John Wick adalah Gaya

Beberapa minggu ini saya pingin sekali menulis tentang hadirnya silat di seri film John Wick. Tapi, sebelum ngomong soal silat dalam John Wick, kita perlu ngomong apa itu sejatinya John Wick. Banyak cara yang bisa dipakai untuk mendefinisikan John Wick dan banyak sebutan yang bisa dipakai untuk menjuluki seri film ini, tapi bagi saya sederhana: John Wick adalah gaya. Lihat saja:

Sejak di seri pertama, John Wick adalah film yang merupakan koleksi gaya. Mobil si karakter adalah mobil berotot nomor wahid di Amrik: Mustang. Dan karakter menggunakan mobil itu untuk atraksi menguras adrenalin di bandara pada pagi hari sebagai terapi, pelepasan emosi si tokoh utama yang habis ditinggal istrinya. Dan jangan lupa juga tempat tinggal si John Wick: sebuah rumah seksi bergaya modern minimalis dengan banyak ruang kosong seperti rumah-rumah nyeni Jepang. Dan ketika terjadi konflik, ternyata konflik itu melibatkan orang-orang dari dunia gelap karena sebab yang jelas: orang-orang jahat itu mencuri mobilnya dan membunuh anjingnya, dua hal yang dianggap sepele oleh orang-orang dunia gelap. Akhirnya, dengan ogah-ogahan, si John Wick marah dan siap menyelesaikan masalah dengan menggali lagi masa lalunya (secara harfiah memang “menggali” karena masa lalunya sudah dia pendam di bawah ubin rumah). Bagaimana dengan masa lalu itu? Masa lalu itu terdiri dari pistol dan emas dan komunitas bawah tanah yang memiliki kode ketat. Nah kurang gaya apa?

Di seri kedua, gaya tersebut semakin hiperbolik ketika ternyata masa lalu yang sudah John Wick tinggalkan itu ternyata adalah sebuah dunia tersendiri. Di dunia gelap, ada banyak kode etik dan tata kelolanya–birokrasinya–yang baku dan sudah diketahui semua anggota dunia hitam seperti sebuah agama. Ada mekanisme utang budi dengan cap darah. Ada skenario perebutan kekuasaan sesama saudara dengan menyewa jasa tukang jagal profesional. Ada skenario mempertahankan harga diri dengan cara pura-pura tapi serius. Dan, yang kurang dieksplorasi pada film pertama, ada semakin banyak adegan laga dengan kontak fisik dekat dan permainan kunci-kuncian. Ya, kunci-kuncian seperti pada gulat. Kurang gaya apa coba: John Wick ternyata menguasai teknik-teknik gulat dengan baik. Oh, sebelum saya lupa, lihatlah bagaimana dalam seri kedua ini ternyata si John Wick tidak hanya menguasai ketrampilan fisik dalam urusan bunuh-bunuhan, tapi juga ketrampilan lunak (soft skill, boossssss!). Salah satu soft skill yang banyak ditunjukkan di sini adalah bahasa: ternyata John Wick tidak cuma mahir bahasa Rusia, tapi juga bahasa Italia dan Spanyol. Nah, gimana itu?

Kalau hal-hal di atas tadi masih dirasa kurang untuk menunjukkan bahwa John Wick adalah film tentang gaya, lihatlah keindahan-keindahan artistik konvensional yang ada di sana. Lihatlah bagaimana si Santino, yang menagih balas budi John Wick itu, ternyata adalah penggemar karya seni rupa dan memilih bertemu dengan John Wick di galeri. Di Italia, ketika John Wick akan menjalankan tugas pesanannya, dia perlu secara khusus pesan busana lengkap. Tidak tanggung-tanggung, busana yang dipakai untuk urusan bunuh-bunuhan itu dia pesan dua sekaligus, untuk siang dan malam.

Semoga uraian di atas mencukupi untuk menunjukkan bahwa seri film John Wick adalah gaya, selain tentu saja tembak-tembakan dan banting-bantingan. Yang lebih menonjol dalam seri film John Wick adalah siapa yang dihajar dan urusan apa yang diselesaikan, tapi BAGAIMANA orang itu dihajar dan BAGAIMANA urusan tersebut diselesaikan.

Saya harap, ini pra-postingan yang cukup bisa menjadi pintu masuk ke pembahasan tentang John Wick III: Parabellum yang lebih panjang lagi…

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

[…] Seri John Wick sangat bisa dimasukkan ke dalam film-film yang dianggap menormalisasi kekerasan bersenjata api. Film ini royal tembak-tembakan dan bunuh-bunuhan. Tanya saja mereka yang sudah nonton film pertama dan keduanya. Tapi, kalau kita memandang dari sudut pandang yang lain, yang mempertimbangkan tema dan plot, ada hal-hal lain juga yang sangat bisa diapresiasi dari seri John Wick itu (baru-baru ini saya menyoroti aspek estetikanya di blog pribadi ini). […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *