Dua Dimensi Visi Ekologis Film Studio Ghibli (6)

Kini, kita bicarakan lagi satu visi yang nyaris selalu muncul dalam film-film Studio Ghibli, yaitu visi ekologis. Yang saya maksud “visi ekologis” di sini adalah kesadaran dasar tentang pentingnya melestarikan alam, dan itu mencakup juga kritik terhadap kecenderungan-kecenderungan manusia yang merusak atau membahayakan alam. Visi ekologis ini bisa kita temukan hadir secara eksplisit dalam film-film tertentu, tapi kita juga lebih banyak menemukan visi ekologis ini hadir secara “colongan.” Yang pasti, konsistensi Studio Ghibli dalam mengangkat isu pelestarian alam ini adalah sesuatu yang menurut saya jangan sampai dilewatkan.

Ada film-film tertentu yang memiliki visi ekologis cukup eksplisit. Dari daftar film-film Studio Ghibli yang sudah saya tonton (sejauh ini baru sepuluh film), film Princess Mononoke adalah film yang paling mencolok visi ekologisnya. Dalam film ini, kita dipertemukan dengan tokoh San, si gadis yang diasuh serigala, yang berjuang dengan para binatang (terutama suku Moro, serigala) dan para babi hutan, untuk menyelamatkan hutan dari ulah para manusia. San, yang ngotot mengidentifikasi diri sebagai serigala meskipun fisiknya manusia, menyatakan diri sangat membenci manusia. Bahkan, konflik paling pamungkas dari film ini adalah perburuan Dewa Rusa–yang merupakan representasi dari kekuatan alam–oleh manusia yang sudah sangat ingin sepenuhnya bisa menguasai alam. Cerita semacam ini tidak mungkin tidak terlihat seperti analogi perjuangan manusia menakhlukkan alam, bukan?

Seperti sudah saya singgung di postingan sebelumnya, Princess Mononoke punya banyak sekali kemiripan dengan film Avatar karya James Cameron. Saya ingatkan lagi: film James Cameron itu berbicara tentang manusia yang datang ke Planet Pandora dengan tujuan menguasai dan menambang sumber daya mineralnya yang disebut Unobtanium dan untuk itu manusia harus berperang dengan para penduduk Pandora yang hidup selaras dengan alam. Di film Princess Mononoke, yang terjadi adalah para manusia yang sudah memulai proses industrialisasi mencoba menguasai hutan untuk lebih memuluskan jalan menuju industrialisasi sepenuhnya. Kalau di Avatar ada Unobtanium, di Princess Mononoke ada bijih besi dan hutan yang perlu dikuasai. Kalau di Avatar ada eywa, daya hidup yang ada di pohon-pohon yang melambangkan kesehatan hutan, di Princess Mononoke ada kodama yang seperti makhluk halus yang tinggal di hutan yang lestari. Dan sebagainya.

Sementara itu, untuk visi ekologis yang disisipkan di cerita, yang munculnya bersifat colongan saja, kita bisa menemukannya di mana-mana di film-film Studio Ghibli. Untuk film yang sudah saya tonton saja, saya bisa menunjukkan Spirited Away, yang berkisah tentang seorang gadis yang kesasar masuk ke alam jin dan berjuang agar bisa kembali ke alam manusia tapi menemukan banyak kendala karena ternyata ada konflik di alam jin hingga akhirnya dia harus terlibat dan mencari jalannya untuk keluar sambil juga menyelesaikan masalah. Satu colongan ekologis dari film ini tampak pada roh sungai yang bisa berubah bentuk dan tampak menjijikkan dan murung dan tidak disukai makhluk halus yang lain. Pada satu titik di dalam film ini, ditemukan bahwa ternyata si roh sungai menjadi begitu karena sungai yang dia tinggali terkena pencemaran.

user uploaded image
Ketika Roh Sungai mengeluarkan sampahnya.
Dipinjam dari aminoapps.com

Atau kalau Spirited Away yang pernah menang Oscar itu masih belum cukup, mari kita lihat film yang lain. Mari kita lihat Ponyo on the Cliff yang sangat membahagiakan dan katanya BBC “dijamin membuat anak Anda pingin beli ikan mas setelah nonton ini.” Di film ini, sejak adegan pertama kita temukan bahwa keindahan laut saat ini–sayangnya, oh sayangnya–tidak bisa dilepaskan dari sampah yang seperti sudah menjadi elemen “organik” dari biota laut kita, di antara terumbu karang, di antara ubur-ubur, dan lain-lain. Bahkan, ketika si penyihir air rambut merah mencoba mengejar si Ponyo, dia selalu terganggu, tertampar-tampar oleh sampah. Dan, lebih jauh lagi, kita bisa melihat bagian di mana bahkan sesuatu yang kita anggap wajar dan maklumi sebagai bagian dari kehidupan dermaga pun, seperti misalnya kapal yang mendarat, sebenarnya membuat air menjadi keruh dan tidak menyenangkan di lihat dan tentu saja menjengkelkan buat mereka yang tinggal di air. Itu dua saja colongan.

Colongan lainnya banyak sekali. Tapi biarkan saya akhiri ini dengan satu sisipan kecil di film My Neighbor Totoro, ketika keluarga ini pergi ke kuil untuk memberikan penghormatan. Di situ, si bapak menunjukkan pepohonan kepada anak-anaknya dan bilang “Dulu, manusia dan pepohonan itu berkawan.” Tentunya ini merujuk ke kecenderungan manusia jaman sekarang yang menganggap pohon tak lebih dari sekadar bagian dari alam yang tidak lebih berarti dari manusia. Kalau ada pilihan antara menyelamatkan satu keluarga dan menebang pohon yang berusia ratusan tahun, mungkin rekan-rekan bisa menjawab mana yang akan kita prioritaskan.

Dipinjam dari Pinterest “Ghibli Friend Club”

Kedua bentuk perwujudan visi ekologis ini bisa sangat mudah kita temukan dalam film-film Studio Ghibli. Konsistensinya nyaris bisa dijadikan pegangan. Sepertinya, ini bagian yang perlu kita masukkan kesadaran ketika akan menonton film-film Studio Ghibli. Dan, buat ibu-bapak yang menemani anaknya, buat om-tante yang menemani keponakannya, atau buat kakak yang menemani adiknya menonton film-film Studio Ghibli di masa #dirumahsaja ini, jangan sampai melewatkan hal ini dan menyempatkan diri membahas bagian-bagian ekologis ini setelah menonton film tersebut. Tidak ada salahnya sok menggurui sedikit, sok normatif, sok didaktis dan sejenisnya. Toh dampaknya, kalau anak, adik, dan keponakan kita memiliki kesadaran ekologis yang bagus, yang untung juga mereka sendiri nanti… Atau kita sendiri sekarang.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *