Bulan Penuh Rahmat (dan Bimbo)

“Ingatlah lima, sebelum lima” atau “Rasul menyuruh kita mencintai anak yatim” atau “Ada anak bertanya kepada bapaknya,” adalah potongan-potongan kalimat yang pasti akan membawa imaji Ramadhan dan orang-orang berwajah damai.

Kita hidup di dalam dunia yang dipenuhi hura-hura. Setidaknya, kalau bukan dipenuhi hura-hura, dunia kita ini diwarnai oleh hura-hura. Okelah, kalau kata “hura-hura” dianggap terlalu judgmental, kita pakai saja kata “hiburan.” Dunia kita ini dipenuhi oleh hiburan, dan hiburan itulah yang akhirnya membuat dunia ini semakin meningkat maknanya. Dalam kaitannya dengan Ramadhan, “hiburan” ini juga tidak ada habis-habisnya. Yang saya akan bahas di sini adalah hiburan massal. Mari kita mulai sebut ini budaya massal, budaya pop, budaya yang dicirikan oleh produksinya secara massal, distribusinya secara masif, dan penikmatannya secara massal oleh banyak orang. Dari fase Krembung pengalaman Ramadhan saya, bentuk budaya massal yang paling saya ingat sejak awal adalah musik Ramadhan. Dan kalau bicara tentang musik Ramadhan, hanya ada satu jenisnya, yaitu Bimbo. Bagaimana dengan yang lain itu? Dengan segala hormat, semua itu adalah pelanjut usaha yang telah dirintis Bimbo.

Mungkin, pertama kali saya sadar tentang musik Bimbo adalah ketika kelas 4 SD. Setiap maghrib, menjelang adzan maghrib, di SCTV, ada dua acara yang tak pernah absen. Yang pertama adalah ceramah menjelang berbuka. Dan satunya lagi, lagu-lagu berirama khas, separuh takzim separuh ngungun, yang dinyanyikan oleh orang-orang yang sekilas mirip dengan nama mirip, Sam Bimbo, Jaka Bimbo, Acil Bimbo, dan Iin Parlina, yang suaranya sehalus kopi Sarijan yang di toplesnya disebutkan “sehalus debu.” Lagu-lagu mereka ini selalu kalau tidak dari alquran ya dari hadits. Saya jadi hapal betul lagu-lagu mereka yang syahdu dan musiknya tanpa basa-basi itu. Ketika Ramadhan usai dan hidup berjalan dalam bulan-bulan orde baru biasa, lagu-lagu itu tidak lagi muncul. Baru pada tahun depannya, di bulan Ramadhan yang satu tahun lebih tua, keempat bersaudara itu muncul lagi dengan lagu-lagu yang sama, plus mungkin satu lagu baru. Pemberi ceramah menjelang berbuka berganti-ganti, tapi Bimbo adalah elemen yang tidak pernah absen. Maka, maafkan saya kalau ketika itu merasa Bimbo lebih kuat daripada bapak-bapak kiai yang terus berganti itu.

Satu momen yang paling ingat adalah suatu saat ketika saya mengingat Bimbo. Ini agak rumit dan butuh perlakuan khusus, tapi saya akan coba sampaikan sejelas mungkin agar bisa jadi sarana mengkaji pikiran. Ketika saya kelas 1 SMP, ketika sudah liburan menjelang idul fitri, saya diajak bapak ke rumah seseorang di desa Tanjek Wagir. Desa ini agak unik. Tempatnya lumayan jauh dari jalan utama, untuk ke sana harus melewati jalan kecil (beraspal sih) di tengah sawah. Tapi, ketika sudah sampai di desa itu, kita akan meihat betapa teraturnya desa tersebut. Jalannya dari tanah (waktu itu) tapi di kanan-kiri jalan ada pagar tembok (dalam bahasa Jawa Sidoarjo istilahnya “buk”) sekitar satu meter yang rapi. Setiap tahun pagar tembok setinggi 1 meter itu biasanya dikapur (dicat dengan gamping). Pendeknya, khas pedesaan orde baru lah. Tempatnya rapi dan damai. Nah, saya ingat bahwa sore itu saya diajak bapak mengantarkan sesuatu di desa nan permai ini. Ketika bapak saya ke rumah yang dituju, saya menunggu di sepeda motor menghadap ke pagar tembok, mungkin saya duduk di sepeda motor dengan kaki nangkring di “buk” itu. Pada titik itulah saya menyadari bahwa Bimbo selalu hadir bersama kami di setiap lebaran. Saya ingat Jaka Bimbo terlihat jauh lebih tua dari yang lain dan bertanya-tanya sebabnya. Saat itu saya menyadari betapa besar makna Acil Bimbo yang tetap menarik sementara saat itu saya sudah mulai mendengar lagu-lagu berbahasa Inggris.

Baru belakangan, beberapa tahun kemudian, saya menemukan bahwa Bimbo tidak selamanya main musik Ramadhan. Ketika masih di Krembung, satu-satunya lagu Bimbo yang saya tahu tidak benar-benar Islami adalah lagu “Melati dari Jayagiri” yang dalam bayangan saya punya video klip dengan latar seperti orang naik gunung, ada kedinginan, ada api unggun. Baru ketika kuliah—ya, setelat itu—saya mendengar musik-musik lawas di radio. Saya mendengar lagu di radio yang agak-agak mengingatkan saya pada nada-nada ngungung misterius “Melati dari Jayagiri.” Dari penyiar saya tahu bahwa itu lagu lawas Bimbo. Wow! Saya pun bertanya ke sana-ke mari (dulu tidak ada google, sehingga mencari informasi semacam ini membutuhkan banyak kontak sosial!). Ternyata, Bimbo dulunya memainkan lagu-lagu balada seperti umumnya Franky and Jane, lagu-lagu sekuler lah. Saya pun semakin penasaran dengan lagu-lagu mereka. Sayangnya, pergaulan saya hanya memungkinkan saya kenal Bimbo secara terbatas dari apa yang disediakan radio bagi saya (bahkan ketika awal-awal kuliah itu). Alhasil, Bimbo pun bertahan cukup lama sebagai musisi Ramadhan bagi saya. Apalagi, orang-orang, bahkan sampai saat ini, masih suka memutar lagu-lagu Bimbo (lagu-lagu yang sama dengan yang saya dengarkan waktu kelas 4 SD itu) pada momen-momen Ramadhan.

Demikianlah, tahun hijriyah terus berganti, seragam sekolah saya pun terus berganti, hobi saya berganti (dari menggambar, pencak silat, hingga bermusik), dan warna dunia di mata saya juga berganti. Tapi, Bimbo tidak pernah absen dari Ramadhan. Kalau saat ini saya tidak pernah lagi mendengar lagu-lagu Bimbo diputar di televisi. Sejak Ramadhan tahun kemarin, keluarga saya tinggal di rumah tanpa tivi. Namun, kawan, kalau saya lagi iseng dan melihat gosip di YouTube tentang kegiatan Ramadhan para artis, atau liputan tertentu tentang ramadhan oleh salah satu tivi internet, ahoy! lagu-lagu Bimbo masih tetap mengiringi. Ya, sekuat itulah Bimbo, sekuat itulah budaya pop, sekuat itulah hiburan dalam membentuk Ramadhan. Setidaknya Ramadhan saya.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *