Karena satu dan lain hal, diskusi tentang dinamika bentuk dan isi kita jeda dulu. Ada satu aspek film-film Studio Ghibli yang melambai-lambai ingin disebutkan dulu, yaitu visi feminisnya. Sebenarnya ada dua sih, yaitu visi feminis dan ekologis. Tapi, karena ini hanya postingan 15 menitan, saya harus pilih satu saja. Kita dahulukan visi feminis yang kebetulan saya siap. Selain itu, tidak ada alasan saya untuk mendahulukan visi feminis sebelum visi ekologis saat ini.
Yang paling menonjol dari visi feminis Studio Ghibli adalah fakta bahwa yang sering menjadi tokoh di film-film Studio Ghibli adalah anak perempuan. Kalau dari daftar film Studio Ghibli yang telah saya tonton (maaf ini egosentris sekali daftarnya) saya bisa melihat Howl’s Moving Castle, Spirited Away, From up on Poppy Hill, Princess Mononoke, dan My Neighbor Totoro punya tokoh utama perempuan. Dengan memilih tokoh utama perempuan ini saja kita sudah bisa melihat adanya visi untuk menempatkan perempuan pada pusat sebuah film. Atau, bisa juga kita sebut bahwa urusan utama film ini akan berkutat kepada karakter-karakter perempua ini. Bukan lagi urusan laki-laki yang melibatkan perempuan sebagai pendukungnya.
Mungkin ada yang akan bilang “kan memang film punya kecenderungan menyajikan pemandangan untuk ‘mata laki-laki’?” seperti halnya yang pernah dikritisi oleh Laura Mulvey dalam konsep “male gaze.” Kecenderungan itu memang mungkin terjadi dan memang telah terjadi. Tapi, dalam kasus-kasus semacam itu, yang terjadi biasanya kita akan diberi pemandangan tokoh perempuan yang penampilan fisiknya yang dijadikan sorotan atau urusan cinta dan domestinya saja yang dijadikan fokus. Sementara, kalau kita melihat film-film Studio Ghibli yang saya daftar di atas, yang muncul adalah karakter-karakter perempuan yang bukan hanya TIDAK disajikan fisiknya, tapi juga diurusi obsesi, cita-cita, dan keinginannya untuk berperan di dunia.
Lihatlah karakter di Howl’s Moving Castle yang lebih ingin kembali menyelesaikan kutukan dan kemudian membantu Howl, lihatlah tokoh si tokoh dalam From up on Poppy Hill yang meskipun menggunakan kemampuan bersih-bersihnya sebenarnya juga memiliki kemampuan menalar dan menggerakkan masa (dan bercita-cita menjadi dokter, seperti ibunya), apalagi Princess Mononoke dan lain-lainnya. Jauh dari eksploitasi fisik, yang kita dapatkan adalah perempuan dengan kenginannya untuk mengambil peran penting di kehidupan.
Kalau kita sedikit bergeser dari tokoh dan masuk ke plot, kita bisa melihat lebih banyak lagi contoh visi feminis dalam film-film Studio Ghibli. Kalau mau memulai dari yang paling kencang visinya, mari kita lihat Princess Mononoke dan Porco Rosso. Dalam Princess Mononoke, kita dipertemukan dengan dua pemimpin perempuan di kubu yang berbeda. Ada perempuan pemimpin komunitas pengrajin besi didukung karyawan perempuan yang yakin mereka lebih bisa melakukan pekerjaan berat daripada para laki-lakinya. Di sisi lain, ada seorang perempuan yang dibesarkan serigala yang siap bertarung mempertahankan hutan dari para penjarah.
Atau, kalau mau visi feminis yang lebih vulgar, lihatlah Porco Rosso, yang lagi-lagi menunjukkan perempuan bergerak bekerja padat karya untuk membuat pesawat. Di situ, ada juga tokoh perempuan muda yang menunjukkan kemampuannya menjadi insinyur dan mempunyai kekuatan persuasi–meskipun sebenarnya agak dilematis juga bagaimana pesona perempuan dimainkan di film ini.
Yang bisa kita lihat adalah, di antara berbagai film yang pada masa pra #metoo masih sangat mudah terpeleset ke wilayah objektifikasi perempuan, film-film Studio Ghibli sudah dengan tegas membawa isu gender ke tengah gelanggang. Hal semacam ini seolah melambai-lambai ingin ditunjukkan lebih jelas dalam perbincangan mengenai film-film Studio Ghibli. Bagi orang tua yang kebetulan menemani anak-anak mereka menonton film-film Studio Ghibli yang untuk anak-anak, hal ini perlu dijadikan bahasan utama.
Dengan itu, habislah 15 menit saya. Terima kasih.