Lapis Nilai Pertama Studio Ghibli: Immersive Realism (2)

Di postingan sebelumnya, saya sampaikan bahwa sejak suka film animasi komputer 3D dari Pixar, Dreamworks, dan lain-lain, saya seperti enggan kembali ke dunia animasi 2D. Apalagi, sejak mulai memahami logika cerita ala Pixar yang imajinatif tapi tidak magis dan memiliki semesta sendiri yang tidak biasa itu, saya merasa seperti tidak ada lagi kebutuhan untuk memasuki semesta cerita yang lain, apalagi yang bentuknya 2D–saya cenderung menganggap 3D lebih baik dari 2D. Tapi Ghibli membuat saya menyadari kekhilafan saya. Masih ada banyak yang bisa ditawarkan film animasi 2D. Ghibli menunjukkan itu melalui penggarapan drama dan lain-lain. Tapi, untuk menuju ke sana, Studio Ghibli menunjukkan bahwa 2D bukanlah halangan untuk memberikan kekayaan gambar yang membuat penonton lebih mudah merasuk ke dalam ceritanya.

Tapi memang, sebelum lebih jauh, Studio Ghibli sepertinya memandang animasi 2D adalah cara menyajikan gambar yang tidak ada bedanya dengan menyajikan gambar secara hitam putih, secara sepia, dengan mid tone hijau, atau lainnya. Ghibli menambahkan di sana menyajikan gambar secara kartun. Yang lebih utama dari Studio Ghibli (untuk tidak mengatakan Hayao Miyazaki saja) adalah bahwa selain gambar, kekuatan akting, dialog, adegan, drama, plot, dan emosi tetap ditonjolkan.

Jadi, saat menonton film-film Studio Ghibli, fakta bahwa yang Anda lihat adalah gambar 2D tidak semestinya menghentikan Anda. Menghentikan apresiasi atas film-film studio Ghibli hanya pada gambar 2D-nya (seperti saya dulu) sama saja dengan menghentikan apresiasi Anda atas film-film Quentin Tarantino hanya pada tone warnanya saja. Gambar yang Anda lihat di layar itu hanya satu saja lapis nilai dari film-film Tarantino. Begitu juga dengan film-film Studio Ghibli.

Tentu saja, bagian gambar ini pun sudah jadi sesuatu yang layak mendapat apresiasi tersendiri dari Ghibli. Bayangkan, gambar-gambar yang mereka buat cenderung sangat kaya dengan detail dan setiap manusia yang ada dalam frame besar di film-film Ghibli seolah memiliki jiwa sendiri-sendiri. Di esai video YouTube ini Anda akan temukan istilah “immersive realism” sebagai estetika Studio Ghibli. Istilah ini berarti realisme yang menceburkan penonton ke dalamnya. Wujudnya bisa berupa detail setiap benda, tanaman, serangga, hewan ternak, dan manusia yang dalam layar di film Ghibli yang tidak pernah hanya menjadi hiasan. Semuanya punya perannya sendiri-sendiri.

Ayo kita cek lagi: Saat melihat sebuah film gambar hidup (non-kartun), mungkin kita tidak terlalu heran saat ada gambar dengan banyak orang yang masing-masing melakukan sesuatu atau setiap binatang mengerjakan sesuatu. Tapi, saat kita melihat film kartun dan menemukan yang seperti itu (setiap kubangan memantulkan gambar orang yang lewat di atasnya, setiap hewan sibuk makan rumput, setiap orang di pasar seperti bingung dengan urusannya sendiri) kita pasti takjub dan terkagum-kagum. Studio Ghibli tentunya menganggap ini sesuatu yang wajib dalam film-film mereka. Hal ini sepertinya wajib ada dalam film yang mereka buat. Lihatlah adegan pembuka di film From up on Poppy Hill atau seluruh film Kiki’s Delivery Service.

Tapi, alih-alih menjadikan ini sebagai daya tarik utama film-filmnya, Studio Ghibli sepertinya menjadikan ini sebagai lapisan pertama saja dari film-filmnya. Masing ada lapisan lain yang juga tak kalah pentingnya buat mereka. Lapisan lain itu adalah cerita-cerita mereka. Lapisan ini membuat film mereka tidak ada bedanya secara kualitas dengan film-film gambar hidup lainnya yang bukan kartun. Bedanya mungkin untuk menciptakan gambar yang setiap elemennya berarti, sebuah film gambar hidup butuh banyak properti, kru, dan aktor (baik utama maupun figuran); sementara dalam film-film Studio Ghibli, yang dibutuhkan adalah satu tim animator yang bekerja keras dalam jangka waktu yang cukup lama. Mereka bekerja keras untuk menciptakan immersive realism melalui detail gambar dan gerakan. Tapi, ingat, itu baru lapis pertama saja. KIta akan masuk ke lapisan selanjutnya.

Kalau tertarik menonton esai video yang saya singgung tadi, silakan ke sini:

https://youtu.be/v6Q6y4-qKac

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *