Pagi Ramadhan dan Irigasi Kolonial

Kita lanjutkan jalan-jalan pagi di kawasan yang sangat kental dengan kolonialisme. Di Krembung Barat atau Kebonan, kita belok ke kiri dan memasuki kebun, menyusuri parit. Di kebun tersebut, kita bisa melihat banyak pohon buah seperti kedondong, kelengkeng, sawo, dan lain-lain. Tidak begitu lama setelah melewati parit tersebut kita akan tiba di persawahan. Kita tetap susuri tepi parit itu sampai kita ke pangkalnya. Di sana kita akan melihat kanal yang merupakan pangkal dari kanal yang sebelumnya kita susuri. Kanal yang lebih besar tadi berpangkal di kanal lain yang lebih besar. Kanal besar itulah yang kami di Sidoarjo mengenalnya sebagai “Kali Kanal.” Kalau Anda melewati jalan tol dari Surabaya ke Malang, sungai yang Andai lewati tepat di sebelah utaranya Kali Porong atau Kali Brantas itu adalah “Kali Kanal” ini. Kalau diingat lagi, ternyata saya mengenali keunggulan irigasi Belanda melalui jalan-jalan pagi Ramadhan.

Tempat bercabanya “Kali Kanal” menuju kanal yang lebih kecil yang sampai di dekat rumah saya tadi disebut “sekip.” Bagian “sekip” ini cukup dalam dan lebar dan tenang, sehingga enak buat berenang-renang. Kawan-kawan saya kelak belajar berenang di sekip ini. Saya tidak punya cukup nyali untuk belajar berenang di sana. Bapak saya dulu juga belajar renang di sebuah “sekip” di Kecamatan Tarik, dekat Prambon. Saya lebih suka bermain-main di sawahnya untuk mencari ketam yang kemudian dijadikan umpan untuk menangkap udang. Saya lebih suka memancing di parit-parit irigasi di sekitar sekip itu.

Tapi tentu saja, di pagi bulan Ramadhan, kami tidak ke “sekip” untuk mandi di kali atau memancing. Kami ke sana untuk menikmati alam. Kami ke sana karena kami ingin jalan-jalan. Ada waktu yang kosong yang perlu dimanfaatkan. Kami di sana menikmati matahari yang sedikit demi sedikit muncul di balik “skyline” yang sebenarnya adalah Pabrik Gula Krembung yang secara resmi di dokumen-dokumen lama disebut P.G. Kremboong. Matahari mengintip dari sela-sela cerobong asap dan bagian-bagian yang tinggi di pabrik gula itu. Sekadar menyebutkan lagi, pabrik gula ini dibangun oleh pemerintah kolonial dengan bangunan-bangunan masih asli dari jaman kolonial. Perumahan karyawan di sana juga sangat khas bangunan kolonial. Temboknya tebal-tebal. Arsitekturnya khas arsitektur kolonial di dataran rendah, dengan langit-langit sangat tinggi dan atap tidak terlalu lancip (berbeda dengan jenis-jenis bangunan kolonial yang ada di Malang, yang langit-langitnya tidak terlalu tinggi tapi atapnya sangat tinggi. Dan hantu-hantunya pun (konon) hantu-hantu belanda. Sekarang, Pabrik Gula Krembung ini termasuk satu dari sedikit pabrik gula peninggalan jaman kolonial di Sidoarjo yang masih beroperasi. Pabrik Gula Toelangan, yang menjadi latar dari novel Pramoedya Ananta Toer, yang lokasinya tak jauh dari Krembung, saat ini sudah tidak beroperasi lagi.

Setelah bersantai-santai di “sekip” menikmati sunrise, kami melanjutkan ke selatan sedikit, ke “Kali Kanal.” Bagian ini tepat di dam “Kali Kanal” yang artinya air cukup tinggi. Hal inilah yang memungkinkan “Kali Kanal” dicabangkan ke kanal yang lebih kecil, “sekip” tadi. Setelah dam, air jauh lebih rendah. Inilah keunggulan ilmu pengairan kolonial: mereka membuat dam demi demi mulai dari Kali Brantas di Mojokerto sana hingga sampai ke Krembung dan kemudian sampai ke Porong. Dengan sistem dam demi dam ini, kali Brantas bisa dipecah menjadi “Kali Kanal” yang berfungsi untuk penyaluran kekayaan kali Brantas, dan selanjutnya “Kali Kanal” dipecah lagi menjadi kanal-kanal yang lebih kecil agar kemudian bisa dialirkan menjadi irigasi untuk sawah padi atau lahan tebu.

Dengan memahami sistem kali yang sangat terstruktur dan memiliki keindahannya tersendiri ini, saya sangat bisa membayangkan kecil Sigit Susanto menggambarkan sistem kanal di Belanda dalam bukunya Menyurusi Lorong-lorong Dunia. Saya hidup di kawasan pertanian yang kental dengan sistem irigasi peninggalan Belanda.

Sayangnya, kami orang-orang di Krembung, tidak mendapatkan cukup pengetahuan tentang kekayaan sejarah di sekeliling kami. Kami hidup hanya dengan mengetahui bahwa Pabrik Gula Krembung adalah peninggalan sejarah. Di sekolah, kami diajari materi pelajaran sejarah yang berisi tentang VOC, Maluku dan rempah-rempah, Portugis, Deandles, dan lain-lain. Andaikan kami tahu proses berdirinya Pabrik Gula Krembung. Apa yang dikorbankan warga desa Krembung untuk mendapatkan lahan monokultur padi tahu tebu yang sekarang ada. Siapa arsitek bangunan-bangunan jaman kolonial yang bertaburan di seluruh desa dan kecamatan Krembung (termasuk satu dua sebelah rumah adik saya). Sejak kapan rel lori itu dibangun (yang salah satunya dulu melintas di belakang rumah yang saat ini ditempati bapak-ibu saya. Sungguh lebih menarik pelajaran sejarah.

Saya berkesempatan mengapresiasi keunggulan sistem irigasinya bukan dari pelajaran, tapi dari studi ekskursi, kunjungan langsung, ke tempat-tempat itu pada pagi-pagi Ramadhan. Dan tentu saja, kami tidak menyadari bahwa itu adalah warisan dari keunggulan irigasi Belanda, bangsa yang dalam buku sejarah sekolah kami nyaris murni digambarkan sebagai “penjajah.”

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *