Meskipun mengingat-ingat Ramadhan masa kecil dengan penuh nostalgia, saya sama sekali tidak akan menganggap Ramadhan sebagai bulan yang eksotis. Eksotisme hanya milik hal-hal yang mati. Ramadhan adalah sebuah budaya yang sangat hidup dan sehat. Di setiap fase hidup, saya selalu menemukan hal baru pada saat Ramadhan. Dan anehnya hal-hal tersebut tidak hanya ada sekali dan sudah itu mati; mereka ada untuk bertahan. Di masa-masa awal berumah tangga, saya juga mendapat temuan baru di masa Ramadhan. Temuan itu adalah Gigi, yang membawa semangat baru terhadap budaya pop religi.

Ketika pertama kali Ramadhan di Kediri, ketika saya semakin jarang nonton televisi, saya menemukan mutiara baru: album Raihlah Kemenangan. Ini album religi pertama Gigi. Entah bagaimana ceritanya, saya tidak merasa benar-benar terkejut oleh album itu. Saya selalu merasa bahwa Gigi adalah grup band yang selalu dekat dengan traidisi Islam di ranah budaya pop Indonesia. Tentu saya pernah sebutkan bahwa pada masa SMA, saya suka melihat acara RamadhanAN Gigi di An Teve. Acara suka-suka itu intinya adalah acara obrolan yang diselingi dengan musik dan tamu-tamu yang menampilkan semua elemen Gigi. Yang selalu unik bagi saya adalah, ada beberapa personil Gigi yang bukan Muslim (kita tahu Ronald dan Dewa Budjana tentu saja). Tapi, mereka semua santai, fun-fun saja, dan berbicara tentang kenangan Ramadhannya Arman Maulana dan tentu saja si Thomas Ramdhan. Jadi, ketika lagu “Tuhan” yang sudah saya sukai sejak dulu itu  muncul dibawakan Gigi dengan video klip para lelaki bersurban di hutan pinus, sebagai anak yang tumbuh remaja di era 90-an saya sangat excited tapi tidak terlalu kaget. Musik yang bagus. Musik yang gigi. Musik yang bukan asal berdakwah.

Sebelum lanjut, perkenankan saya sedikit mengulas lagu kegemaran saya ini. Lagu ini digiring oleh petikan gitar sederhana oleh Dewa Budjana—yang saya selalu percaya tidak bisa main genjrengan kecuali dengan jari terus menari berpindah-pindah kunci di setiap genjrengnya. Petikan sederhana itu kemudian disusul dengan riff distorsi yang seperti memompa sedikit-sedikit-sedikit lama-lama menjadi hit. Dan ujungnya adalah brass section synthetic pun terdengar memanggil Arman Maulana bergoyang-goyang di hutan pinus. Ya. Saya percaya Gigi bisa melakukan itu: mengaduk emosi saya dengan lagu yang sudah saya akrabi, lagu yang memang saya sukai, lagu yang agamis tanpa hanya Islami, lagu yang agamis dan Pancasialis.

“Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa,” kata Arman. Ya, ini Tuhan yang juga dibicarakan di Pancasila.

Saya langsung menyetujui Gigi begitu tahu bahwa lagu yang menjadi hits pertama ini agamis dan bisa Islami tapi tidak hanya Islami. Ini lagu yang boleh dan nyaman dinyanyikan orang Indonesia apapun agama yang ada di KTP-nya.

Yang membuat saya heran adalah ternyata waktu itu yang main drum bukan lagi mas Budi Haryono lagi. Ada wajah baru di sana, yang belakangan sekali saya ketahui bernama Gusti Hendy. Oke, Mas. Tak masalah. Saya cuman waktu itu sudah terlanjur terbiasanya dengan mas Budi Haryono yang sudah bersama Gigi ketika mereka kembali bisa “Terbang” setelah terpuruk seolah hidup berempat di dalam studio 2×2 tanpa bisa berangan-angan.

Maka, sejak tahun 2004 itu, Ramadhan-ramadhan saya memiliki auranya bukan dari Bimbo, tapi dari album Raihlah Kemenangan dan kemudian Raihlah Kemenangan (Repackaged). Lagu-lagu ini mengisi Ramadhan saya dan memastikan bahwa ini tetap Ramadhan dan tetap memiliki auranya. Saya tidak mendengar Bimbo seintens sebelumnya. Saya tidak lagi melihat “Hikayat Pengembara” karena 1) sudah lama saya tidak memiliki TV sendiri (seperti waktu di Sidoarjo, di mana saya bisa mengendalikan TV keluarga saya) dan 2) karena saya sudah punya terlalu banyak kegiatan yang tidak memungkinkan saya meluangkan waktu berjam-jam di depan TV. Maka, selama dua Ramadhan saya di Kediri, lagu-lagu dari album religi Gigi inilah yang menemani saya lewat Radio dan tape. Ketika saya sudah kembali ke Malang dan bekerja di UB, saya pun mendengarkan Gigi dari komputer di kantor dan dari MP3 player yang waktu itu saya punya. Dan, selama dua Ramadhan pertama saya berada di Arkansas, saya menjaga aura Ramadhan saya dengan memutar Raihlah Kemenangan dan satu album kelanjutannya dari YouTube.

Hingga akhirnya laju hidup dan semua yang baru menggerus aspek-aspek dalam hidup saya. Dan sayangnya, album-album religi Gigi adalah termasuk yang tergerus dalam hidup saya. Saya tidak ingat pasti sejak kapan saya tidak lagi mengikuti album-album religi Gigi. Kemungkinan, hanya kemungkinan, sejak tahun 2012, ketika bulan puasa saya berisi bekerja lumayan manual di tengah musim panas yang menggerus mental dan fisik saya puasa 16 jam dan bekerja lumayan menguras keringat. Mungkin itu yang membuat saya tidak lagi mengikuti perjalanan album-album religi Gigi yang ternyata terus muncul.

Maka, ketika pada tahun 2018 saya mendapat kesempatan untuk meneliti Islam dan budaya pop di Indonesia, bisa ditebak apa yang saya lakukan. Ada dua hal yang saya lakukan waktu itu: pertama meneliti episode-episode Adit Sopo Jarwo dalam kaitannya dengan eksklusivisme beragama di Indonesia, dan yang kedua adalah membaca lagu-lagu Gigi. Temuan awal penelitian itu saya presentasikan di Workshop Pop Islam yang diadakan secara kolaboratif oleh Universitas Negeri Malang dan Monash University. Saya agak grogi karena hasil penelitian awal yang saya presentasikan di hadapan Pak Ariel Heryanto itu mungkin belum matang. Dan sejauh ini, progress penelitian itu lambat sekali karena tersendat oleh satu dan lain hal. Tapi, Ramadhan ini semua itu akan berakhir. Semoga. Saya ingin merampungkan hasil pembacaan itu biar jadi persembahan buat Gigi yang sudah beberapa Ramadhan ini tidak meluncurkan album religi. Siapa tahu ini bisa mengetuk hati bro Arman, Dewa, Thomas, dan Gusti.

Belakangan, setelah saya merekap album-album religi oleh band-band pop dan rock Indonesia, saya mendapati bahwa album Raihlah Kemenangan itu cukup signifikan secara posisi. Hingga tahun 2018 itu, ternyata sudah ada cukup banyak band pop dan rock yang menghasilkan album religi. Ada Ungu (yang pada awalnya menyanyikan lagi “Para PencariMu” untuk sinetron Ramadhan), ada  D’masiv, dan ada juga Nidji. Tapi, di musik pop dan rock ini, tetap kalau dilihat Gigi dan album Raihlah Kemenangan ada di bagian paling depan. Saya tidak berani mengklaim, tapi mungkin Gigi adalah yang memberikan pengaruh di sini, dan mereka terus melanjutkan itu.

Begitulah ceritanya bagaimana Ramadhan saya adalah Ramadhan yang tidak bisa eksotis. Ramadhan saya adalah Ramadhan yang hidup, terutama di wilayah budaya pop. Saya cukup senang budaya pop Ramadhan yang saya sukai itu juga tidak berhenti menjadi sesuatu yang eksotis. Lihatlah album-album religi Gigi. Lagu-lagunya mungkin banyak yang dimainkan berulang-ulang, tapi penggarapannya selalu berubah-ubah, dan selalu menghadirkan kebaruan, bukan pengulangan. Sekilas saya, sebelum saya tutup, saya ingin rekan-rekan melihat di album Raihlah Kemenangan (Repackaged) ada lagu qasidah “Perdamaian.” Itu sudah tambahan baru. Dan di album religi paling akhir, ada lagu “Adu Domba” dari Bang Rhoma. Itu tambahan baru lagi. Kalau tahun depan Gigi menghadirkan album religi lagi, saya sudah penasaran, ada tambahan baru apa lagi di sana. Saya berani taruhan pasti ada yang baru. Eh, taruhan itu kan judi, dan judi itu kan dilarang ya? Oke deh, saya tidak akan taruhan. Mari kita lihat saja.  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *