Valentine’s Day + 1 di Savannah

Apa yang terjadi di bandara pada malam hari? Biar saya ulangi lagi: apa yang terjadi di bandara kecil pada malam hari? Kalau Anda belum pernah bermalam di bandara kecil yang kalau malam tutup, maka tunggulah cerita ini.

Kejadian ini dari tahun 2015, lagi-lagi ketika saya sedang dalam perjalanan akademik di Savannah untuk menghadiri the 24th Symposium on Commonwealth and Post-colonial Studies. Acara ini dihelat oleh sebuah kampus yang saya lupa namanya, tapi diadakannya di sebuah hotel di jantung kota Savannah, Georgia. Kota Savannah ini termasuk salah satu kota Eropa tertua di Amerika Serikat. Bangunan-bangunannya kolonial dan sistem jalannya petak-petak sangat rapi dengan taman-taman eksotis di setiap beberapa blok. Kalau dari Google Maps, kota Savannah ini terlihat seperti kota dalam game menata kota, bentuknya teratur dengan bagian-bagian yang bisa ditebak.

Satu hal yang tidak lazim dari kota itu adalah pohon-pohon oaknya yang berumur ratusan tahun di taman-temannya dipenuhi vegetasi putih yang menempel dan berjuluran seperti janggut putih. Dalam bahasa Inggris, tanaman tempel ini ini bernama “Spanish moss.” Dalam bahasa Indonesia sebutannya “janggut nabi.” Di Malang, saya pernah melihat tanaman janggut nabi ini di tanam di salah satu kios pedagang tanaman di Splendid.

Tapi, meskipun kotanya indah dan tua, meskipun saya bersama kawan-kawan baik teman diskusi saya, saya lagi-lagi bermasalah dengan dana perjalanan. Beruntungnya dua kawan kawan saya, Rash dan Hash, satu dari Kolkata (India) dan satu dari Kolombo (Srilanka)–mereka bisa patungan untuk menyewa kamar hotel. Saya tidak bisa ikut mereka–lha mereka semua perempuan. Dan lagi, ini bukan jenis konferensi yang diikuti Asaad, sahabat saya yang selalu bisa (dan meminta) diajak patungan sewa kamar hotel. Saya pun harus menyewa satu kamar sendiri.

Setelah perhitungan kanan-kiri, dana yang saya dapatkan dari kampus ternyata saya tidak bisa membayar untuk menginap 3 malam di Savannah. Saya hanya bisa menginap dua malam, itu pun di dua hotel yang berbeda. Malam ketiga adalah Sabtu malam minggu, dan hotel-hotel di Savannah ketika itu lebih mahal, mungkin karena bertepatan dengan Valentine’s Day pada hari Jumatnya. Sejak jauh-jauh hari, saya sudah memesan tiket pesawat round trip dari Fayetteville hari Kamis dan balik dari Savannah hari Minggu pagi. Jadi, mau tidak mau pada Sabtu Malam itu saya harus menginap di bandara.

Saya presentasi pada hari Sabtu dan sorenya, setelah rangkaian acara simposium selesai, saya menikmati jalan-jalan keliling kota Savannah dengan jalan kaki. Saya datangi kuburan-kuburan yang indah di kota itu. Saya datangi taman-tamannya yang banyak patung perunggunya. Saya lihat wajah orang-orang yang bahagia menjalani hidup sebagai turis yang happy dan sebagainya. Baru pada pukul setengah sembilan malam saya ambil taksi ke bandara yang berjarak sekitar 20-30 menit naik taksi.

Di bandara, masih ada cukup banyak orang. Tapi, seiring bergulirnya malam, bandara semakin sepi. Tepat pukul dua belas, hanya ada satu dua orang saja di bandara. Portal masuk ke kawasan ruang tunggu sudah ditutup. Saya tahu bandara ini akan sepi pada malam hari (menurut forum-forum internet), tapi agak keder juga ketika ternyata memang sangat sepi bandara itu pada pukul 12 malam. Hanya ada satu dua orang saja yang menunggu kedatangan pesawat terakhir, yaitu pesawat militer yang membawa orang-orang yang balik dari penugasan di luar negeri (Iraq atau Afghanistan). Petugas yang ada di sana bilang mereka hanya menunggu pesawat militer terakhir dan kemudian akan pulang.

Saya membuka-buka komputer untuk membaca-baca ketika dari arah teras bandara seorang datang dengan berjalan canggung. Tatapan dan sikap orang ini sangat tidak jelas. Saya langsung merasa ini orang mabuk. Dia melihat saya dan mulailah terjadi perbincangan ini:

“Halo, Mas, sampean nonton YouTube ya?”

“Nggak, Mas,” kata saya. “Hanya baca-baca.”

“Pesawat ke Atlanta masih ada nggak?”

“Wah, gak tahu ya?” jawab saya. “Memangnya penerbangan sampean jam berapa?”

“Nggak.”

“Lho?” saya mulai tidak nyaman, jangan-jangan orang ini akan menjahati saya (tapi tidak menjahati seperti Rangga kepada cinta). Saya mulai matikan laptop sambil bicara.

“Saya nggak punya tiket.”

“Lha terus?”

“Nggak peduli,” katanya. “Yang jelas aku harus ke Atlanta. Mati pun nggak masalah.”

“Sampean ke check point sana saja,” kata saya menunjuk portal masuk ke kawasan check in bandara yang sebenarnya sudah ditutup tapi masih ada petugasnya. Perasaan saya sendiri sudah tidak karu-karuan. Bisa gawat kalau tahu-tahu ternyata orang ini bawa pistol atau belati. Saya mulai bebatkan tali tas ke tangan kiri (tas Targus itu ketika itu baru berusia seminggu, dan saat ini masih saya pakai). Kalau dia mengeluarkan pistol atau belati,saya akan ayunkan tas baru itu untuk melindungi diri.

“Betul,” katanya, masih linglung. “Saya tanya saja.”

Dia pun selanjutnya berjalan canggung ke petugas bandara. Tak lama kemudian dia terlibat perbincangan dengan petugas bandara yang baik-baik menjawab pertanyaan itu. Saya juga heran kenapa petugas bandara tersebut tidak marah dan mengusir orang yang mungkin mabuk itu. Sementara itu, saya sudah mulai kepikiran untuk meninggalkan bandara dan mencari hotel dekat-dekat sini demi ketentraman jiwa dan keselamatan. Sebentar lagi, kalau orang yang canggung itu akhirnya sadar bahwa naik pesawat beda dengan naik taksi atau bus, pasti akan meninggalkan portal dan lewat lagi depan saya.

Tapi tidak secepat itu, kawan. Meskipun saya tahu kartu kredit selalu bisa diandalkan kalau kepepet hari menyewa hotel malam itu, bayangan tentang tidak mudahnya mencari tambahan untuk membayar hutang nanti akhirnya membuat saya menguatkan diri bertahan. Saya hanya perlu menyingkir untuk mencari tempat yang lebih menentramkan hati. Saya berpindah sedikit, kali ini ujung bandara yang menuju tempat parkir, tepat di depan loket penyewaan mobil Budget. Banyak orang yang beli tiket pesawat sekaligus sama sewa mobil, dan biasanya ke tempat inilah orang-orang itu akan pergi. Setidaknya, sampai pesawat terakhir nanti, loket penyewaan mobil ini masih akan tetap buka. Ketika saya duduk di depan loket itulah saya lihat orang yang canggung tadi berjalan kelingsutan meninggalkan bandara. Dia menoleh ke arah saya duduk tapi saya pura-pura tidak melihatnya. Saya merasa seperti seorang penakut yang menemukan pembenaran atas ketakutannya.

Setelah pesawat terakhir datang dan loket penyewaan mobil tutup, saya pun pindah karena sebenarnya tempat ini agak tidak nyaman, dekat dengan pintu ke arah parkiran yang gelap dan agak dingin. Ketika itu sudah pukul 1 malam. Saya mulai berjalan memasuki bandara dan melihat kehidupan malam di bandara kecil yang sepi ini.

Ternyata di dalam tidak sepi-sepi amat. Petugas kebersihan berjalan ke sana kemari. Ada juga tukang yang memasang lantai di satu bagian bandara. Ada satu kantor yang merupakan tempat perhentian sejenak para tentara. Tempat ini menyediakan sofa untuk para tentara yang baru pulang dari penugasan dan tidak ada yang menjemput. Di dekat sana ada seorang tentara yang menggendong putrinya yang sepertinya sudah agak terlalu besar untuk digendong. Mungkin dia baru pulang dari tugas dan lama terpisah dengan putrinya.

Saya berpindah-pindah tempat demi mencari kenyamanan duduk dan leyeh-leyeh. Ada seorang petugas bandara yang mungkin mengepalai petugas bersih-bersih yang beberapa kali lewat di dekat saya. Wajahnya terlihat seperti orang Korea dan dia punya aksen seperti orang dari luar Amerika. Saya ajak dia ngobrol sebentar sekadar basa-basi. Saya sempat tidur sambil leyeh-leyeh di atrium bandara yang agak redup lampunya.

Malam terasa cukup panjang sebelum akhirnya lampu-lampu mulai dinyalakan dan petugas check point berdatangan. Ternyata sudah pukul 4 pagi. Pada pukul setengah lima, saya sudah ikut berbaris di depan loket check in.

Pagi itu, di pesawat menuju bandara Charlotte, tempat transit saya, saya sempat tertidur.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *