Kenikmatan yang kurang jelas, begitulah saya menyebutnya. Hal itu terjadi ketika saya sendirian di sebuah hotel di Savannah, Georgia, untuk mengikuti the British Commonwealth and Postcolonial Studies Conference ke-24. Seperti apa kenikmatan itu? Begini ceritanya, dan sesederhana inilah ceritanya.
Saya tiba di bandara Savannah ketika hari sudah mulai petang. Begitu turun di bandara, saya cek dua kawan saya, Rash dan Hash, kawan diskusi dan kawan satu program di University of Arkansas. Ternyata mereka sudah datang lebih dahulu dan sudah bersantai di hotel mereka. Mereka berbagi kamar dan menginap di hotel tempat diadakannya seminar. Saya tidak bisa berbagi kamar dengan mereka karena alasan yang sangat jelas: mereka berdua perempuan, dan keduanya sudah bersuami. Mereka bilang sudah sempat keluar ke restoran malam itu. Okelah, saya tambah sebal. Tiba di bandara sendirian, tidak ada teman berbagi taksi, tidak ada teman berbagi kamar.
Setelah mondar-mandir di bandara melihat potensi kanan dan kiri, saya ambil beberapa brosur di dekat pintu keluar bandara. Savannah adalah kota wisata yang terkenal karena termasuk kota Eropa paling tua di dataran Amerika. Orang-orang datang ke kota ini bersantai dan berjalan-jalan seperti di kota tua Eropa. Karenanya tidak mengherankan kalau banyak brosur wisata, dan termasuk peta, yang tersedia bagi pengunjung. Saya pastikan saya mendapatkan peta untuk sekadar mengetahui posisi saya di kota ini.
Setelah yakin semuanya siap, saya pun keluar untuk memesan taksi yang akan membawa saya ke hotel. Saya ingin duduk di depan tetapi bapak sopir taksi melarang saya karena peraturan setempat mengharuskan saya duduk di belakang. Okelah. Dari bandara Savannah/Hilton Head International Airport ke pusat kota Savannah hanya memakan waktu kurang dari 1 jam. Mungkin hanya 30 menit. Sebagian besar perjalanan melewati jalan tol, tapi ada sekian persen perjalanan yang melewati pinggiran kota yang terkesan suram, agak-agak mirip kawasan miskin di kota ini.
Sebentar kemudian kami melewati jembatan besar dan tiba di pusat kota Savannah. Kawasan pusat kota Savannah yang tua itu berbentuk grid sekitar 10 blok kali belasan blok saja. Di dalam grid itu, kota tampak tua dan teratur rapi. Eksotis ala kota-kota Eropa. Itulah kawasan yang disebut sebagai kawasan wisata. Di luar grid itu–satu blok saja di luar grid–suasana terasa jauh lebih sepi. Hotel saya malam itu berada di luar grid itu. Ternyata cukup signifikan beda kecantikannya dengan kawasan pusat Savannah. Lagi-lagi saya iri dengan Rash dan Hash yang ada di pusat kawasan wisata Savannah.
Tapi, karena saya sudah agak capek dan malas ke mana-mana, saya pun masuk ke kamar. Untuk makan pun saya malas keluar kamar. Akhirnya, saya sempatkan turun ke lobi untuk berbincang-bincang sebentar dengan pegawai hotel dan bertanya-tanya sedikit tentang makanan khas di daerah sini yang tidak biasa.
“Wah, banyak sekali makanan khas di sini” kata si mas.
“Kalau yang unik apa?” tanya saya.
“Hmm… apa ya?”
“Kok situ tanya saya?” tanya saya.
“Hmm… bukan begitu. Mungkin ‘pizza sepeda’,” serunya sumringah.
“Maksudnya?”
“Jadi sampean pesan pizza ke nomor tertentu, minta ini itu untuk pizzanya, dan kemudian petugas akan antar pizzanya naik sepeda.”
Oke. Lumayah lah. Sebagai orang yang sangat suka bersepeda, saya sangat tertarik dengan gagasan semacam itu. Itung-itung, membeli jasa dari sesama pesepeda.
Saya pun menelpon nomor pizzeria itu dan menyampaikan pesanan saya. Pizza 12 inchi, isi keju berbagai rasa (greek cheese, provologne, etc.), dan dengan cabe kering (gak terlalu pedas kayak cabe rawit tapi cukup favorit!). Tidak lama kemudian terdengar ketukan di kamar hotel saya. Ternyata seorang pemuda kurus jangkung berbandana berdiri memegang karton pizza.
“Mas Wawan?”
“Ya?”
“Ini pizzanya. Tolong dilihat dulu.”
“Oke,” kata saya sambil mengecek pizza.
“Sip?”
“Pol!” seru saya.
Dia minta saya tanda tangan. Baru saat itu saya sadar bahwa dia membawa sepedanya sampai di depan kamar saya yang ada di lantai 3 itu. Melihat itu, saya sangat berbahagia, entah kenapa. “Tuhan, kenapa kita bahagia?” kata puisi Goenawan Mohamad yang berjudul “Dingin tak tercatat.” Mungkin bagi saya keadaan ini yang membuat saya berseru kenapa saya bisa bahagia. Sedahsyat itukah kekuatan sepeda, lorong hotel, lantai 3, dan pizza?
Malam itu saya makan pizza dengan lahap. Beberapa ronde. Bagaimana mungkin saya bisa langsung menyantap pizza 12 inchi sendiri? Besok paginya saya lanjutkan separuh pizza itu untuk sarapan. Dan ketika tiba di tempat seminar saya ketemu Hash dan Rash, saya tidak sebal dan iri dengan mereka. Justru yang cukup menyenangkan buat saya adalah siang harinya, saya tidak perlu repot-repot mencari tempat sholat dhuhur dan ashar. Hash dan Rash mengajak saya ke kamar hotel mereka dan mempersilakan saya sholat di sana. Rash yang Hindu taat dari India itu bilang: “Kamu sholat di sini saja, sementara aku tak berdoa juga di sini.” Dan Hash yang Buddha dari Srilanka itu nyeletuk bahagia: “Kalian sama-sama menyembah Tuhan, terus aku nyembah siapa?” Tidak ada yang mempermasalahkan apa-apa. Kami semua sama-sama bahagia dengan cara kami masing-masing. Dan di situlah saya heran, betapa kadang-kadang hal-hal kecil bisa memberi kita kenikmatan yang tidak bisa dijelaskan.