Sejak mulai nulis kolom dua mingguan di terakota.id dan tersedot tugas-tugas di tempat kerja (terutama membimbing skripsi), saya jadi jarang nulis di blog ini lagi. Padahal blog ini seperti taman yang harus saya bersihkan secara berkala dan harus saya sirami rutin agar tidak kekeringan dan pohon-pohonnya mati. Hari ini, saya akan siram lagi taman ini, dan kali ini yang akan saya bicarakan adalah rekapan dari hal-hal yang terlewat selama beberapa bulan ini. Untuk sesi ini, saya akan mengawali dengan kejadian besar yang paling dekat: Festival Budaya Panji.
Festival ini merupakan gawe yang digagas dan dibiayai Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan pemerintah provinsi Jawa Timur. Festval ini merupakan rangkaian acara selama beberapa hari yang terdiri dari pameran, seminar, dan pertunjukan. Kira-kira secara umum ada tiga hal itu. Diadakannya mulai tanggal 10 sampai 12 Juli 2019. Untuk lebih detailnya, situs Budaya Panji punya informasi yang lebih lengkap. Acara yang cukup panjang dan beragam ini bertempat di beberapa kota/kabupaten di Jawa Timur: Malang, Kediri, Tulungagung, dan Blitar.
Kebetulan, ada Mas Syarif, orang puenting di festival ini, yang kenal buaik puol sama saya, Mas Adit, dan Mas Didit (rekan-rekan dosen di Universitas Ma Chung). Kami bertiga ditawari untuk menjadi tuan rumah untuk salah satu acara seminarnya. Maka terjadinya seminar yang bertajuk Diskusi Transformasi Budaya Panji itu pada tanggal 11 Juli 2019 di kampus UMC, tentu berkat kebaikan pihak kampus yang tanpa bertele-tele langsung setuju dan memasukkan ke rangkaian Dies Natalis ke-12 Universitas Ma Chung. Bintang tamu yang dihadirkan adalah orang-orang yang sudah cukup lama menggeluti cerita panji dan seluk-beluknya: Joko Susanto (dosen HI Universitas Airlangga), Adrian Perkasa (dosen Sejarah Universitas Airlangga yang juga salah satu pemeran pendukung dalam film Ketika Cinta Bertasbih) dan …. Pak Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998).
Diskusi ini terbilang cukup menarik karena cakupannya, mulai dari yang level pengantar sampai ke level rekomendasi tindakan. Kalau boleh kemoncolen, diskusi yang woles-woles saja ini menjangkau wilayah ontologi, epistemologi, hingga ke etika. Hahaha. Adrian Perkasa menunjukkan artefak-artefak sejarah yang memberi kita bukti bahwa cerita Panji sudah ada sejak lama, dan hal-hal tersebut juga yang menjadi bahan-bahan penyusunan pengetahuan tentang Panji oleh para peneliti sejarah, antropologi, maupun sastra. Pak Wardiman, tampil kedua, menjelaskan apa itu Panji dan hal-hal yang menjadikan Panji berharga. Plus beliau juga cerita proses pengajuan koleksi naskah cerita Panji sebagai warisan dunia di bawah UNESCO. Joko Susanto, memungkikasi rentetan ceramah, berbicara dengan interaktif tentang relevansi Panji dengan soft power (diplomasi lunak) dan hal-hal apa yang bisa dilakukan dengan Panji untuk melanjutkan legacy-nya. Acara ini memantik rasa penassaran sekaligus pertanyaan-pertanyaan praktis dan teoritis yang perlu dilanjutkan.
Sementara itu, pada keesokan harinya, pada tanggal 12 Juli 2019, diadakan penutupan rangkaian Festival Budaya Panji di Taman Krida Budaya. Tempat ini merupakan venue langganan untuk Festival Panji tahunan. Tahun lalu, juga diadakan acara yang sama dengan mengundang penampil-penampil Panji dari berbagai penjuru Asia Tenggara seperti Kamboja, Thailand, dll. Kali ini, para penampil semuanya lokal, mulai dari Malang, Pacitan, Mojokerto, Bali, dll. Nah, selain pertunjukan itu, ada juga pameran karya-karya seni (baik seni modern maupun tradisi) yang bertemakan Panji. Bisa ditemui di sana Wayang Beber yang setia dengan pakem, wayang beber yang diperbarui, animasi, komik, maupun Topeng Malangan yang tradisional.
Sementara laporan saya hentikan di sini dulu. Nanti kalau ada kesempatan lagi (harus ada!), saya akan tuliskan gagasan-gagasan yang lebih teoretis yang berpotensi dieksplorasi lebih jauh terkait Festival Budaya Panji ini. Saya tutup dengan info saja postingan ini: potret di atas itu adalah karya seni keramik oleh Pak Ponimin, dosen Seni Rupa Universitas Negeri Malang yang dipamerkan di Taman Krida Budaya. Patung itu menggambarkan satu adegan perang penting dalam cerita Panji. Yang menarik buat saya tentu saja kemiripannya dengan adegan pertempuran steampunk apokaliptik dalam seri film-film Mad Max. Kita tidak tahu bagaimana menyentuh hati orang, tapi bisa jadi kisah Panji ini menyenentuh saya lewat Mad Max. Dan di bawah ini adalah lukisan wayang beber versi baru yang entah bagaimana ceritanya sangat mirip dengan rubah ekor sembilan, kyuubi, yang terpenjara di dalam tubuh Naruto Uzumaki.