Tentang Lagu-lagu Religi Gigi dari Masa ke Masa (Teaser)

Beberapa bulan ini saya merekap dengar lagu-lagu religi Gigi sambil mencari sebanyak mungkin sumber liputan dan esai dari berbagai media daring terkait album-album Gigi tersebut. Tujuan saya memang ingin menulis tentang transformasi album-album tersebut untuk dipresentasikan di sebuah forum ilmiah. Tapi, seperti biasa, saat kita mulai mencurahkan hati dan otak kita kepada sesuatu, kita akan mendapatkan kejutan: ternyata album-album religi Gigi itu mengandung lebih besar hal menarik dari yang saya bayangkan ketika memulai ikhtiar ini.

Album-album religi Gigi, yang dimulai dengan album Raihlah Kemenangan (2004), ternyata album religi yang revolusioner. Dari esai-esai tentang budaya populer dan Islam di Indonesia yang dimuat dalam buku berjudul Islam and Popular Culture in Indonesia and Malaysia yang disunting oleh Weintraub, saya mendapati bahwa sebelum Gigi, tidak ada band beraliran agak-agak nge-rock yang rutin serius menggarap lagu-lagu religi. Memang ada Rhoma Irama (yang sumbangannya tidak sedikit dengan mengoprek musik Melayu sehingga menjadi lebih optimistis, dan kemudian menjadi musik dakwah yang sangat konsisten) atau Bimbo (yang awalnya bermain musik Flamenco tapi kemudian fokus menggarap musik-musik dengan lirik bertema Islami) atau Ebiet G. Ade. Namun, untuk musisi nge-rock yang serius menggarap musik religi (versi daur ulang dari musisi sebelumnya, terutama Bimbo), Gigi ada yang pertama. Gigi pun melakukan ini tanpa meninggalkan “fitrah” mereka sebagai musisi rock–maksudnya, setelah urusan menggarap musik religi itu selesai, mereka kembali menggarap musik-musik yang … sebutlah sekuler. Setelah Gigi, kita bisa melihat lebih banyak musisi yang melakukan itu, seperti misalnya Ungu, Wali, dan bahkan Radja.

Hal kedua yang saya temukan adalah ada aspek estetis kuat yang mendorong lahirnya musik-musik religi versi Gigi ini. Album religi Gigi tidak sepenuhnya lahir karena hasrat untuk berdakwah (seperti Rhoma Irama), tapi juga bukan melulu hasrat untuk mengeruk keuntungan dari momen Ramadhan. Dari pernyataan Armand Maulana di dokumenter Gigi yang ditayangkan di Kompas TV (bisa ditonton di kanal YouTube Kompas TV), Armand menyebutkan bahwa dia punya keinginan menggarap lagu-lagu Bimbo (yang telah cukup signifikan mewarnai Ramadhan-ramadhan dalam kehidupannya) dengan gaya dia sendiri, yang nge-rock. Dia ingin menghasilkan musik religi yang lebih mudah masuk ke telinga Muslim dari generasinya atau generasi yang lebih muda dari dia–yang dia bayangkan mungkin sulit terketuk hatinya oleh lagu-lagu Islami gaya Bimbo yang mendayu-dayu dan tidak enerjik. Di sini, kita bisa melihat kemiripan antara Gigi dan Rhoma Irama, yang pada awal 1970-an memutuskan untuk melestarikan Melayu tapi dengan perubahan-perubahan yang menjadikannya lebih menarik bagi orang-orang muda di jamannya dengan menghadirkan apa yang bagus-bagus dari musik rock, termasuk di antaranya adalah optimismenya, yang menurut Rhoma absen dari musik Melayu (tentang revolusi Melayu ini, kita bisa menemukannya di buku Dangdut Stories karya Weintraub).

Pendeknya, album religi Gigi mengandung elemen otak-atik estetika musik religi sekaligus juga mempertimbangkan keberterimaannya bagi generasi muda pendengar musik sambil juga (secara implisit) keinginan menyampaikan pesan/dakwah bagi generasi muda. Aspek-aspek ini menjadi album-album religi (terutama yang pertama) tidak sesimplistis berdakwah saja atau cari uang saja.

Yang ketiga apa?

Sementara dua saja lah dulu. Memang agak ganjil membuat esai yang hanya didukung oleh dua gagasan pendukung saja. Tapi mohon dipahami, saya harus balik lagi ke aplikasi LibreOffice Writer untuk melanjutkan mendokumentasikan hasil penelusuran atas album-album religi Gigi sehingga dua hari lagi tulisannya siap dan saya bisa share hasil selengkapnya bagi Anda semua.

 

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *