Lapis Ketiga Studio Ghibli: Menerabas Batas Timur-Barat dengan Format Anime (4)

Sydney Sheldon pernah mengatakan bahwa membuat novel jauh lebih ringan daripada membuat film, karena novel nyaris tidak memberikan batasan. Tentu Sydney Sheldon punya otoritas mengatakan ini. Dia punya karir cukup panjang di Hollywood sebelum mulai menulis novel-novelnya yang sangat laku itu. Sekarang, setelah mengenal Studio Ghibli, saya menemukan satu fenomena yang tak kalah uniknya: anime membebaskan para pembuat film dari banyak hal yang berpotensi menjeratnya, dan Studio Ghibli sepertinya telah memaksimalkan potensi anime untuk menerabas batas, misalnya batas Timur-Barat.

Yang perlu dipertegas pertama-tama adalah bahwa Studio Ghibli adalah sebuah studio animasi yang berbasis di Jepang, tetapi karya-karyanya banyak yang memiliki latar Eropa dan terinspirasi kisah-kisah Eropa dan akhirnya dipasarkan di Amerika setelah didubbing dengan suara aktor-aktor Hollywood. Itu fakta yang harus dipertegas saat kita berbicara tentang Studio Ghibli dan pemaksimalan potensi anime untuk menerabas batas Timur-Barat. Kalau ini sudah disepakati, mari kita move on ke bagian-bagian yang lebih detail lagi.

Ponyo dengan dubbing yang melibatkan Matt Damon dan Cate Blanchet

Banyak film Ghibli yang berlatar Eropa dengan semua tokoh orang Eropa. Lihatlah Kiki’s Delivery Service, yang mengisahkan tentang seorang penyihir remaja dari sebuah desa Eropa yang sedang magang satu tahun di sebuah kota Eropa lainnya. Kisah ini tidak ada Jepang-jepangnya. Yang menjadikannya Jepang cuman bahasanya. Tapi, begitu bahasanya didubbing, pasti tidak ada lagi yang namanya unsur Jepangnya. Andai saja Studio Ghibli ini adalah studio film seperti studio-studio di Hollywood, kita bisa bayangkan berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk 1) menghadirkan orang Eropa sebanyak itu sebagai figuran di pasar-pasar, 2) membuat latar yang persis Eropa dengan kota-kotanya, lautnya, dan roti-rotinya, 3) dan lain sebagainya.

Tapi kawan, Studio Ghibli dalah studio animasi. Yang mereka butuhkan untuk menghadirkan Eropa 1990an tidak ada bedanya dengan yang mereka butuhkan untuk membuat Tokyo di tahun 2020. Mungkin hanya riset dan gaya yang lain dalam menggambar. Dan mereka tahu betul itu. Dan mereka memaksimalkan itu.

Mari kita masuk sedikit lebih dalam lagi, yaitu ke inspirasi cerita-ceritanya. Banyak cerita Studio Ghibli yang inspirasinya dari Eropa. Itu sudah pasti. Film Studio Ghibli yang pertama saya kenal adalah Howl’s Moving Castle, yang judulnya sama persis dengan buku yang menginspirasinya, karya Diana Wynne Jones. Hingga saat ini, saya belum sempat baca Howl’s Moving Castle dalam bentuk novel, tapi ada satu info ini yang mengatakan bahwa anime Studio Ghibli ini adalah adaptasi longgar dari novel tersebut. Kita tidak akan membicarakan selonggar apa adaptasinya di sini. Yang bisa saya katakan adalah bahwa dengan format anime, Studio Ghibli telah menunjukkan bahwa mengadaptasi novel dari tempat yang jauh dan berkisah tentang negeri dongeng yang ganjil bisa dilakukan dengan sangat apik.

Atau, kalau kita mau lebih dalam lagi, mari kita lihat bagaimana Studio Ghibli mengakuisisi elemen-elemen novel dari Eropa dan memasukkannya ke dalam cerita berlatar Jepang. Di sini saya berbicara tentang My Neighbor Totoro. Film ini berkisah tentang sebuah keluarga (dengan dua anak gadis kecil) yang pindah ke rumah baru di desa pinggir hutan dalam keadaan yang kurang lengkap (si ibu sedang di rumah sakit menjalani perawatan). Suatu hari, anak-anak yang mendapat kabar dari rumah sakit bahwa ibu mereka sakit (sudah di rumah sakit, sakit lagi!). Mereka gusar. Untungnya, anak-anak yang baik ini sudah berkawan dengan makhluk halus yang mereka sebut Totoro, yang selanjutnya memberikan solusi konflik yang khas Studio Ghibli (imajinasi tanpa batas). Sekilas backbone cerita ini unik dan khas, kan? Tapi, kalau kita lihat detailnya, di situ kita akan menemukan banyak elemen Eropa? Apa itu? Mari kita pindah ke paragraf baru.

Banyak elemen dalam My Neighbor Totoro yang uniknya terasa akrab buat pembaca Sastra Inggris. Ada makhluk mirip kelinci berdasi, terus ada jatuh ke lobang dalam tanah, terus ada kucing yang meringis, terus ada anak gadis yang tak kenal takut. Oh yeah! Anda betul: Alice in Wonderland. Banyak sekali elemen dari Alice in Wonderland di film Studio Ghibli ini. Dan semuanya tampak wajar, meskipun tidak gagal mengingatkan kita ke Alice in Wonderland. Elemen dari Eropa itu berhasil dijepangkan, di sesuaikan dengan backbone cerita dan latar cerita secara keseluruhan. Bahkan, ada yang menafsirkan bahwa kata “totoro” itu sendiri sebenarnya adalah kata “troll” yagn diucapkan salah dalam bahasa Jepang (mestinya “tororo” tapi karena yang mengucapkannya adalah anak kecil yang belum bisa membaca, akhirnya yang terucap adalah “totoro”). Dapatkan info lebih lanjut soal ini di sini dan di sini. Hal ini semua tidak lepas dari fakta bahwa film ini berformat anime.

Nah, di sinilah kita bisa masuk ke beberapa hipotesis. Pertama, dengan bahasa yang bombastis seperti biasanya, saya ingin bilang bahwa animasi menawarkan kemampuan menerabas batas sekelas novel. Kedua, dengan kesadaran animasi bisa menerabas batas Timur-Barat itu, Studio Ghibli akhirnya bisa menghasilkan film yang benar-benar menerabas batas. Nah, dengan yang terakhir ini, kita tidak lagi memisahkan antara bentuk dan isi. Kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka membuat bentuk yang setelahnya mereka isi dengan sesuatu (seolah-olah bentuk dan isi adalah dua hal yang terpisah). Yang ingin saya ajukan adalah bahwa kesadaran bahwa mereka memilih bentuk tertentu membuat mereka bisa mencari isi yang sesuai. Isi mereka juga ditentukan bentuk. Dan, untuk Studio Ghibli, isi yang sesuai ternyata tidak ada batasnya. Di sinilah sintesis adalah isi dan bentuk bagi Studio Ghibli. Menerabas batas Timur-Barat adalah satu saja dari penerabasan batas yang dimungkinkan oleh bentuk anime bagi Studio Ghibli.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *