Konferensi akademis adalah sebuah reuni, ternyata. Setidaknya, itulah yang terjadi antara saya, Asaad, Nadine, Manal, dan beberapa orang lainnya.

Saya kenal baik dengan Asaad sejak 2009, ketika saya menjalani semester kedua di Arkansas. Dia mahasiswa S3 yang suatu kali diwawancarai oleh pusat bantuan menulis di kampus dan ditampilkan di majalah dinding. Di situ disebutkan bahwa dia mahasiswa asing dari Timur Tengah yang rajin menggunakan jasa pusat bantuan menulis di kampus. Disebutkan di juga di situ bahwa dia menggunakan jasa pusat bantuan menulis itu untuk mempersiapkan tulisan buat disajikan ke seminar.

Dari situlah saya tahu bahwa ada satu mahasiswa di program saya yang rajin mengikuti seminar. Saya dekati dia karena saya juga ingin kenal dunia yang dia geluti itu. Belakangan, baru saya ketahui bahwa bidang kami bersilangan dan pembimbing kami sama. Ketika saya sampaikan niat ingin mengetahui ini itu tentang dunia akademis yang masih belum saya kenali itu, dia dengan senang hati berbagi informasi dengan saya, termasuk fakta yang tidak banyak dibahas kawan-kawan saya: bahwa kampus memiliki dana yang memang tujuannya untuk mendorong mahasiswa pasca sarjana mengikuti konferensi-konferensi di bidang masing-masing. Ternyata banyak mahasiswa yang tidak tahu tentang ini dan tidak banyak memanfaatkan ini.

Maka terjadilah: pada musim gugur 2009, di semester ketiga saya di Arkansas, Asaad mengajak saya untuk ikut panel yang dia siapkan buat konferensi American Comparative Literature Association tahun 2010 di New Orleans. Panelnya berbicara tentang gagasan “pulang” dalam kaitannya dengan pascakolonialitas. Kajian ini sangat spesifik dan dia memang menyasar orang-orang tertentu yang dia tahu mengerjakan disertasi terkait gagasan pulang ini. Dia minta saya mengajukan abstrak kepada dia.

Maka saya kirimkanlah abstrak berdasarkan tugas kuliah saya pada semester sebelumnya. Saya berbicara tentang gagasan pulang dalam karya autobiografi Malcolm X dan novel Chaim Potok The Chosen. Abstrak harus dikirimkan ke sistem yang sudah dibangun ACLA. Tapi pada akhirnya Asaad sebagai ketua panel untuk memutuskan apakah akan menerima abstrak tersebut atau tidak. Saya yakin saya diterima karena Asaad ingin memberi saya kesempatan seminar untuk pertama kalinya.

Beberapa waktu kemudian, saya mendapat email dari ACLA bahwa abstrak saya diterima dan saya diundang untuk mengikuti ACLA 2010 di New Orleans. Bersama saya, ada Banan dan Manal, dua kawan saya dan Asaad di Arkansas yang sedang menyelesaikan disertasi mereka. Memang panel ini fokus membahas gagasan “pulang” atau “mudik” dan para pembahasnya kebanyakan adalah orang-orang yang memang fokus mengerjakan disertasi, atau sedang meneliti (buat yang sudah profesor) tentang gagasan itu, dari berbagai penjuru Amerika Serikat yang entah bagaimana sudah dikumpulkan Asaad.

Maka, yang terjadi adalah semacam reuni dengan semacam update mengenai hasil kajian masing-masing peserta. Ada yang membahas tentang pulang dan melankolia dalam narasi perjalanan penulis perempuan. Ada yang membahas tentang pulang ke Palestina bagi orang-orang Palestina yang pada tahun 68 harus meninggalkan Palestina dan pindah ke Mesir. Panel tiga hari yang diadakan di French Quarters di New Orleans itu terasa begitu bergairah. Apalagi panel tersebut terjadi di sebuah ruangan salah satu restoran yang khusus tiga hari itu disulap menjadi ruang rapat. Meja bundar yang biasa dipakai untuk menyajikan hidangan Cajun seperti Jambalaya dan lain-lain itu kini menjadi tempat kertas-kertas dan laptop-laptop.

Di tiga hari konferensi itu, saya melihat begitu mudahnya wajah kota bisa berubah. French Quarters yang memang dikenal sebagai kawasan kuliner, pesta, musik, minum, dan kehidupan malam New Orleans terasa begitu hidup pada siang hari dengan wajah-wajah akademia yang melompat dari satu panel ke panel berikutnya yang diadakan di restoran-restoran dan bar-bar bergaya Eropa itu. Mulai sore dan malam harinya, kita mendapati lagi wajah-wajah akademia yang sama dengan vibe berbeda, melebur bersama pengunjung wisata malam New Orleans yang berlompatan dari satu bar ke bar berikutnya entah melakukan apa diselingi musik berbagai rasa, terutama Rock dan Jazz, serta tarian liar orang-orang di jalan.

Motto New Orleans (dan khususnya French Quarters) adalah “Mardi Grass sepanjang tahun.” Di situ saya menyaksikan sendiri orang-orang berhura-hura, menyanyi dan menari di jalan, dengan bir di tangan dan manik-manik hijau, merah, ungu melingkar di leher, dan orang-orang di balkon bar meneriakkan entah apa kepada orang-orang yang lewat di jalanan sempit yang terlarang untuk dilewati mobil itu.

Benar-benar seperti after party sebuah acara reuni…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *