga angkat ke keluarga angkat lainnya. Dan ketika dia mendapati bahwa dirinya memiliki kemampuan waskita (bisa mengetahui masa lalu dan masa depan seseorang hanya dengan memandangnya) hidup Moemie berangsur-angsur berubah. Dari anak angkat, dia sedikit demi sedikit mempengaruhi hidup keluarga Indo yang menjadikannya anak angkat. Hingga akhirnya Moemie menjadi semacam pimpinan tak resmi keluarga Indo ini. Moemi memastikan keluarga ini tetap utuh, hingga akhirnya mereka meninggalkan Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan.

Namun, kisah fantastis Moemie dengan kemampuan supranaturalnya ini bisa dibilang hanya sebagian kecil dari pesona novel ini. Justru kisah orang-orang di sekeliling Moemie itulah yang akan memantik penasaran pembaca Indonesia. Kisah dari perspektif keluarga Indo ini mempertemukan kita dengan hal-hal yang tidak lazim dibicarakan dalam “sejarah nasional” Indonesia.

Hal pertama yang menonjol di sini adalah bagaimana novel ini menyajikan perihal Indonesia dan Belanda masa masa pra-kemerdekaan secara penuh nuansa dan tidak hitam-putih. Di sini, orang-orang Indo dihadirkan dengan kompleksitas emosinya. Salah seorang karakter Indo memiliki cinta yang amat besar kepada tanah Jawa dan tidak bisa membayangkan akhirnya harus meninggalkan tanah kelahirannya ini. Baginya, Belanda adalah sebuah negeri yang aneh dengan cuaca musim dingin yang membuatnya tidak nyaman.

Selain itu, hubungan sosial antara kaum Indo ini dengan demografi orang Hindia Belanda juga terasa hidup. Hubungan di antara orang Indo dan Belanda murni, antara Indo dan Tionghoa, dan Indo dan pribumi, dan bahkan antara Indo dengan serdadu Jepang–semuanya digambarkan dengan insiden yang memberi gambaran yang lebih hidup tentang masa pra-kemerdekaan. Detil hidup seperti ini seringkali lolos dari gambaran sejarah nasional yang diajarkan di sekolah. Ini berbeda dengan film-film perjuangan Indonesia, yang seringkali menggambarkan tokoh Indo dengan stereotipe “meneer kompeni.”

Selain itu, kita akan melihat bagaimana identitas etnis di masa kolonial sebagai sesuatu yang cair. Identitas ras di sini mirip dengan apa yang diteorikan dalam kajian pascakolonial: “ras” adalah konstruksi sosial. Seseorang menjadi Indo atau pribumi atau Belanda lebih karena faktor-faktor eksternal. Salah satu adegan menarik di novel ini menunjukkan seorang karakter Indo yang bisa berubah menjadi Jawa hanya dengan memakai kopyah dan kembali menjadi Indo dengan menunjukkan sebuah surat keterangan yang diterbitkan oleh otoritas.

Hal terakhir yang juga bisa kita temukan dari novel ini adalah tentang evolusi bahasa Indonesia dari bahasa pinggiran menjadi bahasa utama. Bila secara umum siswa di Indonesia mendapatkan kesan bahwa Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu sejak 1928, maka novel ini memberikan gambaran yang lebih bagus. Tokoh Moemie mengamati bagaimana awalnya komunikasi hanya terjadi dalam bahasa Belanda (untuk urusan resmi) dan bahasa Jawa (untuk urusan jual-beli). Bahasa Melayu ketika itu hanya ada di pinggiran. Tapi, ketika Jepang mulai menduduki Indonesia, bahasa Melayu berangsur-angsur semakin mengemuka, hingga akhirnya menjadi bahasa resmi pasca kemerdekaan. Hal ini selaras dengan hasil penelitian James S. Sneddon tentang sejarah bahasa Indonesia dalam buku The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society.

Pembaca mungkin akan bertanya: apa mungkin menjadikan karya fiksi sumber pengetahuan sejarah? Pertanyaan ini wajar, karena bagaimanapun fiksi adalah hasil imajinasi.

Namun, Moemi sebenarnya tidak terlalu jauh terpaut dari ilmu sejarah. Dalam sebuah wawancara, Marion Bloem menceritakan bahwa dia mendapat bahan untuk buku ini melalui wawancara dengan orang-orang Indo di Belanda yang sempat mengalami masa kolonialisme di Indonesia. Marion Bloem sendiri lahir dua tahun setelah orang tuanya (Indo) pindah ke Belanda dari Indonesia. Dengan kalimat lain, Marion Bloem mencari bahan menggunakan teknik penggalian sejarah lisan, sejarah yang bukan dari artefak fisik, tapi dari perkataan dan hasil ingatan. Atau, Moemie adalah hasil historiografi dalam bentuk fiksi.

Memang, di masa kini, ketika sejarah lisan kurang mendapat kredit (kecuali hadits, yang juga termasuk sejarah lisan), Moemie tidak akan bisa memberikan bahan buku pelajaran sejarah. Namun, dengan keselarasan antara penggambaran dalam Moemie dengan penelusuran sejarah bahasa Indonesia, teori pascakolonial, dan sejumlah faktor lain, apa yang ditawarkan Moemie mestinya bisa memancing rasa penasaran kita mengenai sejarah bangsa sendiri.

Masih terlalu banyak yang belum kita ketahui tentang Indonesia pra-kemerdekaan, padahal zaman itu belum juga terlalu jauh jika dibandingkan dengan umur peradaban manusia di Nusantara. Dan hendaknya hal seperti ini menjadi keprihatinan bersama. Kita sudah lama mendengar “Jas Merah” atau “Jangan Sampai Melupakan Sejarah.” Tapi, masalahnya adalah: bila kita tidak tahu banyak mengenai sejarah kita, apa yang akan kita lupakan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *