Nyalasar karya M. Faizi bukanlah buku. Dia adalah titian. Nyalasar adalah titian yang menjembatani puisi dengan pembaca. Di jaman yang penuh penuh pagar, penuh tagar, jembatanlah yang kita butuhkan.
Tapi, sebelum terlalu jauh bicara tentang Nyalasar yang berpotensi menjadi jembatan, mari kita masuki dulu apa sebenarnya buku ini? Seperti terlihat pada sampulnya, buku Nyalasar ini adalah buku tafsir puisi. Kalau bicara tentang sastra, istilah “tafsir” bisa dimaknai bermacam-macam, mulai dari penjelasan akan arti makna hingga kritik yang menggali begitu dalam hingga, ekstrimnya, kita bisa heran bagaimana mungkin sebuah teks yang mengatakan A ternyata bisa memiliki makna yang sebegitu dahsyatnya. “Tafsir” yang dikerjakan oleh buku Nyalasar ini adalah upaya menjelaskan kemungkinan makna puisi dari baris ke baris yang dilakukan secara manasuka, atau istilah filosofisnya “woles.”
Untuk lebih jelasnya, biarkan saya gambarkan seperti apa buku karya Kyai muda M. Faizi ini. Buku ini berisi esai-esai yang masing-masingnya diawali sebuah puisi (ada yang baru, relatif baru, agak lama, dan legendaris) dan kemudian dilanjutkan dengan usaha menjelaskan puisi tersebut baris-demi-baris. Biasanya, dan inilah yang diharapkan oleh M. Faizi juga, setelah esai selesai dibahas pembaca akan lebih dekat dengan puisi tersebut, memahami makna di balik baris-demi-baris atau bahkan kata-demi-kata, dan mengetahui aspek-aspek teknis dari baris-baris puisi tersebut (seperti mana majas pars pro toto, mana anafora, dan lain-lain). Saya bayangkan bahwa setelah menyelesaikan satu esai, pembaca akan merasa puisi-puisi tersebut menjadi lebih jelas maksudnya. Tentu, kejernihan puisi tersebut adalah kejernihan versi M. Faizi, yang dengan rendah hati mengakhiri ikhtiarnya di tiap-tiap esai dengan “wallahu a’lam,” Tuhan maha mengetahui.
Kira-kira, apa faedah buku seperti ini? Kalau apa yang ada di lapangan, yang menganggap puisi sebagai sebuah karya sastra yang dianggap lebih berat, buku yang menjelaskan isi puisi semacam ini cukup bermanfaat. Bagi yang memang suka puisi (tapi tidak selalu bisa paham maksud puisi) buku ini bisa lebih membantu memahami apa-apa yang tersembunyi di balik keringkasan puisi. Bagi yang menganggap puisi itu sulit dan karenanya tidak suka membaca puisi, buku ini menunjukkan bahwa puisi itu tidak mustahil dipahami. Atau setidaknya tidak semua puisi mustahil dipahami (Afrizal Malna baru saja terlintas di pikiran saya).
Membaca yang Tersurat
Terus, kalau kita membutuhkan titian untuk mendekatkan antara puisi dengan pembaca, dan kita membutuhkan seorang M. Faizi untuk melakukannya, apakah itu artinya kita tidak bisa melakukannya? Sebenarnya kita sangat bisa, saya yakin. Tapi M. Faizi lebih bisa. Sepertinya ini tidak bisa dilepaskan dari latihan formal, kebiasaan membaca puisi, dan tentu saja karena beliau juga seorang penyair yang kemungkinan tahu cara kerja seorang penyair. Kalau mau kaku-kakuan ini, sebenarnya kita bisa mengkategorikan apa-apa yang dilakukan M. Faizi alam menafsir puisi itu ke dalam tiga tingkatan: leksikal (tafsiran atas kata), proposisional (tafsiran atas kalimat satu dengan yang lain), dan pragmatik (tafsiran atas konteks dengan dunia di luarnya). Agaknya, M. Faizi telah menghayati pentingnya penafsiran pada ketiga elemen tersebut dan bisa melakukannya dengan lancar, bahkan terasa seperti sesuatu yang juga alamiah (second nature) dalam aktivitasnya membaca puisi.
Dalam khazanah pembelajaran membaca, kemampuan-kemampuan ini masuk ke wilayah kedua, yaitu membaca yang tersirat. Sekadar mengingatkan lagi, dalam pembelajaran membaca yang lazim dipraktikkan di jurusan-jurusan bahasa, tahap pertama adalah membaca yang tersurat (membaca harfiah, atau literal reading). Selanjutnya, ada membaca yang tersirat (atau inferential reading) atau membaca untuk mendapatkan makna yang tidak langsung tampak. Selanjutnya, ada yang namanya kritis atau evaluatif. Istilah apresiasi sastra atau kritik sastra itu biasanya lebih mengacu ke pembacaan level ketiga (atau juga mencakup yang kedua). Saat bernikmat-nikmat dengan sastra, pembacaan versi pertama dan kedua ini saja lebih dari cukup. Dari kedua tingkatan ini, ktia bisa mendapatkan informasi dan kenikmatan. Akan lebih bagus juga kalau ktia membaca sampai tahap ketiga juga. Kalau pun tidak, juga tidak apa-apa. Level ketiga itu bisa disebut “fardu kifayah,” yang sudah cukup kalau sudah diwakili oleh yang disebut kritik sastra itu.
Sebagai laku aktivitas pembacaan level kedua, buku Nyalasar adalah buku yang depan bisa belakang bisa. Dia berguna bagi penikmat puisi yang lebih ingin menikmati puisi, yang lebih ingin menghaluskan puisi (seperti halnya judul buku ini, “nyalasar,” yang artinya menghaluskan kayu) atau menggerusnya lebih lembut agar lebih mudah diserap usus. Sementara itu, bagi yang lebih berminat melakukan apresiasi puisi (seperti misalnya kritikus atau mahasiswa sastra Indonesia yang harus menjalani laku membaca kritis demi nilai, eh, maksud saya demi ibu pertiwi), buku ini bisa menjadi rujukan untuk tafsiran-tafsiran atas karya-karya yang ingin dikritisi. Atau, teknik-teknik pembacaan yang dilakukan oleh M. Faizi bisa dipinjam untuk digunakan membaca puisi-puisi lain yang kelak ingin mereka kritisi. Demikianlah, buku yang merupakan laku pembacaan atas apa-apa yang tersurat ini ramah bagi penikmat puisi, orang yang belajar menulis puisi, maupun mereka yang ingin mengapresiasi puisi secara kritis. Depan bisa, belakang bisa.
Perhatian kepada Seni
Kalau saya bilang bahwa buku Nyalasar ini bisa membantu mereka yang ingin melakukan pembacaan kritis, apakah itu berarti menganggap buku ini kalah penting dibandingkan buku kritik sastra atas puisi? Naudzubillah min dalik. Tidak ada yang salah dengan fokus kepada apa-apa yang lazimnya disebut sebagai unsur intrinsik ini. Bahkan, kita semakin sering mendengar tentang pentingnya juga memperhatikan bagian-bagian ini. Sejak tahun sembilan puluhan, dua ribuan, hingga tahun 2018 ini, kita tetap bisa menemukan tulisan-tulisan yang menunjukkan perhatian kepada elemen intrinsik (atau kepada kurangnya perhatian kepada elemen intrinsik) dalam apresiasi karya sastra.
Pada awal tahun 2000-an, di bagian Bentara surat kabar Kompas hari Jumat, terjadi perdebatan selama beberapa saat mengenai “cultural studies” dan perhatian kepada aspek formal dari seni. Ada tuduhan bahwa “cultural studies” membuat orang meminggirkan aspek-aspek formal dan lebih fokus kepada potensi-potensi ideologis dari sebuah karya seni atau teks secara umum. Orang-orang lebih tertarik menyoroti bagaimana sebuah karya sastra bisa dibaca sebagai karya yang subversif karena mengkritisi konsumerisme. Banyak tulisan kritis yang menguraikan bagaimana sebuah film atau novel bisa dibaca sebagai karya yang mendukung status quo dalam kaitannya dengan kelas sosial. Oleh sebagian kalangan, pembacaan terhadap teks budaya yang lebih menekankan pada konten seperti ini dipandang sebagai tindakan yang mengabaikan elemen-elemen intrinsik yang sebenarnya membuat sebuah karya itu bagus atau tidak. Dengan asumsi tersebut, pengkritik “cultural studies” bisa bilang bahwa karya yang secara formal (atau teknik penulisan) jelek pun bisa dibaca sebagai sesuatu yang bagus ketika mengandung isi yang bernilai politis bagus.
Sampai saat ini pun, ingatan tentang “cutural studies” dan kritik yang dialamatkan kepadanya pun masih tetap ada. Tapi, tentu saja, setelah sekian lama, banyak yang sudah move on dari kritikan kepada “cultural studies” per se dan lebih tertarik membicarakan hal-hal yang berpotensi mengobati kesalahan yang dilakukan oleh “cultural studies.” Manneke Budiman, dalam pengantarnya untuk buku Alih Wahana karya Sapardi Djoko Damono yang tahun 2018 ini diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, mengatakan bahwa kajian alih wahana, yang aspek-aspeknya dibahas secara panjang-lebar-dalam oleh SDD dalam buku tersebut berpotensi memberikan solusi. Kajian alih wahana, yang menuntut diawali dengan telaah kepada aspek-aspek formal masing-masing bentuk yang menjadi sumber dan sasaran alih wahana sebelum melanjutkan ke aras ideologis, merupakan praktik yang bisa menjembatani antara kajian humaniora yang di satu sisi dituntut untuk membuat hubungan dengan aspek sosial, psikologis, dan lain-lain dalam kehidupan manusia sementara di sisi lain tetap harus mempertimbangkan aspek-aspek formal sebuah teks budaya karena teks tersebut mau tidak mau adalah hasil imajinasi yang dihadirkan dengan aturan-aturan tersendiri.
Dalam semangat menjembatani kebutuhan kajian humaniora yang semacam inilah buku Nyalasar bisa ikut andil. Nyalasar menunjukkan bagaimana baris-baris tertentu adalah penerapan dari keahlian berolah kata sehingga menghasilkan majas-majas yang cerdik atau imaji-imaji yang menggelitik. Nyalasar juga memperhatikan bagaimana satu dua kata sebenarnya mewakili berbagai lapis makna atau berbagai jenis makna. Nyalasar menunjukkan bagaimana nada baris-baris tertentu, apakah murung, apakah sarkatik, apakah sambil mengulum senyum. Nyalasar juga menujukkan mood macam apa yang ingin diciptakan oleh kata-kata sebuah puisi. Di sisi lain, Nyalasar juga menunjukkan bagaimana baris-baris atau kata-kata tertentu membuat penafsir terpikir sejarah, fenomena sosial, dan bahkan ngelantur sampai membahas topik-topik tertentu hingga panjang lebar—sebelum akhirnya sadar dan kembali membahas apa yang tersembunyi di balik kata-kata yang tersurat pada baris-baris selanjutnya. Pendeknya, Nyalasar mengajak kita melakukan pembacaan atas aspek-aspek formal yang berpotensi kita lewati dan abaikan saat sudah terlanjut mencari janji-janji ideologis yang berpotensi diberikan oleh sebuah puisi. Lagi-lagi, di sini Nyalasar menjadi titian yang menjembatani dua wilayah yang terbukti pernah bersitegang.
Terjadi secara woles
Kalau dari tadi saya terdengar agak tegang, tolong jangan artikan bahwa buku Nyalasar itu sendiri adalah buku yang tegang. Sejak awal, penulis menyampaikan bahwa tafsir yang dia lakukan bersifat manasuka, yang artinya sesukanya, santai saja. Kemanasukaan tafsir ini tampak pada gado-gadonya pendekatan yang dipakai. Kritikus yang sudah menjadi klasik bernama M.H. Abrams (yang btw sampai sekarang masih sering dikutip) membagi orientasi teori kritis ke dalam empat bagian, yaitu subjektif, mimetik, pragmatik, dan objektif. Agar penelitian sastra yang dilakukan menjadi ilmiah, orang-orang diharapkan untuk mengikuti satu atau dua pendekatan saja dalam satu kesempatan. Seiring bergulirnya waktu, setelah melewati masa formalis, pendekatan subjektif sering dipandang miring dalam kritik sastra, meskipun tetap populer dalam sejarah sastra. Kemanasukaan M. Faizi bisa dilihat dalam bagaimana tanpa beban juru tafsir kita ini melakukan, misalnya, penafsiran mimetik dan objektif yang tiba-tiba disisipi oleh penafsiran subjektif (membahas bagaimana biografi si penulis membantunya memahami teks). Hal yang seperti ini berlangsung secara berulang-ulang hingga bisa kita harapkan terjadi, dan menjadi satu gaya pendekatan yang sebut saja woles.
Kemanasukaan tersebut juga tampak pada bagaimana M. Faizi menyajikan gagasannya kepada pembaca. Tidak jarang penulis menyatakan bahwa tafsir yang dia lakukan tersebut lebih bersifat silaturahmi. Ada pula saatnya ketika juru tafsir kita yang santai ini melontarkan godaan atau sindiran kepada si penyair sambil mengulum senyum. Dan—ini yang sementara ini belum pernah saya temukan dalam buku tafsir karya sastra—pernah pula di satu saat M. Faizi menyatakan cukup, berhenti, dan tidak melanjutkan penafsiran karena dia merasa kewalahan dengan puisi yang dia hadapi, yang dalam hal ini adalah puisi Afrizal Malna. Juru tafsir yang santai ini mengaku kepalanya sudah cenut-cenut kalau harus menafsirkan puisi Afrizal Malna bagi pembaca yang sangat dia cintai itu. Dia memilih mempertahankan keselamatan jiwanya daripada berkorban nyawa menafsir puisi Afrizal Malna.
Sepertinya, setelah melakukan berbagai upaya penafsiran dan memperpanjang jangkauan puisi ini kepada pembacanya, atau mungkin juga membawa pembaca kepada puisi, tidak semestinya Kyai M. Faizi ini kita hakimi hanya karena telah patah arang dalam upaya menafsir puisi Afrizal Malna. Apa yang telah beliau lakukan hingga saat ini saja, yakni membuat jembatan itu, sudah lebih dari cukup. Tidak ada yang menyuruhnya melakukan ini. Dia tidak berhutang kepada siapa pun untuk melakukan ini. Jadi, kalau kita mendapatkan apa yang ada di hadapan kita ini, itu sudah sangat bagus. Bahkan, upayanya ini bolehlah kita sebut sebagai upaya revolusioner di tengah situasi hari-hari ini. Mari kita pelintir satu ungkapan dari George Orwell: Ketika membangun tembok dan perang pagar (serta tagar) sudah kaprah, membangun jembatan menjadi tindakan revolusioner.
Terima kasih untuk Mas Wawan yang telah meluangkan waktu untuk membaca dan mengapresiasi buku saya, Nyalasar. Ini sebuah kehormatan besar bagi saya. Solak dan syabas.