Mandi 80 Dollar sebelum ke New York City

Pada tahun 2013, sekitar akhir musim dingin, saya kembali berkesempatan ikut konferensi American Comparative Literature Association (ACLA). Tahun sebelumnya saya tidak ke konferensi ACLA tapi ke simposium kecil yang intim di Manhattan, Kansas (lihat posting sebelumnya). Alasan utamanya adalah karena pada tahun 2012 konferensi ACLA diadakan di Toronto, Kanada. Saya kuatir tidak bisa masuk lagi ke Amerika kalau sudah nekad keluar AS untuk ikut acara di Toronto. Nah, pada tahun 2013 itu, saya kembali ikut konferensi ACLA untuk menyajikan satu esai yang saya rencanakan jadi satu bab di disertasi saya. Kali ini acaranya diadakan di New York, tepatnya di Manhattan, New York City, di Universitas bernama New York University.

Seperti hari-hari kemarin, saya tidak akan terlalu banyak cerita tentang perjalanan penting tersebut. Yang akan saya ceritakan adalah premis temuan saya waktu itu: bahwa mandi tidak menjamin kesegaran. Pada hari saya berangkat ke New York City itu, mandi malah membuat saya lesu.

Ceritanya, pagi itu saya harus naik pesawat pada pukul 8 lebih sekian. Jadi, saat itu saya masih ada kesempatan mengantarkan anak ke sekolah dan kemudian bersiap-siap. Ketika bersiap-siap itu, istri saya menyuruh saya cepat biar tidak ketinggalan pesawat. Tapi, karena saya ingin merasa nyaman saat berada di pesawat dan ketika transit nanti, saya pun menyempatkan mandi. Begitu selesai mandi, saya melanjutkan buru-buru dan kemudian berangkat ke bandara bersama istri saya.

Sayangnya, sekencang apa pun saya menyetir, tetap saja saya tiba di bandara tepat 15 menit sebelum pesawat berangkat. Istri saya minta untuk tidak buru-buru meninggalkan bandara. Waktu saya tiba di konter check-in, petugas mengatakan bahwa saya sudah terlambat. Katanya, memang saat ini pesawat belum berangkat, tapi sudah tidak mungkin lagi saya mengantri di pemeriksaan dan berjalan ke ruang tunggu gate, dan masuk ke pesawat tanpa merepotkan terlalu banyak orang.

Alhasil, saya hanya pasrah ketika petugas mengatakan bahwa saya sudah tidak bisa ikut terbang dengan pesawat saya dan harus mengambil penerbangan berikutnya. Itu pun saya masih harus menjadwalkan ulang karena biang dari kesalahan tersebut adalah saya sendiri. Untuk menjadwalkan ulang, saya hanya bisa pasrah dengan jadwal yang tersedia DAN tetap ada biaya tambahan. Maka, setelah petugas memeriksa jadwal dan mempertimbangkan ini-itu diputuskanlah bahwa saya bisa ke New York City dengan penerbangan pada hari itu juga tapi agak sore.

Karena waktu masih cukup lama, akhirnya saya dan istri memutuskan untuk keluar bandara dan mencari tempat untuk ngopi dan sekadar makan burger. Istri saya tentu marah. Saya hanya seorang mahasiswa pascasarjana yang penghasilannya hanya berasal dari uang assistantship yang tidak seberapa dan buat hidup sekeluarga pun kadang sudah ngepres. Untuk penjadwalan ulang itu, saya harus mengeluarkan 80 dolar.

Kalau Anda marah dan sebal ketika ditarik bayar 5000 rupiah atau 10.000 rupiah ketika mandi di terminal, ingatlah bahwa saya pernah mengeluarkan 80 dolar karena mandi. Bersyukurlah.

Setelah drama tersebut, pada siang harinya saya menunggu pesawat di bandara jauh sebelum pesawat berangkat. Saya tiba di New York ketika sudah malam. Di New York, Saya harus naik bus bandara La Guardia dan berhenti di Harlem. Dari situ, saya harus berjalan sedikit menuju stasiun kereta api menuju hotel saya, hotel Double Tree di perempatan Lexington Road 119 Avenue.

Di hotel sudah ada sahabat saya Asaad yang sudah datang lebih awal dari Utah, yang lagi-lagi berbagi kamar dengan saya demi menghemat biaya akomodasi. Saya cukup capek dan badan penuh keringat. Tapi, saya tidak akan mandi malam itu. Saya masih ingin menikmati sisa-sisa mandi 80 dolar di pagi harinya itu.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *