Lapis Kedua Studio Ghibli: Tidak Takut Kompleks (3)

Kita akan berbicara lagi tentang film-film Studi Ghibli. Setelah bagian yang paling mudah diamati–yaitu detail gambar yang menjadikannya bisa sebanding dengan film gambar hidup non-kartun–mari kita memasuki nilai kedua dari film-film Studio Ghibli, yaitu elemen drama yang menguras emosi.

Yang saya maksud “drama” di sini adalah drama dalam pemahaman Aristotelian, Jadi, untuk meraba awal film-film Studio Ghibli ini, yang dimaksud drama di sini adalah sebuah bentuk seni penampilan yang terdiri dari plot, karakter, pikiran, diksi, penampilan, dan lagu. Keenam elemen ini adalah hal yang pasti ada dan digarap dengan serius. Plot film-film Ghibli adalah plot yang terbentuk secara tegas dengan naik turun secara bergantian.

Tapi, perlu kita sadari bahwa bukit dan lembah ini tentunya bukan hal yang hanya dimiliki Studio Ghibli. Kalau kita terbiasa melihat film populer (misalnya film Hollywood), kita pasti sudah terbiasa dengan plot yang naik turun dan menguras emosi seperti ini. Semua film cerita good-feel dari Hollywood memaksimalkan bukit dan lembah dalam plot ini. Tidak sedikit orang yang menangis ketika cerita berada di lembah plot dan seolah tidak ada harapan lagi tapi tiba-tiba sang karakter menemukan satu celah dan akhirnya berhasil. Di situlah kita biasa menangis.

Yang membuat sejumlah film Studio Ghibli berbeda dari film-film Hollywood adalah plotnya berjalin kuat dengan penokohan dan pembuat cerita tidak takut mengeksplorasi kompleksitas tokoh. Tidak jarang juga kompleksitas tokoh ini bisa menyerupai kompleksitas manusia di kehidupan nyata, yang seringkali tidak bisa dipastikan apakah posisinya di bagian hitam atau bagian putih. Saat kompleksitas karakter ini dipadukan dengan bukit dan lembah plot, yang kita dapatkan adalah cerita yang kompleks tapi tetap bisa membawa kita ke sana.

Mari kita ambil contoh biar jelas. Satu film Studio Ghibli yang baru saja saya tonton adalah film Princess Mononoke. Film ini berkisah tentang Ashitaka, seorang pangeran, yang terkena kutukan dan menempuh perjalanan guna membebaskan diri dari kutukan itu. Tapi, mendekati ujung perjalanan dia bertemu dengan kelompok pengrajin besi yang berusaha menaklukkan hutan demi melancarkan ambisi mereka. Ashitaka bersimpati dengan kelompok ini, tapi salah satu kunci menuju jawaban untuk kutukannya adalah memasuki hutan yang ternyata dijaga oleh Putri Mononoke, seorang perempuan yang dirawat srigala dan menjadi pelindung hutan. Pada sebagian besar cerita, penonton akan dibawa ke dalam naik turun cerita dan ulang alik kedekatan Ashitaka dengan a) gerombolan pengrajin besi yang dimanfaatkan sekelompok prajurit oportunis dan b) Putri Mononoke dan para binatang hutan yang ingin melindungi wilayahnya.

Kompleksitas alur dan penokohan dalam Princess Mononoke ini begitu kuat tapi tetap memikat. Itulah yang menjadikan kisah ini begitu membius. Kompleksitasnya dan sifatnya yang non-simplistik itu membuat kita benar-benar bisa melupakan fakta bahwa yang kita tonton ini tak lebih dari gambar yang bergerak ditambah suara aktor pengisi suara.

Saya setuju dengan postingan di majalah Philosophy Now ini bahwa, meskipun ada banyak kemiripan tema antara film Princess Mononoke ini dan film Avatar arahan James Cameron, ada beberapa perbedaan kuat yang tampak nyata. Salah satu dari perbedaan kuat tersebut adalah plot dan penokohan Princess Mononoke yang non-simplistik dualistis. Di Avatar kita bisa melihat dengan jelas yang mana kelompok baik dan yang mana kelompok jahat dan di mana posisi si tokoh utama kita; namun, di Princess Mononoke kita tidak benar-benar bisa menunjukkan di mana kedudukan masing-masing kelompok dalam cerita ini. Menonton Princess Mononoke (film tahun 1997) setelah menonton Avatar (2010) membuat saya menyadari bahwa film Avatar itu memang dibuat untuk tontonan sederhana di mana kita menonton untuk mendapatkan hidangan, sementara Princess Mononoke adalah tontonan yang mengajak kita penonton untuk terlibat menyiapkan hidangan itu.

Jadi, untuk menutup ini, perlu ditegaskan bahwa setelah melewati lapis pemaknaan pertama yang berkutat pada gambar yang tampak, ada satu bagian yang lebih dalam yang membuat film-film Studio Ghibli ini khas, yaitu pengolahannya yang serius atas elemen drama, yang sementara baru kita bahas bagian plot dan penokohannya saja.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *