Di antara kehidupan Langgar masa Ramadhan saya, ada satu yang selalu tetap, yaitu membagi zakat di akhir Ramadhan. Mungkin kurang pas kalau saya menceritakannya pada saat ini, ketika Ramadhan belum juga berakhir. Tapi, momen hari-hari ini sepertinya cocok kalau saya menceritakan tentang kisah membagi zakat ini. Kita mungkin menganggap zakat dan bantuan sosial adalah kebahagiaan bagi penerimanya. Namun, kawan, dunia ini begitu berwarna dan banyak hal yang lolos dari stereotipe, termasuk soal bantuan sosial. Kebetulan saya pernah mengalami satu hal tak lazim di luar stereotipe itu, sebuah kisah tentang martabat dan ketakutan.
Sampai saat ini, ada beberapa kenangan membagi zakat yang masih membekas bagi saya. Yang pertama adalah mengangkat beberapa kali saya ikut membagi zakat di RW 5 dan RW 6. RW 6 adalah RW saya sendiri yang posisinya tidak terlalu jauh dari Langgar Baiturahman (yang sebenarnya berlokasi di pinggiran RW 5). RW 6 agak mudah dijangkau karena lokasinya berada di satu petak yang dibatasi jalan raya Porong-Prambon di sebelah utara, jalan PG Kremboong di sebelah barat, Jalan ke Mojoruntut di sebelah Timur, dan rel lori Pabrik Gula di sebelah selatan. Intinya, mengantarkan zakat ke lingkungan RW 6 tidak terlalu sulit. Posisinya selalu dekat dari Langgar Baiturahman. Tapi, kalau tiba gilirannya mengantarkan zakat ke RW 5, itu yang tricky.
Salah satu kenangan mengantarkan beras zakat pertama adalah ketika saya harus ikut mengantarkan zakat ke sebuah keluarga yang berada di ujung RW 5. Lokasinya dekat dam kanal kecil yang dikenal sebagai “grujuk-grujuk” (suara air yang jatuh dari dam itu yang bergolak buas). Dari langgar, posisinya kira-kira 500-an meter atau kurang, mungkin. Tapi, buat anak SD yang harus membawa beras di tas plastik, hal itu lumayan merepotkan. Bagian belakang buku-buku jari tidak lama langsung memerah, dan kita pasti akan mencoba berbagai cara untuk mengubah posisi memegang kita. Saya selalu ingat soal itu bahkan pada bulan Ramadhan berikutnya. Tapi itu tidak jadi soal. Ketika tiba di rumah yang kami tuju, penerimanya biasanya menunjukkan wajah bahagia.
Namun, ada lagi satu pengalaman saya dan kawan-kawan yang agak menggetarkan dan menghantui dalam urusan mengantarkan beras zakat ini. Posisinya juga di RW 5. Ada sebuah rumah di pinggiran lahan kosong (yang kami sebut “kebon”) yang tidak menyambut. Kami para anggota remaja langgar ini hanya bertugas mengantarkan saja. Kami ikuti instruksi bapak-bapak takmir yang mengatakan bahwa beras ini harus diantarkan ke keluarga ini dan beras ini diantarkan ke keluarga ini. Para takmir hanya menanyakan kepada kami apakah kami tahu tempatnya. Itu pulalah yang kami pegang saat mengantarkan beras tersebut. Makanya, ketika akhirnya biasanya kami tiba di lokasi, kami hanya menyampaikan apa yang sudah diamanatkan ke kami itu. Kami tidak siap dengan respon keluarga yang berhak mendapatkannya. Padahal, tidak semua keluarga itu bersedia menerima.
Nah, keluarga yang tinggal di pinggiran kebon ini tidak menyambut itu. Keluarga ini, yang mungkin menurut bapak-bapak takmir layak menerima zakat, merasa diri mereka cukup. Bahkan, si bapak di keluarga tersebut terlihat marah-marah, seperti dilecehkan. Beliau merasa dia cukup mampu untuk menghidupi keluarganya dan tidak perlu mendapatkan zakat. Mendapatkan zakat baginya merupakan penghinaan, seperti mengatakan bahwa dia tidak mampu menafkahi keluarganya. Padahal tentu saja bukan itu maksud kami saat memberikan zakat kepadanya. Saya hanya bisa diam dan menunggu ketika bapak tersebut marah dan berteriak ke teman saya yang ditugasi mengantarkan zakat bagi keluarganya.
Kejadian itu begitu membekas bagi saya hingga lama. Pada akhir-akhir masa kuliah, ketika saya mulai belajar menulis cerpen, kisah tentang bapak yang marah dan merasa dilecehkan oleh zakat ini adalah salah satu persoalan pribadi yang harus saya selesaikan dengan menuliskannya sebagai cerpen. Dan hari-hari ini, di tengah COVID 19, ketika terdengar banyak berita tentang dana bantuan langsung tunai yang tidak tepat sasaran, saya kembali ingat kisah membagi zakat ini. Bapak penjaga malam di kampung saya sempat mengeluhkan adanya orang-orang yang terlihat cukup mampu yang begitu bersemangat ikut mengambil jatah dari Kemensos. Saya jadi teringat seperti apa kondisi keluarga yang dulu begitu menjaga martabatnya sebagai pencari nafkah keluarga dengan tidak mau menerima apa yang dia anggap sebagai belas kasihan orang.