Desa-desa Louisiana Mereview Isi Makalah

Perjalanan ke New Orleans adalah perjalanan yang menarik bagi saya. Ketika itu sudah hampir dua tahun saya di Amerika Serikat, dan saya baru sempat melakukan perjalanan panjang ke utara saja sampai Minnesota dan sedikit ke timur hingga Urbana-Champaign dan ke Barat paling jauh hingga ke Colorado. Tapi, kalau ke selatan, ketika itu saya baru pernah sampai ke Starksville, Mississippi, yang bisa dibilang hanya sedikit meninggalkan Arkansas dan melompati sungai Mississippi saja. Perjalanan ke New Orleans adalah perjalanan yang membuka jalan lebih jauh lagi, melihat topografi Amerika yang baru lagi. Tapi, ternyata saya mendapat kejutan yang lain: demografi dan sejarah demografi selatan di desa-desa Louisiana.

Perjalanan konferensi tersebut terjadi karena patungan. Saya, Manal, dan Banan masing-masing mendapatkan dana bantuan dari kampus untuk transportasi dan akomodasi. Tapi Asaad sudah menggunakan dana bantuan dari kampus untuk tahun itu. Tapi, karena kami sudah berteman baik dan tentu tidak tega memaksa Asaad menggunakan uang pribadinya untuk konferensi, kami memutuskan untuk menyewa mobil biar Asaad juga bisa kami angkut. Jadilah, kami bertiga urunan menyewa Toyota Sienna dari Enterprise. Setelah semuanya siap, kami pun berangkat pagi itu sekitar pukul 10 dari kampus.

Dari Fayetteville ke arah selatan menuju Little Rock, menyeberangi sungai Arkansas, dan lanjut terus ke Selatan melewati Pine Bluff, sebuah kota yang disebut-sebut memiliki tingkat kriminalitas sangat tinggi. Ketika itu saya belum punya kenalan di Pine Bluff. Belakangan, seorang kawan dari Nusa Tenggara Timur yang mendapat beasiswa dari Ford Foundation ternyata pernah ke Pine Bluff untuk mengunjungi seorang kenalannya dari Kupang yang menjadi pastor di Pine Bluff. Beberapa tahun setelah saya lewat Pine Bluff bersama kawan-kawan saya ini, saya mendapat lungsuran gitar dari pastor di Pine Bluff ini.

Dari Pine Bluff yang agak berbukit-bukit itu, kami terus ke selatan hingga melewati perbatasan antara Arkansas dan Louisiana. Di kawasan tersebut, tanah terasa sangat datar. Lahan pertanian membentang luas. Jalan-jalan lurus seperti ditarik garis dari langit. Sejak meninggalkan Pine Bluff, kami tidak melewati jalan Interstate lagi. Kami hanya lewat jalan raya negara tapi dengan jalur yang terpisah.

Di kawasan Louisiana itu, di tengah-tengah kawasan pertanian yang datar itu sebentar-sebentar ada bangunan. Setelah diamati dari dekat, ternyata bangunan-bangunan itu adalah gereja-gereja berwarna putih. Saya langsung teringat perjalanan di Jawa, misalnya saja dari Mojokerto hingga ke Jombang, di mana sebentar-sebentar terlihat masjid. Bedanya, di Louisiana, tidak terlihat jelas di mana pemukiman penduduknya. Kalau di Jawa, tidak terlihat jelas di mana sawahnya.

Begitu lebih masuk kawasan Louisiana, sesekali jalan yang kami tempuh memasuki kawasan pemukiman, kota-kota kecil. Pada banyak di antara desa-desa atau kota-kota kecil itu, terlihat bahwa mayoritas penduduknya adalah orang-orang Afrika-Amerika. Mobil-mobilnya terlihat mobil-mobil agak tua, dan rumah-rumahnya khas perumahan selatan yang terbuat dari kayu yang dicat putih. Di halaman terdapat pagar kayu yang juga bercat putih.

Kami mulai melihat danau-danau buatan di sepanjang perjalanan. Ada danau yang berbentuk seperti sungai, menyempit, agak mengular, tapi tidak terlalu panjang dan kelihatan jelas tepi-tepinya. Ketika semakin mendekati New Orleans, semakin banyak terlihat kawasan-kawasan rawa di tepi jalan. Ini yang disebut “bayou” dalam bahasa Inggris lokal.

Kami berhenti di sebuah Subway, sebuah tempat makan yang cukup saya favoritkan untuk beli sandwich kapal selam isi tuna atau daging kepiting buatan. Semua pegawai Subway tersebut berkulit hitam dan banyak dari pelanggannya orang kulit hitam. Kawasan selatan ini dulunya terkenal sebagai pusatnya perbudakan karena para tuan tanah kulit putih ingin mencari penggarap lahan mereka dengan biaya murah, akhirnya mereka membeli orang-orang Afrika yang didatangkan dari kawasan Afrika Barat. Orang-orang Afrika Barat itu kebanyakan adalah korban perang suku yang dijual oleh suku lawan mereka. Tapi ada juga orang-orang Afrika itu yang diculik langsung oleh orang-orang Eropa dan diperdagangkan di pasar budak di kawasan-kawasan yang sekarang menjadi Mali, Senegal, dan lain-lain.

Menurut perhitungan yang disajikan dalam buku Diouf berjudul The Servants of Allah, 30 persen dari orang-orang Afrika yang diperbudak di Amerika pada abad ke-17 dan ke-18 itu adalah orang Muslim. Namun, seiring waktu, orang-orang Afrika itu semakin jauh dari akar leluhurnya dan akhirnya menjadi pemeluk Kristen. Kini, kawasan selatan ini tersohor sebagai kawasan yang paling Kristiani, paling alim, di Amerika, baik orang-orang kulit putihnya maupun orang-orang kulit hitamnya.

Perjalanan ke Selatan itu tanpa direncanakan akhirnya menjadi perenungan yang cukup berarti buat saya. Ternyata saya jadi memikirkan kembali perihal perbudakan, posisi Islam dalam diskursus perbudakan di Amerika Serikat. Tentu saja hal itu sangat cocok dengan materi makalah yang akan saya sajikan, tentang gagasan pulang dalam otobiografi Malcolm X, salah seorang pejuang Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat yang namanya besar di persilangan antara perjuangan hak sipil dan nasionalisme kulit hitam. Sambil menyetir menuju seminar itu, saya sudah seminar sendirian di mobil, di dalam kepala saya sendiri, berkat kenyataan demografi Louisiana.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *