Ke Bromo, Mencari Apa?

Apa yang kita cari dengan pergi ke Bromo? Yang kita cari berbeda-beda, sungguh. Meskipun tempat yang kita tuju adalah itu-itu saja. Saya punya tujuan sendiri. Saya ingin menunjukkan sebuah bagian taman nasional yang terkenal, yang dikunjungi oleh banyak orang, kepada anak saya. Saya ingin anak saya tahu ada sebuah tempat yang dipuja-puja semua orang tak jauh dari tempatnya tinggal.

Tapi, sekali lagi saya ingin merayakan diktum luhur yang kini jadi klise itu: yang menjadi tujuan bukan tempat wisata itu sendiri, tapi perjalanannya. Dan, hal seperti ini sangat mudah dibuktikan, apalagi kalau perjalanan Anda bukan perjalanan yang semuanya serba terpenuhi.

Saya berangkat sekitar jam 6:45 pagi dari Malang. Perjalanan relatif lancar dengan kecepatan nyaris konstan 60 km/j. Sepertinya ada yang perlu ditingkatkan dengan setelan karburator dan mesin Honda Win saya, tapi saya benar-benar tidak keberatan. Saya tidak butuh terlalu kencang. Lagian, demi apa coba nyetir motor di atas 60 km/j? Saya tidak perlu membuktikan apa-apa.

Sampai Tumpang, jalan masih relatif datar dan motor masih bisa berjalan 60 km/j. Ketika memasuki kecamatan Poncokusumo, ketika jalan kian menanjak, kecepatan puncak berangsur-angsur berkurang. Hingga pada saat tiba di desa paling atas sebelum memasuki wilayah Coban Pelangi, motor berjalan dengan sangat lambat dan bahkan harus mengandalkan gigi satu. Di tanjakan, saat gas ditarik mentok, tidak banyak tenaga yang diberikan motor. Di sini saya mulai percaya bahwa ada yang tidak beres dengan setelan bensin atau permesinan Honda Win saya.

Malam sebelumnya, saya sempat tanya-tanya sedikit ke seorang teman yang mantan offroader dan sekarang suka touring naik motor besar (250CC). Dia sering naik motor ke Bromo, dan beberapa bulan sebelumnya dia memang ke sana pada pagi hari. Saya ingin tahu apa kira-kira yang perlu saya waspadai sebagai orang yang bermotor ke Bromo pertama kali lewat jalur Tumpang-Coban Pelangi. Katanya sederhana: setelah melewati Coban Pelangi, pertahankan RPM, jangan memaksa pakai gigi dua kalau memang tidak memungkinkan. Saya bayangkan artinya tanjakan bisa sangat curam dan saya harus menggunakan gigi satu. Oke.

Benar saja, setelah melewati Coban Pelangi, perjalanan terasa berat bukan karena tanjakan yang terlalu curam, tapi lebih karena jalanan sempit, berbelok-belok, dan kondisi jalan di beberapa bagian tidak terlalu bagus. Semua ini tidak memungkinkan saya berkendara dengan kecepatan tinggi. Istilahnya, tidak cukup ancang-ancang untuk tanjakan (yang seringkali tidak terlalu curam). Akhirnya satu-satunya cara mempertahankan RPM tinggi adalah dengan menggunakan gigi rendah (baca: gigi satu).

Tak lama setelah melewati pintu masuk ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), tibalah kami di loket masuk yang juga merupakan perhentian ke area air terjun Coban Trisula. Kami berhenti untuk bayar tiket masuk ke taman nasional dan istirahat sebentar. Membonceng motor itu, saya yakin, perlu lebih banyak tenaga daripada naik mobil, dan saya harus pastikan anak saya tetap fit setelah perjalanan panjang pertamanya ini. Dengan kata lain, kami perlu banyak makan dan banyak energi. Maka, saat saya beli tiket, anak saya pesan Milo ke ibu yang jualan minuman dan makanan ringan di sana.

Bisa dibilang, saya masih baru melatih anak saya untuk perjalanan-perjalanan penting dalam hidupnya. Saya ingin dia melihat banyak, tapi saya juga ingin memastikan dia tetap sehat untuk bisa menikmati semua itu. Saya sobekkan satu bagian Sari Roti untuk dia dan satu untuk saya. Saya mendapat sobekan berisi selai Blueberry, dan Xeno dapat coklat. Bayangkan saja ini sebuah piknik keluarga yang telah dimodifikasi.

Di perhentian itu, sambil menunggu anak saya menghabiskan Milo-nya yang masih panas, saya bertemu dua mahasiswa Jogja asal Kediri. Salah satu pesan Mie Goreng, dan satu lagi minum coklat. Mereka berangkat dari kediri pada malam harinya pukul sembilan, berhenti di Malang sebentar, dan kemudian melanjutkan ke Bromo. Saat bertemu kami pada pukul 8 pagi itu, mereka sudah dalam perjalanan balik ke Malang. Satu dari mereka sudah sering ke Bromo, dan katanya memang pecinta alam. Satunya lagi ikut saja. Dengan motor Honda Supra X 125CC itu, mereka sepertinya sama sekali tidak kerepotan.

Apa yang mereka cari, tanya saya. Tentu saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang seperti itu. Yang jelas, mereka berusaha terjaga pada malam hari, dan menembus jalanan aspal taman nasional yang gelap dan curam pada malam hari, berjalan pelan di lautan pasir yang butuh teknik khusus sejauh sekitar 8 kilometer, dan kemudian naik ke penanjakan. Mereka bilang memang ingin melihat matahari terbit, tapi apakah benar begitu? Mungkin ada hal-hal yang tak terkatakan dari perjalanan mereka ke Bromo. Saya penasaran menjawab pertanyaan seperti itu. Mungkin perjalanan saya sendiri yang santai itu bisa membantu saya memahami kenapa kita ke Bromo.

Harga Milo panas di kantor Taman Nasional itu 4 ribu rupiah. Tapi, saat saya beli 5 ribu rupiah, saya mendapat kembalian 2 ribu rupiah. Kata si ibu, “Sampean bawa saja, Mas, saya ndak ada ruang seribu rupiah.” Saya belum pernah mengalami yang semacam ini di toko-toko waralaba semacam Indomaret dan Alfamart. Setelah mencari-cari ke palung tas punggung yang paling dalam, akhirnya ketemulah recehan yang kalau ditotal bisa sampai seribu. Begitu siap, kami melanjutkan perjalanan. Saya sudah tidak sabar menunjukkan kepada anak saya lahan pertanian yang miringnya ekstrim di kawasan Ngadas.

Hawa terasa dingin, dan knalpot Honda Win 100 mengeluarkan asap putih. Ada uap air yang terbakar, tapi tentu saja yang lebih banyak adalah oli yang bocor ke piston dan ikut terbakar.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *