Sepertinya ini akan menjadi postingan terakhir untuk seri Studio Ghibli yang telah saya tulis mulai minggu lalu. Kenapa postingan terakhir, kan baru tujuh postingan dengan ini nanti? Alasannya sih karena saya perlu kembali menuliskan sesuatu yang lebih urgen untuk dituliskan, karena saya juga tidak ingin jenuh dan tumpul karena terus-menerus memeras poin tentang Studio Ghibli dalam jangka waktu yang cukup mepet, dan karena saya ingin kembali mendengarkan dan sedikit mengurangi bicara tentang Studio Ghibli untuk mengurangi “blind spot” saya. Maka, inilah postingan terakhir saya untuk seri pertama Studio Ghibli ini. Pertanyaan yang lebih penting, apa kira-kira tema lain yang cocok untuk menutup leg pertama diskusi tentang Studio Ghibli?
Satu hal, sebut saja motif, yang saya temukan muncul berulang-ulang di film Studio Ghibli adalah tentang orang-orang yang menggapai mimpinya dan mendapatkan kesempatan atau dukungan untuk melakukannya. Dan, ada satu hal yang diajukan oleh film-film Studio Ghibli untuk mendukung gagasan bahwa kehebatan bisa datang dari mana saja: inspirasi. Hal ini terasa kuat di sejumlah film yang telah saya tonton.
Yang pasti, bagi Studio Ghibli, ada pernyataan yang tegas bahwa BUKAN usia, pengalaman, dan jenis kelamin yang bisa membuat seseorang untuk menjadi hebat. Hal ini tersampaikan secara eksplisit dalam satu adegan di film Porco Rosso, ketika si tokoh utama membawa pesawatnya untuk diperbaiki di sebuah bengkel dan mendapati bawah pesawatnya akan diperbaiki seorang montir perempuan muda berusia 17 tahun. Di situ terjadi perbincangan yang intinya si tokoh utama setuju bahwa yang paling utama dibutuhkan untuk menjadi hebat bukanlah pengalaman, tetapi inspirasi. Dan tentu saja jenis kelamin tidak jadi soal di situ. Tidak hanya itu, seluruh film selanjutnya membuktikan hal tersebut, membuktikan bahwa karya Fio si montir muda memang mampu bertanding dan Fio sendiri pun selanjutnya banyak menentukan laju cerita.
Terus apa yang bisa dijadikan modal untuk keberhasilan seseorang bagi Studio Ghibli? Kemampuan menangkap inspirasi—itu yang lebih berarti. Atau, kalau menggunakan istilah lain, kemampuan menangkap lesatan-lesatan pikiran yang mungkin awalnya tak terkira. Itu yang diperlukan agar seseorang yang belum berpengalaman untuk bisa memberikan kebaruan. Lihatlah film seperti The Wind Rises atau Whisper in the Heart. Di kedua film itu, masing-masing tokoh utama bisa menghasilkan sebuah karya besar ketika dia mendengar bisikan-bisikan dalam hati mereka. Jiro di The Wind Rises sangat ingin menjadi pilot, tapi suatu kali ketika membaca majalah aviasi dia menemukan bahwa membuat pesawat adalah sesuatu yang juga hebat. Mimpi-mimpinya—yang pasca Freud bisa kita pahami sebagai sublimasi kejadian sehari-hari—menunjukkan kepada dia bahwa menjadi desainer pesawat adalah sesuatu yang lebih cocok untuk dia. Dia menangkap tanda-tanda yang datang ke mimpinya dan lesatan-lesatan pikirannya ketika membaca majalah aviasi tadi. Dia mengikuti itu dan sambil menghitung terus mendengarkan isyarat-isyarat di dalam mimpinya.
Film Whisper in the Heart juga menggambarkan itu. Shizuku, seorang gadis yang suka menulis lirik-lirik lagu dan suka membaca dongeng, bingung akan berkarya seperti apa. Tapi, lesatan-lesatan pikirannya ketika melihat patung kucing bangsawan membuatnya terpikir tentang sesuatu. Untungnya, ada kakek pemilik toko antik membantu si gadis menyadari bahwa dia memiliki potensi dan lesatan-lesatan pikiran itu harus dia kejar agar bisa menghasilkan sebuah permata. Dengan itu, Shizuku mulai mengejar mimpi tadi dan akhirnya berhasil menciptakan sesuatu—yang tentu saja masih baru pada tahap awal. Film ini selain menggambarkan bahwa setiap anak perlu diberi kesempatan untuk mengejar obsesinya sendiri (dan bukan hanya dipaksa mengikuti kurikulum sekolah saja), juga menunjukkan bahwa keberhasilan merampungkan upaya pertama adalah sesuatu yang sangat perlu dirayakan, meskipun hasilnya pasti masih jauh dari bagus. Kenapa? Karena kesempatan itu sendiri juga sangat berarti.
Perihal inspirasi dan kesempatan mencoba untuk siapa saja ini mengindikasikan satu kebijaksanaan yang penting. Studio Ghibli seolah bekerja membangun mimpi dengan kesadaran akan adanya “privilege” yang membuat orang-orang tertentu bisa hebat. Dan tentunya ada kaitannya dengan gagasan kemiskinan terstruktur. Dalam konsep kemiskinan terstruktur, disebutkan bahwa orang yang pandai di sekolah dan kemudian sukses adalah orang yang memang sejak awal memiliki “privilege” untuk belajar dari guru yang bagus, terekspos kepada banyak hal, memiliki banyak kesempatan untuk melakukan kesalahan dan gagal, atau bahkan bisa berhasil karena memang ada modal finansial yang memungkinkan usahanya berhasil. Buat orang yang sejak awal tidak memiliki kesempatan, usaha untuk mendapatkan keberhasilan bisa berkali-kali lipat lebih besar, dan kemungkinan seorang yang tidak kaya untuk menjadi sukses di sebuah dunia seperti saat ini lebih kecil daripada orang yang pada dasarnya berasal dari keluarga kaya. Hal ini tentu sangat penting daripada sekadar urusan membagi motivasi. Kalau mau lebih methentheng lagi, kita bisa menghubungkannya dengan wilayah kajian yang secara umum disebut “critical race theory,” teori tentang relasi “ras” yang diwarnai dengan perkembangan teori kritis pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Tapi itu untuk lain waktu saja.
Tapi, jangan sampai melewatkan juga bahwa, bagi Studio Ghibli, inspirasi itu hadir dari sesuatu yang sudah dibangun sebelumnya: suka baca! Silakan paragraf ini Anda kembangkan sendiri daripada saya yang ngomong terus boring.
Beberapa waktu yang lalu, ketika mengikuti seminar online lingkup Fakultas di Universitas Ma Chung, seorang mahasiswa saya yang bernama Dio menuliskan komentar bahwa film-film Ghibli menunjukkan potensi yang dia sebut “paternalistik” atau “sastra untuk perubahan.” Saya setuju betul dengan itu, karena itu memang selaras dengan visi-visi progresif yang ditawarkan Studio (misalnya visi ekologis dan visi feminis yang dibicarakan sebelumnya). Saya suka menggunakan istilah “didaktis,” yang memang banyak muncul dalam diskusi tentang karya sastra anak. Namun, hal terakhir yang perlu ditekankan adalah, meskipun film-film Studio Ghibli ini didaktis, dia melakukan itu BUKAN sebelum memberikan keasyikan, tapi SAMBIL memberikan keasyikan-keasyikan, sambil memainkan imajinasi kita, sambil memainkan emosi kita, sambil memainkan mata kita dengan gambar-gambar yang bisa dibandingkan dengan gambar-gambar hidup yang bukan hasil goresan tangan manusia.
Untuk seri pertama ini, marilah kita tutup dengan ungkapan bombastis yang saya pelintir dari James Joyce dan sumber-sumber lain setelahnya:
Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta.
Setelah Tuhan, Shakespeare menciptakan manusia lebih banyak.
James Joyce paling banyak mencatat dan menggambarkan pengalaman manusia.
Studio Ghibli paling banyak menggambarkan pengalaman mata dan hati manusia dalam bentuk animasi 2D.
P.S. Semua pembahasan tentang film-film Studio Ghibli ini dibuat berdasarkan menonton film-film Studio Ghibli berikut iki (kurang dari setengah dari semua film Studio Ghibli):
- Howl’s Moving Castle
- Spirited Away
- Grave of Fireflies
- From up on Poppy Hill
- Kiki’s Delivery Service
- Ponyo on the Cliff
- Princess Mononoke
- My Neighbor Totoro
- Porco Rosso
- Whisper in the Heart
- The Wind Rises
inspiratif sekali