Mungkin pada semester ke-5 saya sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Malang, saya terlibat sebuah acara bulan Ramadhan yang melibatkan pihak eksternal, seperti anak yatim dari sebuah Panti Asuhan. Saya tidak ingat pastinya apa acara tersebut. Yang paling saya ingat adalah ketua panitia acara tersebut adalah seorang adik kelas yang manis dan baik dan sangat serius ketika itu. Kelak, ketua panitia itu menjadi pendamping hidup saya sampai saat ini. Mari kita “ihiiiiir” dahulu sebelum berlanjut. Sayangnya, selain hal itu, ada lagi satu hal lain yang juga membuat hari-hari pelaksanaan acara acara itu tidak terlupakan. Itulah saat pertama ada indikasi saya punya masalah dengan lambung dan kelak saya ketahui sebagai usus buntu.
Masa-masa itu adalah masa yang membuka mata saya pada banyak hal. Pada kepanitiaan acara tersebut, saya terlibat di dalam sie Publikasi, Dekorasi, dan Dokumentasi. Ketika itu, kantor kepanitiaan berada di ruang Dewan Mahasiswa Fakultas Sastra dan Filsafat (yang sebelumnya bernama Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni dan setelahnya bernama Fakultas Sastra). Itulah masa ketika saya mengetahui kekuatan CorelDraw dalam membuat rancangan untuk dekorasi dan publikasi. Itulah masa ketika saya mulai mengenal kamera SLR. Bersama saya di sie Pubdekdok ada Maryudi, mahasiswa Jurusan Bahasa Jerman yang sangat gemar fotografi.
Hari-hari itu, saya runtang-runtung bersama Maryudi karena kami memang satu bagian kepanitiaan. Salah satu momen paling saya ingat adalah Maryudi menunjukkan kepada saya bahwa saat menggunakan kamera SLR, kita ternyata perlu melakukan usaha lebih. Kita tidak bisa tinggal pencet. Kita perlu memastikan bahwa gambarnya tidak blur. Gambar blur itu adalah karena posisi lensa belum sempurna sehingga gambar yang tampak belum fokus. Untuk mengetahui fokus, ada satu lingkaran di tengah kamera yang dibagi dua. Bila gambar belum blur, lingkaran di tengah itu seperti dua busur yang gambarnya tidak menyatu. Ketika kedua busur itu menyatu dan menjadi lingkaran sempurna, itu artinya seluruh gambar sudah tidak blur lagi.
Selain menunjukkan soal fokus, Maryudi juga mengajarkan ke saya logika sederhana tentang cara kerja kamera. Harus ada keseimbangan antara besarnya pintu masuk cahaya dan kecepatan jepretan atau membukanya pintu itu dan kondisi cahaya objek yang akan difoto. Kalau kondisi cahaya tinggi, maka dibutuhkan pintu cahaya kecil yang terbuka dengan cukup cepat. Kalau kondisi cahaya rendah, maka kita perlu menyesuaikan pintu cahaya dan cepatnya pintu tersebut terbuka. Setelah dia yakin saya paham soal itu, dia biarkan saya memotret dia di depan pintu kantor Dewan Mahasiswa Fakultas. Saya senang sekali ketika beberapa minggu setelahnya tahu bahwa foto yang saya ambil tidak kurang cahaya (under) atau kelebihan cahaya (over), meskipun agak kurang fokus.
Tapi, acara dua hari itu berakhir dengan agak kurang menyenangkan. Pada malam pertama saya tidur di kantor Dewan Mahasiswa dan sahur di sana. Pada pagi harinya, saya merasa perut saya kurang enak, seperti ada nyeri yang sesekali muncul di ulu hati. Saya coba menahannya. Semakin siang, perut saya seperti melilit-lilit. Nyeri di ulu hati agak bertambah. Saya mencoba pindah ke ruang kosong tempat kami biasa menggambar baliho. Saya coba merebahkan diri dan menjauhi kegiatan. Tapi ternyata rasa sakitnya tidak berkurang. Akhirnya, mengikuti saran beberapa kawan, saya pun pamit dan pulang ke tempat kos. Di perjalanan saya sempatkan membeli Promag, mengikuti anjuran teman-teman.
Saya ingat berjalan dengan sangat tersiksa di sepanjang jalan Terusan Surabaya menuju tempat kos saya yang waktu itu masih di Jalan Jombang IA. Begitu sampai di rumah kos, saya membatalkan puasa dengan minum Promag dan merebahkan diri di kamar. Tidak terlalu lama kemudian, saya merasa ingin muntah. Setelahnya agak longgar. Saya mungkin minum Promag sekali lagi. Kondisi saya berangsur-angsur baik hari itu.
Hingga beberapa hari setelahnya, saya masih merasa sedikit nyeri seperti telah terluka dan belum sembuh benar. Saya ingat harus berjalan berhati-hati menaiki undak-undak tangga gedung A3 ketika perlu melakukan sesuatu di tempat itu. Saya masih ingat rasa nyeri itu ketika pada tahun 2017 saya datang lagi ke gedung dan naik ke lantai dua gedung A3. diundang seorang kawan untuk bercerita tentang pengalaman mendapatkan beasiswa Fulbright di hadapan para mahasiswa Universitas Negeri Malang (plus beberapa mahasiswa saya dari Universitas Ma Chung yang saya ajak ke sana).
Pelajaran fotografi dan pemotretan sekali itu terjadi di depan kantor Dewan Mahasiswa Fakultas di gedung J di depan lapangan gerbang UM Jl. Semarang. Saat ini gedung itu sudah tidak ada karena dibongkar dan kemudian dijadikan lokasi untuk gedung Rektorat UM yang sangat tinggi itu.
Sekitar satu tahun sejak momen itu, nyeri lambung dan ulu hati itu datang lagi. Dan kian ke belakang nyeri itu semakin sering. Beberapa kali selama akhir masa kuliah saya harus ke UGD rumah sakit Unisma malam-malam. Seringkali terjadinya ketika saya stress. Pernah itu terjadi tidak lama setelah saya dan pacar saya (yang pernah jadi ketua panitia acara ramadhan itu) habis makan orem-orem dengan ketupat di Jalan Jakarta. Pernah terjadi kelak setelah saya lulus dan bekerja di Kediri. Pernah juga terjadi ketika saya sudah kerja di Universitas Brawijaya dan sedang ditugaskan untuk menemani PSB online di Kabupaten Tuban. Para dokter selalu melihat itu sebagai sakit maag akut. Baru pada tahun 2009, ketika sudah di Arkansas, dokter di klinik kampus mencurigai itu radang usus buntu dan merujuk saya ke Northwest Arkansas Regional Hospital. Sore itu juga saya dioperasi untuk mencopot usus buntu yang meradang itu.
Sekarang, setiap Ramadhan, saya masih sering teringat momen-momen nyeri lambung dan ulu hati yang merupakan kemunculan pertama monster radang usus buntu itu. Tidak ada lagi yang tersisa sekarang. Gedung J sudah tidak ada. Usus buntu dan peradangannya sudah tidak ada. Kamera SLR juga sudah tidak ada lagi. Yang tersisa bersama saya adalah ketua panitia acara Ramadhan itu yang serumah dengan saya. Saya sekarang memegang beberapa sie sekaligus. Uhuk. Mungkin, seperti kata lagunya Dewa (yang pada album itu tanpa “19”): “hidup adalah kepanitiaan tanpa henti-henti.”