Hal yang paling mengejutkan bagi saya dari puasa di Arkansas adalah hancurnya imaji tentang elemen-elemen puasa bagi saya. Di antara banyak kehancuran itu, yang paling awal saya rasakan adalah pada citra seorang pemimpin sholat. Intinya, seorang pemimpin sholat yang bagus itu tidak harus tampil seperti seorang pemuka agama.

Di masjid ICNWA (Islamic Center of Northwest Arkansas), sholat tarawih dilaksanakan 20 rakaat. Setiap satu set tarawih (atau setiap malam) kita mendengarkan pembacaan satu juz (untuk dibaca setelah alfatihah). Akhirnya, yang terjadi adalah, sholat berlangsung sangat lama. Karena pada awal-awal itu maghrib jatuh pada sekitar pukul 19.30-20.00, maka tarawih bisa-bisa baru selesai sekitar pukul 21.30-22.00. Semuanya berlangsung dengan sangat woles dan khidmat. Kecuali anak-anak kecilnya tentu saja. Ketika orang dewasa sholat, banyak anak kecil yang disuruh keluar dan main di parkiran karena sebagian jelas-jelas tidak bisa disuruh diam.

Terus bagaimana caranya membaca satu juz setiap malam waktu sholat tarawih? Ada beberapa cara yang saya amati. Yang pertama, bila imamnya tidak hafal Alquran, maka sambil mengimami dia membaca sebuah Alquran berukuran mini yang setiap kali rukuk akan dimasukkan ke saku. Imamnya woles sekali soal ini. Di Indonesia, seingat saya tidak sekali pun saya melihat imam yang memimpin sholat sampai pegang alquran. Di ICNWA, imam pada tahun pertama itu seingat saya adalah brother Turki, seorang mahasiswa S3 bidang Teknik asal Saudi Arabia. Dia nyaris selalu memakai thobe, jubah panjang khas untuk laki-laki Timur Tengah.

Nah, cara yang kedua adalah memilih imam yang hafal alquran. Ketika itu, satu-satunya imam selain brother Turki itu adalah brother Omar, dan brother Omar inilah yang penghafal Alquran. Brother Omar adalah mahasiswa S3 bidang Sistem Informasi asal Uni Emirat Arab. Orangnya terlihat ganteng, kalem, dan kebapakan. Dia paling sering datang pakai jins biasa dan kaos lengan panjang. Baru pada waktu Idul Fitri saya meilhat brother Omar pakai jubah panjang. Tapi ya itu, dia ini hafal alquran, jadi ya mungkin jauh lebih keren buat siapa saja. Tapi, dia juga selalu minta agar ada satu dua orang di jamaah yang pegang alquran dan menyimak pembacaan ayat-ayatnya.

Di penampilannya itulah sumber keheranan buat saya. Sejauh pengalaman saya, di Indonesia belum sekali pun saya diimami sholat tarawih oleh imam yang memakai celana jins dan kaos lengan panjang. Minimal imam tarawih kita pakai sarung dan kopyah. Padahal, kalau diingat-ingat lagi, yang jadi syarat wajib untuk pakaian sholat itu kan Cuma “bersih dari najis dan menutup aurat,” kan? Di situlah ambyarnya mitos permukaan bagi saya. Yang permukaan dan tidak vital (seperti sarung dan kopyah atau baju gamis atau baju panjang atau baju koko) selalu bisa digantikan.

Di tahun selanjutnya, ada satu elemen dari sholat tarawih di masjid ICNWA yang berubah. Di tahun 2009, kepemilikan iPhone semakin luas dan bisa dibilang sebagian besar jamaah sudah memakai iPhone (waktu itu iPhone 3). Imam yang tidak hafal alquran ketika itu sudah tidak lagi membaca dari alquran kecil. Mereka sudah konsisten membaca dari iPhone mereka. Brother Omar seingat saya juga lulus pada tahun 2009, dan seingat saya yang sering menjadi imam pada tahun selanjutnya bukan penghafal alquran. Iphone pun menjadi bagian integral dari sholat tarawih di sana, hingga beberapa tahun kemudian, ketika masjid mulai mempekerjakan imam tetap yang hafal alquran.

Di tahun-tahun selanjutnya, seiring bertambahnya usia masjid, saya akan melihat perubahan terus terjadi, mulai imamnya, pola interaksi antara jamaah laki-laki dan perempuan, hubungan antara masjid dengan masyarakat, penggunaan ruang-ruang masjid untuk penjualan sembako, dan lain-lain. Tapi sementara, perkenankan saya membagi satu foto dari Ramadhan pertama saya di ICNWA.

Bersama kawan-kawan dari Aceh, sejumlah peserta pelatihan bahasa Inggris, dan kawan dari Yordania.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *