Sepertinya saya pernah menerjemahkan puisi ini, tapi entah di mana. Tapi, karena di blog ini saya belum pernah menampilkan terjemahan puisi ini, maka saya terjemahkan saja puisi ini di sini.
Isi puisi ini cukup sederhana (seperti bisa Anda lihat sendiri), tapi implikasinya bisa sangat meluas. Tadi, waktu membacanya lagi, setelah beberapa waktu yang lalu membaca kajian ekologi sastra, saya jadi bisa menghubungkannya dengan sebuah esai penting ekologi sastra karya penulis fiksi ilmiah Le Guin. Dalam sebuah esainya, Le Guin menyodorkan satu gagasan estetika prosa yang lebih ekologis, yaitu estetika prosa yang “feminin.”
Seperti apakah estetika prosa yang feminin itu? Menurut Le Guin, prosa kebanyakan dilandasi oleh perjalanan dari awal menuju sebuah akhir. Isinya mesti pembukaan, konflik, klimaks, resolusi. Alur ini mirip dengan aktivitas berburu, yang dulu dilakukan oleh manusia purba laki-laki. Le Guin menawarkan estetika yang berbeda, yang terinspirasi kegiatan manusia purba perempuan, yaitu mengumpulkan biji-bijian. Kegiatan ini tidak pernah benar-benar berakhir. Kegiatan mengumpulkan biji-bijian akan terus berlanjut tanpa ujung atau klimaks. Itulah yang diusulkan Ursula K. Le Guin dalam “The Carrier Bag Theory of Fiction.”
Semangat itulah yang tampak bagi saya dalam puisi “tanah” oleh Suheir Hammad yang terjemahannya ada di bawah ini. Ada orang-orang tertentu yang mencintai secara merawat, sementara kebanyakan orang mencintai seperti berburu.
TANAH
caranya memahami
cinta menurutnya
seperti cara petani
banyak orang mencinta
seperti pemburu dan seperti
pemburu mereka membunuh
apa yang mereka damba
dia mengolah
tanah dengan jemari
hidung di basahnya
tanah dia menunggu
berdoa kepada dewata
dan perlahan menuai
bersyukur