Homo Deus: Dari Prestasi ke Regresi

Kita jeda lagi seri 31 Hari Menulis Nostalgia Ramadhan kita dengan satu resensi buku. Bukunya berjudul Homo Deus, salah satu buku yang naik daun beberapa tahun terakhir. Saya merasa wajib meluangkan waktu sejenak untuk mencatat buku yang saya baca pelan sekali sejak awal masa karantina ini. Sebelum baca buku ini, saya membaca 21 Lessons for the 21-st Century dan mendapatkan banyak hal yang bisa dipikirkan (silakan dilihat di postingan lain di blog ini tentang buku itu). Khusus untuk Homo Deus ini, setelah membacanya saya merasa terengah-engah. Utamanya karena argumen yang ditawarkan sekaligus fakta-fakta yang disodorkan untuk mendukung argumen si penulis. Maka, mumpung masih terengah-engah, saya luangkan saja sedikit waktu untuk mencatatnya. 

Jadi begini, setelah di buku Sapiens mereview sejarah peradaban manusia, makhluk yang mungkin kebetulan saja berevolusi hingga sekarang menjadi Selebgram ini, di Homo Deus ini Harari mengajak mereview kelanjutan dari spesies yang tak ada istimewa²nya itu. Dan kelanjutan itu ternyata mengandung prestasi sekaligus catatan yg perlu diwaspadai. Intinya cukup mencengangkan: ternyata setelah naiknya, dia terancam menjadi sekadar pelengkap. 

Diawali dengan prestasi–tentang keberhasilan relatif manusia mengatasi tiga momok palinb menghantui peradaban kita, yaitu perang, wabah, dan kelaparan–manusia pun menjadi penguasa bumi. Dalam waktu seratus ribu tahun saja, dunia menjadi alamnya manusia. Tak tanggung², manusia saat ini pun bisa dibilang sudah selevel dengan dewa² jaman dulu yang bisa terbang, bisa mengendalikan binatang, bisa membangun dalam waktu dekat, dll. “Homo Deus” adalah manusia yang seperti itu. Hingga manusia pun mencapai puncaknya dengan humanisme, ketika manusia, akal budinya, dan kecerdasannya begitu diagungkan, dipuja. Inilah Humanisme, agama yang memuja manusia.

Tapi, dalam hitungan beberapa abad saja semuanya menunjukkan indikasi berubah.

Belakangan, manusia mendapati bahwa akal budi dan kecerdasan manusia itu tak lebih dari sekadar algoritma. Kecerdasan adalah mekanisme merespons impulse dari luar dengan mempertimbangkan sejumlah kondisi/ketentuan yang sudah ada di dalam penyimpanan data. Memahami kecerdasan dengan cara itu, manusia pun bisa menciptakan kecerdasan tanpa harus disertai kesadaran atau nurani atau jiwa–yg selama ini dianggap keistimewaan manusia. Manusia berhasil melakukan pemisahan atau “decoupling” di titik ini. Bahkan, kecerdasan tanpa kesadaran ini kian hari kian terbukti lebih unggul dari manusia, yang memiliki kecerdasan sekaligus kesadaran itu. Bahkan, kian hari kecerdasan tanpa kesadaran itu terus mengumpulkan data yg menjadikannya bisa memahami manusia lebih dari manusia itu sendiri memahami dirinya. Inilah yg disebut dengan agama baru “Dataisme.”

Buku ini pun dipungkasi dengan pertanyaan benarkah makhluk hidup ini hanya algoritma, mana yg lebih berharga, kecerdasan ataukah kesadaran, dan apa yg  terjadi kalau kita sepenuhnya dikuasai Dataisme?

Tapi, di awal tadi saya sebutkan prestasi relatif. Kenapa? Karena pada kenyataannya secara individual, kita ini masih sering kerepotan menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Hari ini, kita melihat bagaimana kita terhembalangkan oleh virus Corona baru. Seunggul-unggulnya kita, kita bisa saksikan sendiri berapa juta yang sudah tumbang oleh wabah COVID19 ini. Di bagian ini, kita bisa memandang bukunya Harari ini lebih sebagai renungan tentang potensi kita di kondisi kita saat ini. Kita ternyata masih perlu menyadari blindspot kita. Tapi, perlu juga disadari bahwa kita punya keunggulan yang juga tak kalah membahayakannya. Kita tak perlu terlalu sombong, tapi kita cukup perlu kuatir

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

3 comments

machungaiwo says:

Saya belajar banyak tentang betapa saya tahu sedikit sekali tentang diri saya sebagai manusia, hahaha. Ini buku yang mencengangkan dan menggugah kesadaran. Sayang sekali dia gagal meramalkan kemungkinan bahwa manusia yang bersiap2 menjadi super being itu ternyata kalah sama makhluk berukuran mikron yang namanya covid.

Sebenarnya dia juga bilang di satu titik bahwa wabah selanjutnya pasti akan terjadi. Dia jg menyinggung soal mencairnya permafrost itu berarti bangkitnya lagi patogen yang terbekukan ribuan tahun. Tapi ya, memang dia tidak meramalkan bahwa wabah itu akan terjadi hingga semasif ini. Kata Slavoj Zizek, virus ini menjadi virus di dua dunia: “viral” di dunia maya dan mewabah di dunia nyata. Tapi proyeksinya tentang kemajuan dan kengerian data itu sangat menggetarkan ya, Pak?

machungaiwo says:

Ya, pak, memang mencekam. Saya nulis juga ttg dataisme itu. Dia bilang di masa depan akan ada jurang antara mereka yang sangat terupdate dg data, dan mereka yang endak. Yang endak ini lebih baik dinihilkan saja daripada ngabot2i kemajuan mereka yang sudah sangat data-enhanced. Wah mengerikan dong hahaha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *