Sehebat apa pun Bimbo dengan kekuatan lagu-lagunya, tetap saja Bimbo hanyalah salah satu dari banyak budaya pop yang membentuk Ramadhan masa kecil saya. Bimbo juga hadir secara signifikan bersamaan dengan turunnya TV swasta di tengah-tengah kehidupan kita. Seiring semakin kuatnya cengkeraman TV swasta, dan semakin banyaknya pilihan TV swasta yang otomatis juga semakin kuatnya persaingan di antara mereka, semakin banyak juga acara yang bisa dipilih. Ramadhan tak lagi fokus ke Bimbo. Kenangan Ramadhan saya tidak lagi terisi oleh hari-hari bermain-main atau melakukan hal-hal yang murni “offline.” Saat ini, banyak dari kenangan Ramadhan saya dari akhir masa SD dan awal masa SMP yang berasal dari layar kaca, akuarium yang isinya tidak hanya ikan dan kura-kura tapi juga manusia-manusia itu. Namun, ada beberapa yang memang khas dan memberikan kesan yang kuat, yang membuat saya menjadi saksi untuk milestone penting dalam budaya pergeseran budaya Indonesia, sebut saja milestone penting dalam Islamisasi Indonesia.

Sebelum terlalu jauh, saya perlu menjelaskan istilah “islamisasi” yang saya pakai di sini. Menurut Pak Ariel Heryanto, “islamisasi” ini dipakai dalam artian pergeseran budaya Indonesia menjadi proses yang semakin besar elemen islamnya. Proses ini tidak melulu berarti mengislamkan orang Indonesia—seperti lazimnya istilah “islamisasi” atau “kristenisasi” dipakai. Seperti apa yang saya saksikan.

Saya akan menyebut tiga saja di sini, dan mereka semua meninggalkan kesan yang kuat bagi saya. Yang pertama adalah serial sinetron “Sahibul Hikayat.” Sinetron ini mengisahkan tentang perjalanan seorang pengembara yang memakai baju warna khaki dengan lengan dilipat dan sebuah tas diselempangkan. Pengembara yang diperankan oleh Deddy Mizwar ini terlihat matang dan siap menimba pengalaman hidup dari berbagai sektor kehidupan. Dia seperti berjalan tak tentu arahnya. Ketika itu saya gemar serial Kungfu yang diperankan oleh David Carradine, versi aslinya. Dalam serial western itu, si pendekar Kungfu bertualang di kawasan Barat Amerika, di California, pada jaman rel kereta api baru dibangun membelah gurun-gurun. Dia Meninggalkan Tiongkok karena tanpa sengaja mencelakai orang berpangkat. Nah, si “Sahibul Hikayat” ini sepertinya lagi menguji ilmunya setelah mondok di sebuah pesantren. Pengembara ini berkeliling dan sesekali berhenti di masjid atau ketemu orang dan ngobrol di bawah pohon. Saat duduk-duduk itulah si pengembara akan mendengar cerita dari berbagai orang. Mungkin dari situ judul “Sahibul Hikayat” itu muncul. Dia mendengar cerita. Saya bisa bercerita tak habis-habis tentang “Sahibul Hikayat” tapi bukan itu yang jadi inti perbincangan ini. Yang jadi inti adalah bahwa “Sahibul Hikayat” itu ternyata merupakan satu milestone penting islamisasi bangsa Indonesia.

“Sahibul Hikayat” ini menandai mulai semakin seriusnya Pak Deddy Mizwar dalam budaya pop islami. Memang, sebelumnya Pak Deddy pernah main di film Sunan Kalijaga yang fenomenal itu pada tahun 1986 (saya punya kisah sendiri tentang film Sunan Kalijaga itu, tapi itu juga untuk kesempatan lain). Tapi, setelah itu seingat saya pak Deddy masiih main film-film sekuler. Baru setelah “Sahibul Hikayat” yang pada tahun selanjutnya menjadi “Hikayat Pengembara” itu, Pak Deddy Mizwar seperti konsisten untuk mengerjakan projek-projek Islami. Saya perlu memastikan apakah beliau masih mengerjakan projek-projek yang tidak secara eksplisit Islami. Tapi, kalau mengamati dengan santai, kita pasti melihat bahwa film-film dan sinetron-sinetron Pak Deddy selanjutnya adalah Islami. Tentu saya harus memberi kredit di sini bahwa projek-projek Islami Pak Deddy tidak pernah yang islami tapi simplistis hanya fokus berdakwah. Elemen estetik dan hiburan dari karya-karya Pak Deddy selalu penuh perhitungan. Lihatlah “Lorong Waktu,” “Hikat Pengembara,” “Kiamat Sudah Dekat,” “Para Pencari Tuhan,” dan lain-lain. Karya-karya beliau selalu digarap dengan penceritaan yang bagus dan akting dan tidak asal-asalan sehingga menciptakan hiburan tivi yang berkualitas.

Ternyata Deddy Mizwar pernah diwawancarai Kumparan dan menyatakan sendiri bahwa memang dia punya niatan menciptakan karya yang bernilai ibadah sekaligus hiburan.

Satu milestone lain adalah ketika salah satu tivi swasta (ketika saya SMP) mulai jor-joran membuka diri 24 jam selama buka puasa. Biasanya, mulai jam 2 atau jam 3, ada acara variety show yang mengandung musik, ceramah, video feature, dan obrolan ringan penuh hikmah. Nah, salah satu orang awal di bidang ini adalah mantan rocker (alm) Hari Moekti. Ketika itu, Hari Moekti belum lama mendalami ilmu agama dan bersama istrinya (waktu itu) membawakan acara tersebut. Wawasan agamanya dipakai untuk membahas berbagai fenomena Ramadhan dengan gaya mengasyikkan yang menunjukkan jejak-jejak keartisan. Belakangan, Hari Moekti semakin fokus menjadi jadi berpisah dengan istrinya yang pernah menemaninya menjadi pembawa acara itu. Hari Moekti ini dalam sejarah pribadi saya merupakan wujud paling awal “fenomena hijrah.” Dari seorang rocker yang memuja kekasihnya memiliki hidung yang, meskipun “tak semancung gunung-gunung di belahan bumi pertiwi,” sangat dia cintai sepenuh hayatnya. Sejak dua ramadhan menjadi pembawa acara warna-warni menemeni sahur itu, Hari Moekti seingat saya semakin banyak tenggelam ke dalam tanggung jawabnya sebagai dai dan tidak lagi banyak muncul di tivi. Dan itu hanya satu yang pertama saja. Belakangan, pasca reformasi, sedikit demi sedikit “fenomena hijrah” semakin menguat dan memuncak (mungkin) di lima belas tahun terakhir ini.

Akhirnya, satu lagi tanda perubahan masyarakat Indonesia yang saya perhatikan dari lebaran adalah perubahan almarhum Gito Rollies. Ketika itu, Gito Rollies juga ikut di dalam sinetro “Sohibul Hikayat,” yang mungkin kali itu sudah mulai bernama “Hikayat Pengembara.” Dan, kebetulan sekali, episode yang melibatkan Gito Rollies adalah sebuah episode yang tidak mudah dicerna oleh anak kecil. Penuh keberanian dan kebrutalan naratif. Di situ, diceritakan karakter Gito Rollies bertemu dengan sang pengembara. Gito Rollies mengeluh kepada sang pengembara tentang betapa dirinya telah menjadi seorang yang bejat. Si pengembara yang selalu tidak pernah menghakimi itu hanya mendengar saja. Karakter Gito Rollies mengaku dia telah melakukan berbagai kejahatan yang tak terbayangkan oleh siapapun. Tapi, di antara kejahatan yang paling jahat, ada satu yang tak mungkin saya lupakan: dia mengaku telah menyetubuhi jenazah seorang gadis cantik di kamar mayat, tempatnya bekerja. Sejak itu, badannya menjadi bau dan orang-orang menjauhinya. Apapun yang dia lakukan, bau itu tidak bisa hilang dari tubuhnya. Si pengembara mengatakan, asalkan dia mau bertaubat, niscaya Allah akan mengampuninya. Akhirnya, dia bertaubat dan pulang malam-malam. Namun, di rumahnya dia disambut oleh istrinya yang sedang sholat malam. Dia kaget karena mengira istrinya yang memakai mukena itu seperti hantu. Dia pun lari tunggang langgang hingga ke masjid kecil. Di situ dia melakukan sholat taubat. Di bagian akhir sholatnya, dia bersujud sambil mohon ampun. Hingga lama sekali dia tidak bangun. Ketika subuh tiba, orang-orang masuk masjid dan takjub karena aroma masjid yang terasa wangi itu. Ketika sudah iqamah, orang-orang heran karena melihat ada orang yang dari tadi sudah sujud dan tiba kunjung selesai sholat sunnahnya. Ketika dibangunkan, ternyata karakter Gito Rollies itu telah meninggal dunia dalam sujudnya. Ya, satu episode itu. Tidak bisa saya melupakannya. Pertama karena ceritanya, dan kedua karena Gito Rolliesnya.

Gito Rollies adalah penyanyi rock yang sejak saya kecil sudah saya kenal seperti beringas. Di sebuah tabloid, saya juga pernah membaca Gito Rollies pernah menjalani kehidupan Rock and Roll yang buas. Makanya, ketika dia muncul di acara “Hikayat Pengembara” ini sebagai seorang yang bertobat, saya merasa bahwa ini benar-benar menggambarkan Gito Rollies yang hijrah. Benar saja. Setelah saya lihat tampil di “Hikayat Pengembara” itu, Gito Rollies lebih sering muncul sebagai penyanyi dengan peci kecil dan, kalau menyanyi, selalu memainkan lagu-lagu religi. Ketika kelak beliau muncul dalam AADC, sebagai pedagang buku itu, beliau juga tampil sebagai pedagang buku yang baik, yang bijak. Dan semua itu bagi saya tersemen kuat ketika Gito Rollies ikut hadir dalam album religi Gigi, satu fenomena yang akan saya bahas tersendiri. Maka, saya merasa beruntung melihat transformasi Gito Rollies yang muncul sebagai seorang yang sangat terkendali, agamis, tapi begitu damai dan tanpa menggurui.

Satu lagu dan video yang menegaskan bahwa Gito Rollies sudah menjadi pribadi yang berbeda dari Gito Rollies yang dulu sekali.

Akhirul posting, saya perlu jelaskan lagi di sini bahwa budaya pop di masa Ramadhan tidak bisa dianggap remeh. Budaya pop ini benar-benar bisa memberi warna yang ternyata begitu mendominasi kenangan Ramadhan saya. Di sini, kekuatan budaya pop yang datang bersama turunnya TV swasta itu membuat Ramadhan saya tidak hanya melulu soal agama, tapi juga soal budaya, dan bahkan sejarah. Budaya pop Ramadhan bagi saya adalah saksi transformasi keislaman atau tensi keagamaan di Indonesia. Ketika itu, yang muncul di budaya pop memang lebih banyak orang-orang yang “berhijrah” tapi tetap melanjutkan karir mereka di bidang masing-masing. “Hijrah” mereka ini menambah warna pada kehidupan dan karir seni yang telah lama mereka jalani. “Hijrah” mereka ini bukan untuk menghapus dan menghakimi diri lama mereka. Belakangan, kalau kita lihat di YouTube hari-hari ini, fenomena “hijrah” adalah sesuatu yang cukup berbeda dengan yang terjadi akhir era 90-an itu. Seperti apa yang ditunjukkan YouTube sekarang? Silakan dilihat dan ditafsirkan sendiri. Saya tidak perlu membahasnya. Toh semuanya ada di sana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *