Musik, Mokel, Perubahan

Ada sejumlah hal yang kalau dibaca sekilas akan tampak seperti menganggap enteng agama, padahal tidak seperti itu maksudnya. Saya harap Anda membacanya sampai tuntas, agar tampak bahwa sama sekali bukan itu yang dimaksudkan dalam postingan ini.

Yang tetap adalah perubahan—inilah diktum yang saat ini sudah menjadi klise. Yang menarik dari diktum ini adalah ketika kita menemukan contohnya dalam kasus-kasus kecil dalam hidup kita. Ketika kita menemukannya, kita akan takjub bagaimana sesuatu yang sekilas kita pandang sebagai sebuah keadaan yang telah mapan bisa berubah tanpa kita menyadarinya. Salah satu pengalaman Ramadhan menyadarkan saya tentang ini.

Bagi saya pribadi, contoh yang paling kuat tampak pada satu episode dalam hidup saya: episode menjadi mahasiswa dan, khususnya, ketika saya sangat aktif berkegiatan di unit kegiatan OPUS 275, Organisasi Pecinta Musik. Saking aktifnya, saya menghabiskan sangat banyak waktu di OPUS 275, kadang untuk bermain musik, kadang untuk sekadar ngobrol, kadang di ruangan utama sekretariat, kadang di lokasi kegiatan menyiapkan penampilan musik, kadang bersantai-santai di atas rumput, kadang ini, kadang juga itu, kadang begini, kadang begitu. Pendeknya, saya menghabiskan banyak waktu itu sana, pagi, siang, sore, malam, hingga pagi lagi kadang-kadang.

Dan ini juga berlaku ketika bulan Ramadhan. Kebetulan, pada tahun-tahun pergantian milenium itu, Ramadhan jatuh pada bulan Desember. Dan, kebetulan, Desember adalah bulannya MUSIKUS, Musyawarah Musisi Kampus, atau pertemuan tahunan kami untuk membahas banyak hal (dulu paling gemar membahas AD/ART) hingga akhirnya memilih ketua baru. Kami pernah menghabiskan waktu berkumpul dan berdiskusi seharian dalam kelompok-kelompok kecil (untuk membahas AD/ART, evaluasi kepengurusan, dan perencanaan program kerja setahun ke depan), terus buka bersama, terus malamnya membahas hasil rapat kelompok kecil, dan baru selesai keesokan harinya. Begitulah. Sekarang, musyawarah tahunan itu bahkan berlangsung beberapa hari berturut-turut. Memang gawat. Selain pada saat musyawarah itu, selama bulan puasa kami juga sering berkumpul-kumpul di sekretariat UKM. Sering kali, sore-sore kami duduk-duduk di “lapangan pantai,” lapangan rumput bundar di gerbang Jalan Semarang Universitas Negeri Malang, yang sekarang menjadi bundaran di depan rektorat baru Universitas Negeri Malang. Kami dulu hanya duduk-duduk sambil menikmati semilir angin. Sesekali kami foto-foto juga. Happy-happy. Sepertinya kami siap kalau-kalau hidup kami akan begitu seterusnya.

Selain duduk-duduk, tentu ada saja kegiatan kami anak-anak muda bohemian ini. Salah satunya adalah ngobrol-ngobrol dan akhirnya—entah karena lapar, haus, atau butuh merokok—menyisih dari peradaban mainstream dan berbuka. Sepertinya ini lazim sekali di kalangan anak muda Indonesia akhir tahun 90-an atau awal 2000-an. Banyak celetukan-celetukan yang menyertai adegan berbuka itu yang tidak kunjung terlupakan. Kejadian-kejadian yang saya ingat itu biasa melibatkan para sahabat saya: Agus, Hendry, dan Amin—anggap saja ini bukan nama sebenarnya. Salah satu kejadian seperti ini:

Agus berdiri di depan sekretariat sambil berbincang-bincang dengan saya pada siang bulan Ramadhan. Tidak begitu lama kemudian tampak Amin berjalan dari jauh, dari lapangan. Agus langsung nyeletuk:

“Waduh, ada Amin,” kata Agus. “Bahaya ini.”

“Kenapa, Gus?” tanya saya.

“Biasanya kalau ketemu Amin aku terus mesti mokel.”

Sekadar info, “mokel” itu membatalkan puasa secara prematur. Sebentar kemudian Amin tiba, dan langsung berteriak:

“Gus, ayo mokel,” kata Amin sambil tersenyum. “Habis lebaran kita sudah gak bisa mokel lagi lho.”

Lalu kami semua tertawa-tawa seperti akhir sebuah serial TV Amerika era 80-an.

Satu adegan yang paling tidak bisa saya lupakan saat ini adalah sebuah sore ketika kami pergi ke toko alat musik W/W Music di kawasan Dieng. Kami ke sana karena perlu melakukan survei harga. Bertahun-tahun kami mengajukan permohonan dana pembaruan alat musik UKM, tapi kampus tak kunjung mengabulkannya juga (setiap tahun kami mengajukan proposal “peremajaan alat musik”). Hingga akhirnya, pada suatu ketika kampus terketuk hatinya untuk membelikan kami alat musik. Permohonan kami disetujui sebesar 10 juta. Tentu itu jauh di bawah yang kami ajukan (sekitar 30 juta). Pihak universitas memanggil kami (perwakilan dari UKM) untuk datang ke sana dan memberitahu kami untuk mensurvei harga alat musik yang ada. Kami memilih ke toko W/W Music karena dekat dan reputasinya bagus.

Maka di sebuah sore bulan Ramadhan yang ceria, saya, Hendry, dan Agus berangkat ke arah Dieng naik mikrolet dari Jalan Jakarta (ya, Jalan Jakartanya Pak Sapardi Djoko Damono itu). Saya ingat betul berjalan dengan Hendry dan Agus keluar dari gerbang Jalan Semarang seperti orang yang gagah. Kami merasa cukup menang waktu itu. Kami merasa akhirnya akan berhasil membeli alat musik baru buat UKM tercinta kami yang beberapa waktu terakhir hanya punya drum set tua (dengan simbal sobek) dan beberapa sound monitor. Gitar dan bass gitar kami pinjam (bahkan ada satu bass pinjaman yang sampai digondol maling).

Singkat kata, setelah urusan di W/W Music selesai, setelah mencatat harga beberapa alat dan mereka-reka alat apa saja yang bisa kami beli, kami segera berjalan balik ke arah Dieng Plaza (ini sebelum ada CyberMall, ketika komputer-komputer di rental di Jl. Surabaya masih memakai Windows 95, dan bahkan ada masih masih pakai Windows 3.11). Ketika itu menjelang senja. Di depan Dieng Plaza itulah, ketika menunggu mikrolet, kami sempat begejekan lagi—Hendry dan Agus seingat saya merokok saat itu. Entah siapa yang menyarankan, tapi kami sempat berbicara:

“Gus ayo takok wong jam piro bukone, tapi takone karo ngerokok!”

(Buat yang tidak akrab bahasa Jawa, kira-kira begini maksudnya: “Gus, ayo kita tanya orang jam berapa waktu buka, tapi kita tanya sambil merokok.”)

Kayaknya kami terpengaruh acara Spontan-nya Komeng (acara prank jaman pra-YouTube). Tapi, seiseng-isengnya kami, kami ternyata masih cukup beradab untuk tidak melakukannya. Tapi, betapa pun kami tidak jadi melakukannya, perihal ini masih membekas di ingatan saya sampai-sampai saya masih ingat apa yang terjadi pada hari itu, sementara masih banyak hal lain yang sudah hilang dari pikiran saya.

Yang unik adalah, seperti bisa ditebak dari banyak hal dalam hidup, saya dan kebanyakan sahabat saya yang dulu begitu woles dalam menjalankan puasa itu telah mengalami sejumlah perubahan. Saya tidak tahu dengan yang lain, tapi sepertinya cara saya melihat agama sudah berbeda. Amin, Hendry, dan Agus sepertinya tidak lagi seperti dulu. Dalam banyak hal, mereka jadi jauh lebih sholeh daripada saya. Tapi, kalau dari cara mereka bersikap, saya yakin mereka tetap woles memandang hidup. Saya yakin, kalau Agus dan Amin hari ini bertemu di saat puasa, mustahil mereka membatalkan puasa. Mereka mungkin akan menggagas suatu cara membantu orang survive dari pandemi ini. Paling tidak, untuk Agus, belum lama ini saya melihat dia sudah melakukannya dengan bisnis kreatif yang dia miliki.

Begitu juga Amin dan Hendry. Kalau Amin dan Hendry 20-an tahun lalu itu ketemu dengan versi dewasa mereka, diri mereka saat ini, saya tidak tahu apa yang akan mereka katakan. Amin dan Hendry muda pasti salim, cium tangan ke Amin dan Hendry dewasa. Tak perlu ditanya, mustahil mereka akan mengajak mokel versi dewasa mereka.

Oh ya, organisasi pencinta musiknya sendiri pun secara atmosfer sepertinya sudah sangat berbeda. Tempo hari, ketika ada seorang mantan anggota meninggal, para anggota aktif UKM mengadakan tahlilan di sekretariat. Ini tidak pernah saya bayangkan terjadi dulu. Yang belum berubah hanya satu: rapatnya, masih suka berlama-lama.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

2 comments

Hendry says:

Ya Alllah wan… Ingatanmu luar biasa… Jadi inget masa perjuangan dulu, masa labil… Sing jelas aku diam diam Belajar banyak dari pergaulan kita wan… Aku moco ngguya ngguyu dewe, dan berkaca kaca jg…. Semoga dirimu dan keluarga sehat, bahagia dan sukses selalu sahabat…

benise says:

Ruaaar byasaaak! Aku tak tahu kalian senista itu dahulu kala ahahahha. Sehat terus kabeh sedulurkuuu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *