Catatan tentang Jalan Tol Trans Jawa (1)

Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menggunakan jalan tol untuk perjalanan yang cukup panjang. Saya dan keluarga pergi ke Yogyakarta. Kami memilih jalan tol karena ingin segera sampai dan lebih nyaman. Di situlah saya mendapati ada beberapa hal tentang jalan tol yang bisa dicatat.

Sekadar pengingat, sebagai sopir saya dibesarkan di jalan tol. Lebih tepatnya di “interstate,” jalan bebas hambatan AS yang dibuat untuk memudahkan mobilitas antar negara bagian. Saya belajar nyetir waktu tinggal di Arkansas dan nyetir di interstate adalah bagian dari belajar. Plus, setelah itu, setiap pergi ke kota lain (baik dekat maupun jauh) saya lebih sering menggunakan interstate.

Nyetir di jalan tol di Indonesia adalah pengalaman yang paling dekat dengan nyetir di jalan besar interstate. Perbedaan utamanya ada di bagian bayarnya. Sebagian besar interstate gratis. Hanya ada beberapa bagian yang disebut “turnpike,” yang kita perlu bayar saat menggunakan. Tanpa bayar berarti tanpa pintu gerbang. Perbedaan lainnya adalah bahwa di interstate, tidak ada batasan untuk jenis kendaraan yang bisa dipakai.

Perbedaan kedua yang mencolok adalah di interstate sesekali kita bisa menemukan motor (biasanya moge). Asalkan bisa mengikuti persyaratan kecepatan minimal dan maksimal, kendaraan apa pun bisa masuk ke interstate.

Selain itu, interstate kurang lebih sama dengan jalan tol. Sepertinya, keduanya mengikuti model yang lebih dahulu dibuat dan berhasil dijalankan dengan baik, yaitu “autobahn,” atau jalan bebas hambatan di Jerman yang pertama kali selesai pada tahun 1932. Interstate baru direncanakan pada masa presiden AS Dwight Eisenhower, pada tahun 1956, pasca PD II.

Intinya, banyak sekali yang mirip antara interstate dan jalan tol.

Namun, terlepas dari berbagai kemiripan tadi, ada sejumlah praktik berkendaraan yang berbeda antara pengguna interstate dan jalan tol. Itulah yang akan kita coba telusuri.

Lajur Mendahului

Setiap jalan bebas hambatan memiliki dua lajur standar: lajur biasa dan lajur mendahului. Posisiny tentu tergantung aturan mengemui. Karena di Indonesia kita mengemui di jalur kiri, maka lajur biasa adalah lajur kiri dan lajur mendahului ada di sebelah kanan.

Berdasarkan pengamatan dari perjalanan Malang-Surabaya dan Malang-Yogyakarta, saya menemukan bahwa sepertinya banyak orang yang tidak mempedulikan perihal lajur mendahului ini. Atau, jangan-jangan malah mereka tidak tahu bahwa mematuhi lajur mendahului adalah bagian dari adab jalan tol?

Menurut adabnya, kita hanya perlu menggunakan lajur biasa (lajur kiri) selama perjalanan, kecuali kalau kita ingin mendahului. Saat mendahului, kita pakai lajur kanan, dan kemudian setelah kita ke kiri lagi.

Pada kenyataannya, Saudara, banyaaaaak sekali yang terus berada di lajur kanan. Ada yang terus-terusan ingin mendahului–dan ini didukung dengan kekuatan mobilnya yang terus bisa mendahului. Ada juga yang tetap di kanan meskipun jalannya ya kecepatan biasa saja. Untuk yang kedua ini, akhirnya yang mau mendahului harus lewat lajur kiri, padahal kan semestinya tidak boleh mendahului dari kiri.

Jadi, kayaknya ini perbedaan pertama dalam penggunaan jalan tol di Indonesia. Mungkin hal ini wajar karena jalan tol (selain di Jakarta dan sejumlah tempat), adalah barang baru. Tentu butuh waktu untuk menjadikan ini sebagai budaya.

Sebagai gambaran, pengguna interstate sepengamatan saya cenderung patuh adab ini. Sejak belajar nyetir, saya diberi tahu guru yang adalah kawan bahwa setelah mendahului kita wajib balik ke jalur biasa. Seperti halnya di jalan tol, petunjuk-petunjuk berwarna biru tentang penggunaan lajur juga ada. Dan itu yang dipatuhi pengguna interstate. Kalau sampai ada yang ngotot terus jalan di jalur mendahului, bisa dipastikan tidak lama kemudian akan didahului sopir lain dan diberi jari tengah. Saya kebetulan pernah melihat jari tengah itu tiga kali di kesempatan berbeda dengan skenario berbeda-beda. It hurts, bae!

Biar lebih ceria, mari kita lihat gambarnya berikut:

Lajur Biasa
Saat mendahului
Setelah mendahului di jalan tol

Jadi kurang lebih beginilah adabnya saat kita berkendara di jalan tol. Kalau yang seperti ini dijadikan adab dan selalu dijalankan, mestinya jalan tol ini bisa menjadi tempat yang nyaman buat semua orang, tidak hanya yang mobilnya powerful, tapi juga yang biasa-biasa saja.

Jadi begitulah sodara-sodara untku cicilan pertama ini. Untuk selanjutnya kita akan bicarakan poin kedua, yaitu tentang “geretan pembangun” atau rumble strip. Apalagi itu? Tunggu selanjutnya.

Oh ya, kalau tertarik, saya punya banyak kisah tentang jalan raya interstate. Berikut salah satunya.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *