Menentukan Gaya melalui Struktur Kalimat

(Postingan ini adalah catatan pertemuan hari terakhir dari Pelatihan Menulis Esai “Membaca Malang melalui Kayutangan” yang diadakan oleh Pelangi Sastra Malang di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang)

Dalam menulis esai, kita bisa menggunakan berbagai pilihan gaya bahasa. Sebagai contoh ekstrim, kita bisa menggunakan gaya bahasa yang puitis, penuh kiasan, dan struktur kalimatnya menghasilkan ritme ketika dibaca. Sebaliknya, kita bisa juga menggunakan gaya bahasa yang cenderung to-the-point dan berfokus pada penyampaian informasi atau gagasan. Hal ini selaras dengan definisi esai yang bisa menempati spektrum yang luas antara puisi hingga karya ilmiah.

Terlepas dari apa pun gaya yang ingin kita gunakan, kita perlu sadari bahwa gaya senantiasa berhubungan dengan fungsi. Bila fungsi yang kita inginkan adalah penyampaian informasi, maka yang perlu kita gunakan adalah gaya yang datar dan informatif. Sebaliknya, bila kita ingin mengajak pembaca kita merenung, mengaktifkan imajinasi kritis mereka, maka gaya yang mendekati puitis dan menggunakan banyak kiasan adalah yang kita butuhkan. Bila kita ingin membuat pembaca terlena dan ikut merasakan pesona sebuah tempat, maka yang kita gunakan adalah gaya yang deskriptif, ritmis, dan kaya dengan detail. Semua gaya ini perlu kita pilih dengan sadar.

Tanpa menyadari bahwa gaya adalah pilihan, kita bisa terseret menggunakan gaya bahasa penulis-penulis yang sering kita baca. Gaya bahasa ringkas dan lugas seperti yang mudah kita jumpai dalam tulisan-tulisan Dahlan Iskan akan cocok untuk menggambarkan kejadian, fenomena baru, dan kondisi politik dan ekonomi kompleks bagi audiens dari beragam latar belakang. Contoh lainnya adalah gaya bahasa Okky Madasari yang cenderung mengajak berdialog dengan pertanyaan-pertanyaan retoris dan jawaban-jawaban dengan kalimat majemuk yang terkadang agak panjang tapi masih terbaca tegas. Gaya bahasa ini cocok untuk kebutuhan membahas permasalahan yang sudah diakrabi masyarakat tetapi perlu ditelaah lebih mendalam dan diberi tawaran argumen dengan berbagai alternatif jawaban.

Kalimat yang bagus memiliki banyak kriteria. Apakah kalimat kita harus panjang, singkat, tunggal, majemuk, atau memiliki banyak klausa? Tidak ada satu bentuk kalimat yang bisa selalu bisa dibilang bagus. Menurut Nora Bacon dalam buku The Well-Crafted Sentence (A Writer’s Guide to Style), sebuah kalimat itu menjadi bagus tergantung banyak faktor, antara lain “tujuan dari teks tersebut, audiens yang menjadi sasarannya, kalimat yang muncul sebelum atau sesudahnya.” Itulah yang hendaknya menjadi pertimbangan kita saat akan memutuskan bentuk kalimat kita.

Namun, apa pun gaya bahasa yang kita pilih untuk tujuan kita, ada hal-hal mendasar tentang kalimat yang harus selalu kita jadikan pegangan. Hal-hal tersebut adalah komponen kalimat, kualitas kalimat, pemanfaatan struktur kalimat untuk mendukung fokus, dan penggunaan kata kerja.

Kalimat Tunggal

Satu hal yang paling mendasar tentang kalimat adalah bahwa setiap kalimat terdiri dari sekurang-kurangnya satu klausa. Klausa, seperti kita tahu, adalah kumpulan kata yang terdiri subyek dan predikat. Pada praktiknya, seringkali kita membutuhkan juga obyek.

  1. Aku mengunjungi Kampung Heritage Kajoetangan.
  2. Kampung Heritage Kajoetangan mempesonaku
  3. Saya makan nasi

Kalimat yang hanya memiliki satu klausa semacam ini disebut kalimat tunggal. Saat mengawali sebuah pembicaraan, kita seringkali tanpa sadar menggunakan kalimat tunggal semacam ini. Namun, begitu pembicaraan bergulir lebih jauh, ketika kita harus menjelaskan sesuatu yang sedikit lebih kompleks, kalimat tunggal biasanya tidak cukup.

Kalimat Majemuk

Seringkali kita membutuhkan kalimat yang memiliki lebih dari satu klausa. Itulah kalimat majemuk. Contohnya adalah:

  1. Saya makan nasi, tapi kamu minta terus.
  2. Saya makan nasi sambil nonton serial di Disney+.
  3. Saya minum kopi setelah makan nasi.

Dua klausa dalam kalimat majemuk bisa setara maupun bertingkat. Relasi antara kedua klausa yang ada tersebut bisa sejajar (menggunakan kata hubung “dan”), bertentangan (menggunakan “tapi”), dan lainnya.

Ketika menggunakan dua klausa dalam satu kalimat, kita perlu memastikan bahwa kedua klausa itu memiliki hubungan. Hubungan ini perlu ditunjukkan melalui penggunaan konjungsi atau kata hubung, misalnya “tetapi,” “dan,” “kemudian,” “karena,” “agar,” dan lain sebagainya. Tanpa adanya kata hubung, maka kedua klausa itu akan seperti klausa yang terpisah dan lebih baik dipisahkan. Sebagai contoh:

  1. Kalimat asal: Aku mengunjungi kawasan Kayutangan minggu lalu, aku lebih memilih mengunjungi Kampung Heritage Kajoetangan. (Tidak memiliki hubungan)
  2. Kalimat koreksi: Ketika aku mengunjungi kawasan Kayutangan minggu lalu, aku lebih memilih mengunjungi Kampung Heritage Kajoetangan. (Ada hubungan yang ditandai kata hubung)
  3. Kalimat koreksi: Aku mengunjungi kawasan Kayutangan minggu lalu. Aku lebih memilih mengunjungi Kampung Heritage Kajoetangan. (Menjadi dua kalimat)

Koreksi semacam ini akan sering kita lakukan ketika merevisi tulisan. Tidak bisa diingkari, ketika menulis kita lebih fokus pada menuangkan isi pikiran. Hal-hal yang sekecil “kata hubung” bisa dengan mudah terlewatkan dan tidak tertuang.

Klausa untuk Menambahkan Penjelasan

Secara lebih spesifik, klausa juga dapat digunakan untuk memberikan penjelasan. Kita bisa menggunakan klausa untuk menambahkan penjelasan kepada subjek maupun objek kalimat. Hal ini terjadi misalnya ketika subjek atau objek baru muncul untuk pertama kalinya dalam sebuah teks atau mengandung aspek lain yang berpotensi disalahartikan. Sebagai contoh:

  1. Saya, yang lahir dan tumbuh besar di Italia ini, gemar menyantap pecel Madiun setiap pagi saat berada di Malang.
  2. Saya sangat suka nasi goreng, khususnya yang dimasak oleh bapak.

Klausa penjelas seperti ini lazimnya diapit koma ketika digunakan untuk menjelaskan subjek yang muncul di awal kalimat. Salah satu kesalahan yang lazim terjadi adalah lupa menggunakan koma di akhir klausa semacam ini, sehingga klausa ini akhirnya dilanjutkan dengan predikat untuk klausa utama.

  1. Kalimat asal: Kawasan Kayutangan, yang memiliki banyak bangunan dengan arsitektur kolonial selalu memukau bagi pembelajar sejarah kolonial. (Klausa penjelas melebur dengan predikat klausa utama)
  2. Kalimat koreksi: Kawasan Kayutangan, yang memiliki banyak bangunan dengan arsitektur kolonial, selalu memukau bagi pembelajar sejarah kolonial. (Kalimat sudah diberi tambahan koma penutup klausa)

Penggunaan klausa untuk menambahkan penjelasan bisa dibilang sangat lazim saat kita membuat draf. Namun, ketika melakukan pembacaan ulang atas draf tersebut, kita perlu mempertimbangkan kembali poin-poin seperti yang disampaikan oleh Nora Bacon di atas: apakah itu penting buat topik teks kita? apakah ini sesuai dengan audiens kita? bagaimana dengan kalimat-kalimat yang muncul sebelum dan setelahnya? apakah semua ini menuntut penggunaan kalimat-kalimat majemuk atau kalimat yang menggunakan klausa penjelas? Tentu hanya si penulis dan editor yang bisa membuat keputusan ini.

Fokus Kalimat

Untuk membuat pembaca bisa dengan mudah memperoleh poin yang ingin kita sampaikan, kita perlu memperhatikan fokus kalimat. Yang dimaksud dengan fokus kalimat adalah hal-hal yang kita anggap paling penting dalam sebuah kalimat. Tentu kita bisa bilang bahwa semua yang kita tuliskan itu penting. Namun, di antara semua yang penting itu, pasti ada satu hal yang kita ingin agar menjadi perhatian utama pembaca. Itulah fokus kalimat.

Sebagai gambaran, mari kita gunakan kalimat yang telah kita pakai sebelumnya:

  1. Saya, yang lahir dan tumbuh besar di Italia ini, gemar menyantap pecel Madiun setiap pagi saat berada di Malang.
  2. Pecel Madiun adalah kegemaran yang saya makan setiap hari ketika berada di Malang, meskipun saya lahir dan besar di Italia.

Kedua kalimat memiliki isi yang kurang lebih sama. Namun, kita pastinya bisa mudah menangkap kesan bahwa masing-masing kalimat ini memiliki fokus yang berbeda. Pada kalimat pertama, fokusnya ada pada diri “saya” yang notabene “lahir dan tumbuh besar di Italia.” Penekanan ada pada orangnya. Sementara itu, pada kalimat kedua, yang menjadi fokus adalah “pecel Madiun,” atau lebih tepatnya betapa unggulnya pecel Madiun yang mampu memesona lidah orang yang lahir dan besar di Italia.

Ketika melakukan penyuntingan atas draf yang sudah kita buat, kita perlu menentukan apa yang menjadi fokus kalimat kita. Penentuan fokus ini lazimnya ditentukan oleh seperti apa kalimat yang muncul sebelum kalimat tersebut. Sebagai contoh:

  1. Kota Malang, yang kaya dengan pilihan kuliner lezat dari berbagai penjuru Jawa Timur, memungkinkan saya melakukan eksplorasi untuk mencari hidangan yang paling tepat bagi lidah dan jiwa saya. Hingga akhirnya saya merasa sangat dekat dengan berbagai hidangan Jawa Timur. Pecel Madiun adalah kegemaran yang saya makan setiap hari ketika berada di Malang, meskipun saya lahir dan besar di Italia. Mama dan papa saya di Naples sampai geleng-geleng kepala ketika kami berbincang melalui Zoom sambil saya makan pecel di pagi hari.

Dengan mempertimbangkan kalimat-kalimat yang muncul sebelumnya, yang lebih memfokuskan pada adanya keragaman kuliner dari seluruh Jawa Timur, maka penekanan yang lebih tepat untuk kalimat yang dicontohkan di sini adalah pada kuliner tersebut. Tentu pilihan kalimat kedua (”Saya, yang lahir dan tumbuh besar di Italia ini, gemar menyantap pecel Madiun setiap pagi saat berada di Malang”) secara tata bahasa tidak salah. Namun, kalimat ini kalah unggul dibandingkan kalimat contoh yang fokusnya lebih tepat. Oleh karena itu, revisi atas kalimat hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan teks secara keseluruhan, atau setidaknya dengan mempertimbangkan kalimat-kalimat yang ada di sekitarnya.

Demikian kurang lebih yang perlu kita perhatikan untuk menjaga gaya dan melakukan penyuntingan kalimat dalam esai kita. Sekali lagi, mengikuti Nora Bacon, tidak ada kalimat yang bisa disebut paling benar untuk kebutuhan kita. Tepat tidaknya kalimat kita tergantung pada berbagai faktor yang ada. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, kita bisa memberikan kalimat yang jernih dan membantu pembaca mendapatkan maksud yang ingin kita sampaikan. Tulisan yang kita buat bisa menggunakan berbagai macam gaya. Namun, apa pun gaya yang kita pakai dalam tulisan kita, gaya itu harus kita pilih dengan sadar.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *