Cerita-cerita perjalanan seminar harus saya sela di sini, betapapun itu adalah kegiatan yang sangat menyenangkan. Hari ini saya perlu sedikit bicara tentang sebuah kejadian dari wilayah Indonesia yang menurut saya cukup berhubungan dengan topik kita hari-hari ini: bedah buku Raudal Tanjung Banua yang diadakan di Kafe Pustaka tadi malam, Rabu 20 Februari 2019.

Acara bedah buku tersebut membahas buku terbaru Raudal Tanjung Banua yang berjudul Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai. Acara ini menghadirkan cerpenisnya, RTB.

Buku ini memiliki fokus yang terbilang unik, yaitu kota-kota kecil yang telah dikunjungi (baik baru saja maupun sudah lama) oleh si penulis. Dan istilah kota-kota kecil ini pun sebenarnya cukup cair, bisa merupakan kota kecamatan dan juga bisa berupa pusat keramaian setempat.

Kenapa harus kota-kota kecil dan bukan kota-kota besar? Mungkin Anda bertanya begitu. Menurut saya wajar-wajar saja kalau Anda bertanya begitu. Kota-kota kecil, menurut RTB, adalah tempat-tempat yang telah mengalami kejadian-kejadian tertentu yang menjadikannya sebuah kota tapi juga harus menghadapi hal-hal tertentu yang menyebabkannya tidak bisa menjadi kota besar. Kejadian-kejadian tertentu itulah yang menarik untuk dikupas menjadi cerita pendek. Unik, kan?

Biar tidak terlalu mbulet, mari kita ambil satu contoh saja. Salah satu contoh kota yang dibahas oleh RTB adalah sebuah kota yang memiliki pabrik gula. Pabrik gula, sebagaimana kawan-kawan tahu, adalah pabrik yang biasanya dibangun pada masa kolonial yang kotanya telah diatur sedemikian rupa dengan master plan Belanda. Jadi, pertama-tama, paling tidak ada aspek menarik yang bisa disoroti di sini, yaitu bahwa kota yang diangkat menjadi cerita itu punya aspek kolonial. Tapi, pasca kemerdekaan Indonesia, ketika tidak lagi dikelola Belanda, aspek-aspek kota yang telah terencana dalam master plan asli itu diabaikan. Yang terjadi kemudian adalah ketimpangan antara rencana tata kota asli dengan perkembangan yang tak terkendali karena tidak memperhatikan rencana tata kota tadi. Akhirnya, kota yang mestinya bagus itu menjadi rusak.

Demikian itulah kira-kira bentuk pembahasan cerpen-cerpen dalam kumpulan ini.

Kalau Anda baca sekilas uraian di atas, mungkin ada kesan bahwa buku ini tidak jauh berbeda dengan tulisan perjalanan. Memang ada kesan seperti itu. RTB sendiri mengakui bahwa dari cerpen yang dia tulis ini awalnya adalah “tabungan tulisan” tentang kota-kota kecil yang dia kunjungi dalam kurun waktu belasan tahun. Tetapi, tetap saja ini cerpen. Masih ada elemen-elemen lazim cerita prosa, yaitu penokohan, alur, latar, dan gaya bahasa, yang membentuk cerita-cerita ini. Bedanya, seperti diakui oleh RTB, porsi untuk latar cerita dia buat lebih dari lazimnya. Kalau cerita pendek pada umumnya lebih menyoroti penokohan dan alur, RTB di sini ingin menyodorkan sesuatu yang lain, yaitu latar cerita itu.

Kalau ditanya apakah cerpen-cerpen ini berbeda dengan tulisan perjalanan atau feature tentang sebuah kota kecil, jawaban RTB tegas: ya. Catatan perjalanan adalah tulisan yang sifatnya faktual dan informatif. Yang disampaikan harus dilandasi semangat kejujuran dan tidak mengaburkan fakta. Cerpen, bagi RTB, adalah karya tulis yang tidak terbebani oleh rambu-rambu harus informatif dan faktual. Cerpen tetap fiksi.

Sehingga, pada praktiknya, ketika mengolah bahan dari kisah perjalanan untuk dijadikan cerpen, si penulis bisa mempermainkan data-data faktual dan membelokkannya di sana-sini untuk menjadi sebuah cerita yang utuh dan logika ceritanya kuat.

Sementara begitu dulu catatan yang bisa disimpan di sini. Dalam kesempatan yang lain, mungkin saya akan cerita lebih jauh lagi tentang acara bedah buku tersebut dengan memasukkan pandangan mas Yusri Fajar, penulis Malang yang membahas buku ini tadi malam, dan pak Djoko Saryono, profesor dari Universitas Negeri Malang yang memberikan ulasan pemungkas diskusi tadi malam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *