Setelah sebelumnya berbicara tentang tradisi buka mulai buka sampai klenger pasca taraweh, saya sangat ingin mengenang kehidupan domestik saya dan pasangan—eh, sorry, roommate—saya di apartemen. Kehidupan kami tidak selalu mulus. Konflik selalu ada, namanya juga mengontrak di bawah atap yang sama dan berbagi banyak hal yang sama. Tapi, kalau ditanya soal kenangan indah, saya berani menjamin banyak hal indah yang tidak bisa hilang dari ingatan saya, bahkan sepuluh tahun kemudian. Salah satunya adalah sebuah babak di malam Ramadhan ketika listrik padam, sebuah babak yang melengkapi kehidupan Arkansas saya.
Sebelumnya, perlu saya ceritakan dulu siapa teman seapartemen saya itu. Namanya Taz (sebenarnya namanya bahasa Arab, tapi demi menjaga identitasnya, saya pakai “nama Amerika”-nya saja. Asalnya dari Bangladesh tapi dia besar di Uni Emirat Arab—banyak orang Bangladesh menjalani hidup semacam ini. Dia kuliah di Fakultas Teknik. Saya masuk ke apartemennya ketika mantan kawan seapartemennya pulang. Kebetulan kawan seapartemennya itu orang Aceh yang meninggalkan kesan mendalam bagi Taz—akhirnya dia fanatik mau teman seapartemen orang Indonesia. Saya datang ketika hatinya kosong, hanya ditemani sepeda yang ditinggalkan roommate Indonesia-nya dulu—sepeda itu pun akhirnya saya beli.
Dia pintar memasak masakan Asia Selatan. Tapi ganjilnya, dia belajar itu dari mantan roommatenya yang orang Indonesia itu, yang belajar masakan itu dari roommate-nya sebelumnya yang berasal dari Bangladesh. Bersama saya, Taz suka memasak, menghidupkan lagi semua resep dari roommate Indonesianya yang dicatat dengan tulisan tangan dan ditempel di kitchen set. Sekali masak, kami biasanya memakai daging ayam (paha atas dan bawah) sebanyak 1 kilogram, wortel yang sudah dipotong-potong seukuran jari sekantong setengah kilo, brokoli atau bunga kol, plus tentu saja bawang daun yang besar dan hanya bisa dibelah—bukan diiris. Bumbu-bumbu kami selalu bumbu India yang dibeli dari toko India di Bentonville atau di Tulsa. Merknya “Shan.” Judul bumbu yang kami pakai beragam, mulai dari Chicken Tikka, Tandoori Chicken, Kofta Curry, dll. Sudah begitu, kami masih suka menambahkan anisa seed sendiri, garam masala lagi, atau terkadang ditambahkan bumbu-bumbu lainnya.
Di akhir sesi memasak kami yang kadang-kadang cukup brutal itu, yang terwujud adalah satu kuali besar ayam dengan bumbu hangat-hangat pedas ala India dengan kuah kental, kental, kental! Makan pertama biasanya ditemani nasi hangat dengan piring besar super flat (kami tidak punya piring kecil). Setelah itu, sisanya dibiarkan di atas kompor sampai dingin. Baru setelah itu kami masukkan kuali itu ke kulkas. Pasti pas, segala yang ada di Amerika ini ukurannya jumbo, mulai kunci pintu rumah sampai ukuran kulkasnya. Besoknya, kalau waktu tiba saatnya makan, kami hanya perlu mengeluarkan kuali itu dari kulkas, mengambilnya satu potong ayam, beberapa potong wortel mirip jari itu, mengambil bumbunya yang sudah mengental seperti jelly itu, dan meneplokkannya ke atas nasi. Kami lalu memanaskannya di microwave selama 1 menit saja. Jelly itu akan berubah menjadi bumbu yang meruapkan aroma kampung halamannya orang India di Mumbai sana.
Nah, sayangnya, pada suatu malam Ramadhan, sekitar pukul 2 malam, listrik padam. Kami belum memasak nasi. Di kulkas ada masakan lezat kami itu, tapi dalam kondisi dingin dan berbentuk jelly. Ada pita bread juga, tapi kerasnya 11-12 dengan piring super flat kami itu. Akhirnya, setelah berpikir keras, Taz menyarankan sesuatu yang menurut saya sangat jenius dan membuka dunia bagi saya: kita keluar dan pergi ke Taco Bell.
Taco Bell adalah waralaba cepat saji makanan Tex-Mex (Texas-Mexican). Makanan ini bukan benar-benar makanan Mexico, tapi sama sekali bukan makanan Amerika. Kelak, kawan-kawan saya orang Mexico bilang di Mexico tidak ada makanan tradisional seperti yang dijual di Taco Bell itu. Tex-Mex ini adalah makanan orang-orang Mexico yang tinggalnya di Texas. Mereka suka mengklaim diri bahwa mereka tidak pernah menyeberangi atau melompati perbatasan Amerika Mexico. Bagi mereka, perbatasan America-Mexico lah yang telah melompati mereka. Restoran Taco Bell ini tersebar di segala penjuru Amerika dan mempunya klaim yang telah teruji: buka lebih larut daripada restoran lainnya. Itulah yang membuat Taz mengajak saya ke sana.
Di sepanjang perjalanan naik Acura-nya Taz, dia bilang bahwa di Taco Bell adalah macam-macam makanan, dan tidak semua halal. Oh iya, bulan Ramadhan adalah bulan kedua saya di Amerika. Praktis saya masih harus dituntun melihat ini dan itu. Kata Taz, rata-rata mengandung sapi, tapi ada juga yang pakai babi. “We all know that’s haram, brother,” katanya. Nah, satu-satunya yang bagi dia aman bagi kami adalah yang veggy. Dan, bagi Taz, veggy yang paling lezat dan mengenyangkan adalah “sevel layers burrito.” Itu yang akan kami pesan. Saya oke saja. Begitu menginjakkan kaki di luar Indonesia, saya sudah siap kalau ini akan menjadi petualangan. Di Singapura, saya sempat menuliskan di HP saya satu kalimat paling akhir dari novel James Joyce “Welcome O life. I go to encounter for the millionth time the reality of experience and to forge in the smithy of my soul the uncreated conscience of my race.” Jadi, “seven layers burrito” yang tidak jelas rasanya maupun namanya itu pun akan saya hadapi.
Kami pun pesan lewat drive-thru di Taco Bell. Taz memesan satu dan saya memesan dua—kuatir tidak kenyang. Kami segera pulang dan makan di rumah, di dalam gelap. Waktu di rumah, dengan penerangan minimal dari lilin, saya mendapati bahwa burrito adalah makanan yang dibungkus tortilla dan dilipat asyik seperti “rukuk-rukuk” kalau di Jawa. Isinya sama sekali tidak menunjukkan “layer” atau lapis-lapis. Awalnya saya bayangkan “seven layer” itu adalah tujuh lapis. Ternyata, hai! “seven layers” ini berarti tujuh jenis makanan. Apa saja? Kacang merah, sawi, kacang lain, alpukat, keju dan beberapa lagi. Rasanya juga seperti campuran antara keju, mayones, alpukat, yang lumer jadi satu kalau kita gigit tortilla-nya. Saus sasetnya saya pilih yang paling pedas. Tapi ternyata rasanya agak-agak hangat saja, dan kecut. Lebih banyak kecutnya daripada pedasnya.
Namun, kawan, namun, kawan, anehnya saya sangat menikmati makanan ini. Kelak, ketika saya kembali lagi ke Arkansas bersama istri dan anak saya untuk menjalani petualangan yang lebih panjang, saya sempatkan ajak mereka ke restoran Taco Bell yang sama, malam-malam juga, dan makan di tempat parkir. Tapi mereka sama sekali tidak menemukan kelezatan “seven layers burrito.” Mungkin lezatnya hanya ada di hati, bukan di lidah.
Ingatan tentang malam itu, misterinya, petualangannya, dan lain-lainnya itu benar-benar jernih bagi saya. Rasa seven layers burrito yang lezatnya hanya di hati itu pun masih sesekali datang. Dan, yang lebih penting, pengalaman ini melengkapi hidup saya sebagai orang yang pernah mampir hidup di Amerika. Bagaimana mungkin? Saya pernah dengar dari seseorang di sebuah majalah: “Kamu belum tinggal di Amerika sebelum makan makanan Mexico.” Taco Bell memang tidak benar-benar Mexico, tapi ada lah elemen Mexiconya. Jadi, meskipun selalu ada konflik karena perbedaan budaya antara saya dan Taz, saya punya banyak ingatan manis tentang dia. Salah satunay adalah jasanya memperkenalkan saya ke makanan “seven layers burrito” sebagai menu sahur otentik Amerika ini. Arriba!