Membela Potensi Spongebob dalam Mendidik Putera-Puteri Bangsa Berdaulat

Seperti kebanyakan orang, saya termasuk yang pernah beranggapan bahwa serial TV Spongebob Squarepants itu dibuat untuk orang dewasa, utamanya karena ceritanya yang cukup kompleks. Namun, baru-baru ini, saya mencoba membuka diri dan mencari informasi tentang apa-apa yang ada di balik serial fenomenal ini. Saya mendapati bahwa serial ini dibuat oleh seorang sarjana biologi kelautan, pernah terlibat kasus pelanggaran hak cipta karena kemiripan dengan sebuah produk yang ada lebih dahulu tapi tidak sempat sukses, dan bahkan pernah menimbulkan kontroversi karena ada ahli psikologi anak yang menganjurkan bahwa ada saat-saat tertentu di mana menonton serial ini kurang bagus bagi anak. Nickelodeon pernah menyatakan bahwa serial ini ditujukan bagi penonton usia 6-11 tahun (yang terlalu kecil sangat tidak dianjurkan). Intinya, serial ini memang diperuntukkan bagi anak-anak. Sejak itu, saya pun tergerak untuk membuat postingan-postingan blog tentang Spongebob Squarepants dengan mencoba mendudukkan serial ini pada kittahnya, sebagai tontonan untuk anak. Dampak hal itu adalah saya mencoba menelusuri nilai apa yang bisa ditawarkan oleh serial ini.

Satu episode Spongebob yang menurut saya bagus dijadikan ilustrasi untuk menunjukkan nilai dari serial ini (bila ditonton dengan bimbingan orang tua) adalah episode “The Krabby Chronicles.” Arus utama cerita episode ini adalah Tuan Krab ingin mendapatkan untung besar dengan membuat koran, namun untuk itu dia harus meminta Spongebob menuliskan imajinasinya, sehingga membuat banyak orang merasa dirugikan. Spongebob yang resah dengan ceritanya ini kemudian berbalik menggunakan Tuan Krab sebagai sasaran beritanya, sehingga akhirnya Tuan Krab kehilangan semua uangnya. Temanya yang paling mendasar mungkin gagasan sederhana “jangan melukai orang lain kalau tidak mau dilukai sendiri.” Namun, cerita ini disampaikan dengan estetika Spongebob yang hiperbolis, satir, dan penuh distraksi. Dampaknya, tidak mustahil anak-anak kesulitan menjangkau tema dasar cerita ini. Di situlah orang tua seperti kita semestinya berperan. Mari berikrar: Spongebob adalah pendidik yang baik, tapi dia hanya bisa baik bila kita terjemahkan.

Anda mungkin bertanya-tanya: kalau masih membutuhkan perlakuan tambahan, kenapa tidak kita tinggalkan saja tontonan ini dan mencari cerita-cerita yang lebih sederhana buat anak-anak kita?

Tidak. Inilah peran Spongebob Squarepants: membantu menunjukkan kepada anak-anak itu bahwa dunia ini sebenarnya tidak sederhana. Dengan melihat kompleksitas masalah, maka anak akan terbiasa untuk memandang persoalan tidak hanya pada satu dua titiknya saja, tapi secara luas. Bahkan, si anak akhirnya bisa saja menghasilkan tafsir-tafsir yang tidak kita ketahui sebelumnya. Ini pula yang menyebabkan kenapa kita perlu membaca karya fiksi yang bagus, yang membuat kita mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan dengan menelisik satu demi satu elemen di dalamnya.

Tapi, dengan Spongebob Squarepants, kita dihadapkan pada satu dilema: yang menjadikannya disukai anak-anak adalah juga yang menjadikannya potensial untuk tidak mudah dipahami oleh anak-anak. Yang konon menjadikan Spongebob ini disukai anak-anak adalah adegan-adegannya yang hiperbolis, penuh kejutan, dan konyol. Saking kuatnya bagian-bagian ini, bahkan ada pakar pendidikan yang pernah bilang bahwa cerita Spongebob ini berpotensi memperparah ADHD (gejala gangguan perhatian dan hiperaktivitas). Bahkan ada yang sampai bilang bahwa Spongebob tidak cocok ditonton untuk anak yang akan berangkat sekolah, karena akan mengacaukan konsentrasi mereka. Kiranya hal ini merujuk ke elemen-elemen konyol, hiperbolis dan mengejutkan saja, yang sebenarnya adalah detil-detil dari Spongebob Squarepants.

Padahal, seperti saya bilang di atas, kalau kita lihat secara lebih komprehensif, Spongebob Squarepants ini juga punya pesan moral yang jelas. Spongebob ini tak ubahnya cerita-cerita anak lain, yang disertai pesan moral. Seperti saya bahas di tulisan lain, pesan moral adalah bagian yang tak bisa dilepaskan dari cerita anak. Bahkan, cerita anak pertama memiliki judul yang jelas-jelas mengindikasikan pesan moral itu. Belum lagi, hubungan antara detail cerita yang berkaitan dengan plotnya juga bisa menjadi bagian dari olah otak yang baik untuk mereka ulang apa-apa yang menyebabkan terjadinya hal-hal tertentu. Secara garis besar, seorang anak akan tahu telah terjadi adegan-adegan aneh di Spongebob, tapi sepertinya tidak mudah untuk mengetahui sebab dari hal-hal tersebut. Untuk episode “The Krabby Chronicle,” misalnya, seorang anak akan tahu bahwa ada polisi yang menangkap Ny. Puff, guru kursus menyetir mobilnya Spongebob. Tapi, sangat mungkin si anak tidak tahu pasti apa yang menyebabkannya ditangkap, atau apa hubungan antara artikel koran yang ditulis Spongebob dengan penangkapan Ny. Puff oleh polisi. Di situlah peran orang tua: mengajak seorang anak mencari sebab-sebab yang tidak jelas, mengisi titik-titik yang ada dalam cerita Spongebob. Kita tidak bisa memaksa anak untuk tidak tertarik perhatiannya oleh bagian-bagian yang mengejutkan dan tidak standar yang seringkali mengalihkan perhatian anak dari keseluruhan cerita. Kita, yang dewasa, semestinya bisa mengapresiasi kekonyolan detail-detail tersebut, tapi sambil tetap menyadari bahwa masih ada yang lebih dari itu, yaitu keseluruhan tema cerita ini.

Kalau anak bisa hilang fokus dari keseluruhan tema cerita karena distraksi-distraksi kecil yang menarik, bukankah itu juga yang lazim terjadi dalam kehidupan kita? Bedanya, kompleksitas yang menyertai hidup kita orang dewasa tentunya memiliki level lebih akut. Sementara itu, kompleksitas di dalam Spongebob terjadi dalam rentang waktu yang singkat, sekitar 9 menit (panjang satu cerita atau sub-episode Spongebob). Para orang tua semestinya bisa tetap woles dan memandang lebih jauh dari sekadar bagian-bagian satir penyedot perhatian itu dan menyusun kembali tema cerita tersebut. Baru setelah itu anak diajak untuk mengingat-ingat kembali bagian-bagian konyol cerita dan bagaimana bagian-bagian konyol tersebut kalau dilihat secara keseluruhan sebenarnya menyampaikan pesan-pesan tertentu.

Poin penting kedua adalah, sebagai cerita yang menyajikan pesan lumayan sederhana, Spongebob Squarepants tidak terjebak dalam klise dan simplifikasi. Serial ini menyajikan persoalan-persoalan yang cukup mudah dicari rujukannya dalam kehidupan sehari-hari orang dewasa. Ada persoalan dunia kerja, persoalan keberagaman, persoalan sosial media, dan sebagainya. Mungkin inilah yang membuat banyak orang (termasuk saya dulu) menganggap serial ini dibuat untuk orang dewasa. Mungkin saya dulu menganggap ini cerita orang dewasa karena yang dibahas adalah dunia orang dewasa. Tapi, kalau dibalik, apakah cerita anak harus selalu tentang anak-anak saja? Lantas, apakah efektif mengajarkan moral bagi anak hanya dengan cerita-cerita tentang anak saja? Bukankah cerita untuk anak juga bisa dipakai untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan orang dewasa? Itulah yang terjadi pada serial kita ini: permasalahan orang dewasa, pekerjaan, uang, kekuasaan, waktu luang, dan sejenisnya. Elemen utama kehidupan orang dewasa yang kurang mendapatkan representasi di Spongebob adalah romansa (romansa digambarkan dengan begitu ganjilnya, hanya asal ada: plankton yang mencintai komputernya).

Jadi, meskipun moral yang disampaikan sesederhana semua kejahatan akan mendapatkan balasan yang setimpal, cerita yang mengusungnya tidak simplistis. Dalam cerita “The Krabby Chronicle” itu, kita tidak mendapatkan kisah tentang seorang anak yang disakiti anak lain dan anak lain itu mendapatkan balasannya. Hal semacam itu pastinya klise. Tapi, yang kita dapatkan adalah seorang pengusaha yang ingin mendapatkan modal lebih besar dengan cara menjual berita sensasional tapi bohong. Usaha tabloid gosip penuh kebohongan ini, bagi orang dewasa, sangat mudah ditemukan padanannya di dunia nyata. Bahkan, dunia nyata sudah punya sesuatu yang lebih liar dari imajinasi yang ada di film-film orang dewasa. Dengan menonton kejadian mirip nyata yang kerangkanya adalah pesan moral yang lazim itu, anak-anak sebenarnya diperkenalkan pada apa yang bisa terjadi di dunia nyata, di mana kesalahan tidak dengan mudah bisa dirasakan, di mana diperlukan perjuangan mencari hikmah di balik cerita tidak mudah—dan bahkan tidak disadari, hingga banyak yang terjerumus melakukan kesalahan. Maka, setelah menonton episode ini, sebenarnya anak-anak kita sudah diperkenalkan pada dunia yang jauh lebih kompleks dari dunia mereka sendiri. Yang jadi tantangan adalah kita: bisakah kita membantu anak-anak fokus ke cerita itu sambil menonton Spongebob Squarepants.

Sekali lagi, kalau memang agak rumit, layakkah cerita ini diperjuangkan? Dengan segala potensi yang dimilikinya, mungkin pertanyaannya bukan lagi pada apakah layak dipertahankan, tapi bagaimana cara memperjuangkan agar cerita ini benar-benar bisa menjadi jembatan yang maksimal bagi anak-anak sebelum memasuki dunia (fiksi maupun nyata) yang jauh lebih kompleks lagi. Di sebuah masyarakat di mana seringkali (di)kabur(kan) batasan antara fiksi dan fakta, fiksi dan ramalan, ramalan dan prediksi, Spongebob Squarepants bisa dimanfaatkan untuk dua tujuan: mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi kompleksitas yang lebih luas, sekaligus menjadi sarana latihan bagi yang dewasa untuk mendudukkan fiksi pada tempat yang semestinya.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *