Ternyata Restoran Waralaba Powerful Juga

Saya tahu banyak dari kita akan merasa bahwa restoran waralaba adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dalam konteks Amerika Serikat. Di satu sisi makanan di restoran-restoran semacam itu terasa begitu tidak sehatnya. Ada seorang penulis dari buku yang saya pakai untuk mengajar Composition di University of Arkansas yang menyoroti ironi betapa mudahnya kita mendapatkan makanan tak sehat dari restoran waralaba sementara betapa sulitnya mencari buah-buah segar di tempat yang sama.

Tapi, tapi, tapi, oh tapi, ada satu hal yang saya dapatkan setelah bepergian ke berbagai tempat di Amerika Serikat dan mampir ke tempat-tempat makan tertentu. Restoran waralaba ternyata menawarkan perasaan akrab serta (karenanya) dan aman. Saya membuktikan ini dari bepergian bersama Asaad.

Ketika pada tahun 2010 itu kami road trip ke New Orleans untuk mengikuti konferensi American Comparative Literature Association bersama Banan dan Manal, kami mampir di Subway. Selama di New Orleans, kami makan di sebuah tempat makan Gumbo, dan dalam perjalanan pulang kami mampir di sebuah restoran Lebanon. Kami dapatkan dua tempat itu dari tanya kanan kiri. Tempat makan Gumbo itu kami dapatkan dari beberapa peserta konferensi yang kebetulan sudah menelusuri segala penjuru French Quarters.

Untuk restoran Lebanon itu, kami mendapatkannya dari informasi kanan kiri. Ketiga kawan saya itu orang Timur Tengah (Asaad dari Suriah dan Banan dan Manal adalah perempuan-perempuan Yordania). Entah bagaimana ceritanya, mereka dapat informasi bahwa ada restoran Timur Tengah yang cukup terkenal di New Orleans yang pemiliknya adalah orang Lebanon. Sebenarnya Anda tidak perlu heran soal orang Arab di New Orleans. Ada banyak. Salah satunya sempat menjadi cukup terkenal adalah Zeitoun, seorang Suriah-Amerika cukup sukses yang membantu menyelematkan orang-orang miskin ketika New Orleans terkena banjir karena badai Katrina pada tahun 2006. Kisah Zeitoun ini ditulis dalam buku berjudul sama, Zeitoun, karya jurnalis terkenal Amerika Dave Eggers.

Kembali ke soal restoran Lebanon itu, kami ke sana karena ketiga kawan saya itu tahu ada restoran Lebanon yang bisa diandalkan rasanya. Sebagai sesama orang Levant, kawan-kawan saya itu yakin citarasa makanan Lebanon tidak terlalu jauh berbeda dari selera keseharian mereka. Dan betul saja. Memang rasanya demikian.

Berbeda persoalannya ketika kami di jalan, ketika tidak ada yang dijadikan pegangan. Di situlah kami menganalkan kepada apa-apa yang telah terlanjur kami akrabi baik secara tanpa sadar maupun karena kebiasaan. Seperti saya ceritakan, ketika berangkat kami menyempatkan berhenti di sebuah Subway, yang isinya sudah sangat kami akrabi. Tidak ada masalah dengan Subway, karena bahkan di kampus pun kami punya restoran waralaba ini.

Hal yang sama berulang ketika kami pulang. Beberapa jam setelah meninggalkan restoran Lebanon, ketika kami hendak meninggalkan negara bagian Louisiana, kami menyempatkan makan siang karena memang sudah terlanjur lapar. Di sini Banan dan Manal memilih untuk berhenti di sebuah restoran IHOP, yang kepanjangannya adalah “International House of Pancake” (mohon maaf bagi yang sudah akrab). Restoran waralaba ini tersebar di seluruh Amerika, dengan menu yang mungkin sama semua. Ketika itu saya belum akrab IHOP (tapi kawan-kawan saya sudah akrab). Ketika memutuskan kami perlu mampir ke IHOP itu, mereka semua yakin bahwa pilihan ini tidak akan meleset.

Hal yang sama terulang lagi pada saat-saat yang lain. Ketika berjalan-jalan dengan keluarga di Kansas, saya mampir untuk makan di sebuah Subway dan pada saat pulang mampir Pizza Hut. Hal yang sama juga terjadi ketika saya dan keluarga bepergian ke Oklahoma: kami mampir di sebuah KFC untuk membeli ayam satu ember dengan kacang buncis atau chili kacang merah. Kami memilih restoran-restoran waralaba yang di Amerika itu berasosiasi murah dan kurang keren karena memang itulah yang saya akrabi.

Mungkin di situlah keuntungan restoran waralaba. Mereka punya banyak tempat di seluruh Amerika yang sangat mudah kita temui. Ketika kita sudah terlalu lapar dan terlalu malas untuk memutuskan dan bereksplorasi, sangat mudah sekali kita menemukan restoran-restoran itu bahkan dari jalan raya Interstate. Restoran-restoran waralaba ini punya tiang yang sangat tinggi untuk memasang papan namanya. Saking tingginya papan nama atau logonya terpasang, kita bisa melihatnya dari jalan dan tiba-tiba saja merasa kita perlu berhenti sejenak. Di Indonesia, mungkin warung Kayungyun atau Soto Lamongan memiliki kemampuan ini tanpa harus menjadi waralaba.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *